BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Terdakwa Lian Silas mengakui dirinya sering menerima kiriman uang dari anaknya Freddy Pratama yang tak lain gembong narkoba internasional, tetapi tidak langsung. Semuanya melalui orang lainnya.
“Uang kiriman tersebut, sebagian besar hanya untuk keperluan sehari-hari,’’ kata Lian Silas dalam keterangan, dengan agenda pemeriksaan terdakwa, pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Selasa (19/3/2024).
“Soal uang yang diterima tersebut bukannya saya yang minta. Tetapi memang anak saya yang memberi dan mengirimnya lewat orang lainnya,’’ katanya dihadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Jamser Simanjuntak.
Silas sendiri juga sering menerima telpon dari anaknya tersebut yang merupakan gembong narkoba, telpon yang diterimanya tersebut diantaranya tanpa nomor yang dibicarakan hanya sebatas basa basi tentang keluarga saja.
Menjawab pertanyaan, Silas mengatakan memang ia sering keluar negeri dan yang terbanyak adalah ke Thailand, pernah dalam setahun ada tiga kali ke Thailand.
Dibagian lain terdakwa mengatakan pertemuan terakhir dengan anaknya Freddy Pratama disekitar tahun 2008, dan ia juga mengakui pernah rumahnya di grebek pihak Kepolisian karena anaknya tersebut terlibat narkoba.
Silas sendiri pernah berurusan dengan berwajib ketika ia masih aktif berdagang handphone.
Ia juga mengakui kalau pembelian lahan untuk hotel Armani di Muara Tewah uang berasal dari Freddy, dan diatas namakan Eddy Wongso, yang kemudian dialihkan atas nama Lias Silas.
Sementara saksi Vena Yuliani adik dari terdakwa Lian Silas mengatakan bahwa penjualan ruko dengan sertifikat No.754 dan no. 755 kepada anaknya Lian Silas bernama Yunita Pratama, belum di bayar senilai Rp3 miliar.
Tetapi menurut pengakuan saksi notaris Yosua balik nama ruko tersebut dapat dilaksanakan, karena adanya kwitansi pembayaran sebagai bukti sudah di bayar.
Menurut saksi, karena ia percaya kepada kakaknya, pembayaran akan dilakukan setelah Yunita mendapatkan kredit dari bank dengan jaminan sertifikat, jadi balik nama dilakukan lebih dahulu. Hal ini tidak terwujud, karena bangunan tersebut disita dalam perkara ini.
Seperti diketahui, JPU Habibi mematok pasal berlapis, terdapat tidak kurang tujuh pasal. Pertama terdakwa didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kedua pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Ketiga pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Atau pasal 137 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Sub Pasal 137 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut dakwaan barang yang disita dari terdakwa berupa harta benda tidak bergerak maupun bergerak dengan nilai fantastis diangka keseluruhan mencapai Rp1 triliun.
Menurut dakwaan tersebut, uang yang diterima terdakwa untuk membeli aset-aset tersebut diduga kuat berasal dari anaknya gembong narkotika Freddy Pratama, melalui bank-bank swasta maupun bank bank plat merah.
Uang kiriman tersebut diduga hasil dari perdagangan narkoba yang dilakukan anak terdakwa Freddy Pratama yang kini masih buron alias masuk daftar orang (DPO). (hid/KPO-3)