Oleh : Ahmad Barjie B
Alumnus Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Tingkat Nasional di UI Salemba 1987-1988
Akhir-akhir ini banyak sekali dosen dan guru besar berbagai perguruan tingi (PT) negeri dan swasta bersuara kritis terhadap kondisi negara dan praktik demokrasi. Saking banyaknya, dan hampir merata di seluruh tanah air, tidak cukup tulisan singkat ini memuat daftarnya. Dari PT besar, terkenal dan bergengsi dalam perjalanan sejarah bangsa, hingga PT yang relatif kecil, yang kita baru tahu namanya dari berita media. Intinya, mereka prihatin terhadap demokrasi yang semakin menurun kualitasnya akibat politik penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara kurang etis dan demokratis, sehingga demokrasi ternodai.
Namun di antara pimpinan PT ada juga yang –karena diminta atau tidak– kurang berani dan/atau melakukan pernyataan sebaliknya yang mengesankan bahwa sikap kritis sejumlah dosen dan guru besar tersebut adalah suara pribadi dan kelompok, bukan mewakili PT bersangkutan. Pihak kedua ini sepertinya ingin tetap berada di sudut netral, fokus mengurusi pengembangan keilmuan saja dan tidak ingin terjun ke ranah politik praktis.
Cuplikan Sejarah
Keprihatinan PT, baik yang diwakili mahasiswa, dosen atau guru besarnya terhadap kondisi negara-bangsa sebenarnya hal wajar dan sudah seharusnya demikian. PT bukan menara gading yang hanya melulu mengurus perkuliahan internal kampus. Menurut Prof Dr dr Hafiz Abbas, mantan komisioner Komnas HAM RI, PT bergerak di bidang keilmuan, tujuannya untuk memunculkan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dan dari sini akan terwujud kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, berkualitas dan bermartabat. Ini adalah nilai-nilai universal dan universitas -sesuai namanya- berjuang ke arah itu, dan mereka tidak boleh diam melihat keadaan. Menurutnya, di Indonesia ada sekitar 5000 PT negeri dan swasta, melebihi seluruh (57) negara Afrika, ini adalah kekuatan moral yang harus bersuara dan didengari suaranya oleh masyarakat dan terutama penguasa yang diamani sebagai penyelenggara negara.
Dalam perjalanan sejarahnya memang demikian, PT tidak tinggal diam melihat kondisi bangsa. Di masa kolonial Belanda terkenal sekali aktivis mahasiswa Stovia (School Tot Opleiding Van Inlandshe Artsen di Batavia (Jakarta) seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohusudo dan Dr Tjipto Mangunkusumo, yang terjun ke dunia politik dengan mendirikan organisasi pergerakan nasional Budi Utomo. Belakangan Stovia menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mahasiswa Technische Hooge School (THS) yang kemudian menjadi ITB Bandung, seperti Soekarno juga aktif di dunia pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Begitu juga temannya sesama alumni THS, yaitu Pangeran Mohammad Noor asal Banjar, aktif di organisasi Jong Islamieten Bond, dan saat duduk di Volkraad sangat kritis terhadap Belanda.
Di masa kemerdekaan, khususnya di ujung kekuasaan Presiden Soekarno, sejumlah mahasiswa aktivis juga bergerak untuk mengkritisi kekuasaan Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin yang overdosis dan menyimpang dari demokrasi Pancasila. Sekadar menyebut nama ada Abdul Gafur, Mar’ie Mohammad, Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni dan banyak lagi. Mereka, yang dulu disebut Angkatan 66, adalah aktivis dari berbagai PT yang gigih mendesak agar kekuasaan Orde Lama segera diakhiri karena tidak mau lagi dikoreksi. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI tewas tertembak, namanya kemudian diabadikan sebagai nama masjid di kampus UI Salemba-Raya. Zamroni seorang aktivis mahasiswa dari PMII putus jari tangannya ketika memimpin sebuah demo. Di Banjarmasin, mahasiswa FE-Unlam, Hasanuddin bin H Madjedi, juga tewas dalam sebuah demonstrasi menuntut dibubarkannya PKI dan pemakzulan Presiden Soekarno. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan, Gelanggang Remaja, dan Masjid Hasanuddin Majedi
di Banjarmasin.
Tidak hanya kalangan mahasiswa yang terjun ke lapangan. Beberapa pimpinan perguruan tinggi, dosen dan guru besar juga melakukan aksi mengkritisi penguasa saat itu. Misalnya Prof Dr Ir Soemantri Brojonegoro yang saat itu menjadi Rektor UI, Dr Syarief Thayib dan Prof Dr Nugroho Notosusanto, dosen yang belakangan juga menjadi Rektor UI. Tidak heran di tahun 1980-an kalau kita masuk kampus UI Salemba, di situ terpampang tulisan “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru”. Tulisan tersebut sebagai penanda bahwa tumbangnya Orde Lama dan naiknya Orde Baru tidak lepas dari andil sivitas akademika UI. Belakangan ketika pemerintah Orde Baru tidak dapat lagi mengemban amanah Pancasila secara murni dan konsekuen, tulisan itu tidak ada lagi, dan UI bersama PT lain pun kembali aktif dalam gerakan proreformasi 1998 yang berakibat lengsernya Presiden Soeharto.
Sedikit contoh di atas menunjukkan, PT tidak bisa lepas dan berdiam diri dari kondisi negaranya. Biasanya mahasiswa yang lebih dahulu bergerak, tetapi ketika penguasa bergeming, maka dosen dan guru besar yang notabene sudah mapan secara intelektual dan ekonomi pun tidak bisa tinggal diam, mereka harus bersuara juga. Bedanya, kalau mahasiswa lebih memilih berdemo di jalan-jalan dengan teriakan atau spanduk yang agak vulgar, sementara para dosen dan guru besar cukup membacakan surat pernyataan kritis, petisi, maklumat atau istilah lainnya di kampusnya saja. Ini dapat kita lihat misalnya dari suara kritis yang dibacakan di teras Rektorat UI Depok, UGM Bulaksumur Yogyakarta serta di teras Rektorat Unhas Makassar.
Seyogianya pemerintah merespon positif suara-suara kritis tersebut dengan melakukan instrospeksi, otokritik dan evaluasi terhadap langkah dan kebijakannya selama ini. Suara kritis tersebut berasal dari kalangan ahli hukum tata negara, politik, etika, filsafat, komunikasi, wartawan senior, agamawan dan sebagainya, bahkan dari orang dan kalangan yang sebelumnya propemerintah dan atau duduk dalam pemerintahan. Suara kritis itu bukanlah aksi, tetapi reaksi setelah para insan akademis dan intelektual itu melihat kondisi negara yang memang membutuhkan koreksi. Mendiamkan semua itu sama artinya membiarkan demokrasi terus merosot ke titik nadir, padahal demokrasi telah diperjuangkan berdarah-darah oleh Angkatan 66 dan 98. Jadi, mereka jangan dicap partisan, memihak, ditunggangi, diskenario dan segala macam sikap apologis. Tidak perlu pula dianggap membahayakaan negara, sebab esensi tujuannya justru untuk memperbaiki negara.
Sikap Berbeda
Bagaimana dengan sebagian pimpinan PT yang memilih diam atau berlawanan dengan sikap kritis tersebut. Sebagian orang menyayangkan, dengan menganggap mereka itu tidak berlatar belakang aktivis, atau khawatir akan jabatannya. Karena ini alamnya demokrasi, maka apapun pilihan sikap orang, sepanjang tidak ada tekanan dan murni pilihan mereka sendiri, tetap kita hargai. Kita tidak boleh memaksa orang berpikir dan bersikap seperti kita atau sebaliknya.
Di samping itu peraturan yang mengatur kiprah PT di ranah eksternal juga masih multitafsir. Misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 17 tentang kebebasan akademik. Ayat (1-5) menyebutkan kebebasan akademik merupakan kebebasan bagi anggota sivitas akademika (mahasiswa, dosen, guru besar dan karyawan) untuk secara bertanggung jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi, kebebasan mana dijamin dan diupayakan pula oleh pimpinan PT bersangkutan. Mengacu ayat ini, kebebasan akademik hanya terkait pendidikan dan pengembangan iptek saja. Namun ada juga yang namanya kebebasan mimbar akademik, diatur Pasal 18 ayat (1-2), bahwa kebebasan mimbar akademik bagian dari kebebasan akademik yang memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat di PT bersangkutan, atau mengundang tenaga ahli dari luar sesuai norma dan kaidah keilmuan.
Jika aturan ini dipahami secara sempit, wajar ada pimpinan PT yang tidak bersuara kritis dan memilih fokus mengelola PT melaksanakan Tri Dharma saja, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tetapi kalau dipahami secara luas, maka suara kritis sesuai dasar keilmuan tentu juga sejalan dengan kebebasan mimbar akademik, sebagaimana pesan Prof Hafiz Abbas di atas. Terlalu kecil peran PT jika hanya mengurus pendidikan, pengajaran dan pengabdian terbatas di masyarakat, lalu tidak mau tahu urusan negara. PT adalah social agent dan kawah candradimuka, dari PT lahir pemimpin, dari PT pula pemimpin dikritisi, diperbaiki dan diluruskan ke jalan yang benar. Wallahu A’lam.












