Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Solusi Hakiki Menyelesaikan Konflik Agraria

×

Solusi Hakiki Menyelesaikan Konflik Agraria

Sebarkan artikel ini

Oleh : Fatimah Fitriana, S.Hut
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Ketua DPW Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kalimantan Selatan (Kalsel), Anang Rosadi, mengungkap dugaan penyerobotan lahan warga oleh perusahaan pelat merah di Banjarmasin seluas 1.890 meter persegi (m2), dengan sertifikat hak milik (SHM) Nomor 89, terdaftar dan diterbitkan pada 3 Agustus 1965. (Apahabar.com, 3/2/2023)

Baca Koran

Selain itu Ada sekitar 50 rumah warga yang berdiri di atas lahan seluas 30.000 meter persegi yang harus digusur untuk kepentingan pembangunan jembatan baru yang menghubungkan Kecamatan Banjarmasin Timur dan Kecamatan Banjarmasin Selatan. (Ayopalembang.com, 15/1/2024)

Konflik agraria ini akan terus terjadi selama negeri ini menganut sistem kapitalisme. Dalam pandangan sistem ekonomi kapitalis tanah itu diperlakukan sebagai barang komoditas (barang dagangan) yang bebas untuk diperjualbelikan tanpa ada batasan. Siapa yang memiliki modal banyak maka bebas menguasai tanah. Tentu saja yang bisa menguasai tanah adalah para pemilik modal atau investor.

Lihat saja UU Cipta Kerja yang dibuat, terrkesan memberi “karpet merah” bagi para investor kapitalistik, di antaranya pembebasan dari berbagai beban pajak dan kemudahan dalam pemberian ruang atau tanah untuk aktivitas produksi para kapitalis tersebut, berupa hak guna usaha dan hak guna bangunan dengan jangka pakai tidak terhingga. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Bab VIII tentang Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja.

Sangat jelas bahwa sistem kapitalis inilah yang mengakomodir kerakusan para oligarki atau pemilik modal. Karena ulah oligarki yang menyatu dengan sistem demokrasi, terciptalah berbagai penderitaan bagi rakyat. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal.

Dalam sistem demokrasi, terdapat relasi simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Para kapitalis akan berusaha menguasai ruang dan waktu untuk mendukung penguasaan atas perekonomian dan menyediakan kekayaan bagi penguasa, sedangkan pihak penguasa yang berkuasa atas teritorial akan menyediakan regulasi yang lebih memudahkan para kapitalis.

Baca Juga :  Kepemimpinan dan Program Ketahanan pangan Polda Kalsel (Sebuah Catatan Lapangan)

Wajar jika jeritan rakyat bukan sesuatu yang mesti diperhatikan. Tindak represif, kriminalisasi, hingga penggusuran paksa, merupakan praktik-praktik kekuasaan yang telah terakomodasi oleh kepentingan pemodal. Dengan kata lain, perampasan ruang hidup merupakan implikasi dari kepentingan kekuasaan dan akumulasi keuntungan, sedangkan penduduk setempat hanya kebagian menjadi korban.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan konflik lahan yang berkepanjangan, tidak bisa berharap pada sistem kapitalisme demokrasi. Sistem inilah yang melandasi lahirnya kebebasan kepemilikan. Alhasil, perubahan itu harus dilakukan secara mendasar. Konflik agraria hanyalah efek samping penerapan kapitalisme demokrasi. Perubahan hakiki bukan hanya memperjuangkan hak dan ruang hidup, tetapi juga harus mengarah pada perubahan sistem, bukan berganti pemimpin atau revisi UU semata.Lantas, dengan apa perubahan mendasar akan terwujud?

Solusi konflik agraria hanya bisa dengan menerapkan sistem kepemimpinan Islam (Khilafah). Paradigma riayah (pengurusan) dan junnah (perlindungan) yang diterapkan Khilafah akan menjamin seluruh kebutuhan rakyat, termasuk ruang hidup yang aman dan nyaman.

Dalam Islam, hukum pertanahan didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah, termasuk di dalamnya mengatur hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi’) tanah.

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah Taala semata (An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 128).

Firman-Nya, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi juga kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nur: 42).

Ayat ini menegaskan pada kita bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah Taala. Allah memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah sesuai dengan hukum-hukum-Nya.

Firman-Nya, “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid: 7).

Baca Juga :  Selamatkan Generasi dari Jeratan Judi Online

Hal di atas dapat kita pahami sebagai penjelasan terkait kepemilikan tanah dalam Islam. Syariat tersebut mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah Taala.

Iklan
Iklan