Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Tarif Tol Naik : Orientasi Bisnis Mengeksploitasi Rakyat

×

Tarif Tol Naik : Orientasi Bisnis Mengeksploitasi Rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Media sosial ramai dengan reaksi protes netizen terhadap kenaikan tarif tol Cikampek dan MBZ (cnbcindonesia.com, 09/03/2024). Bagi netizen tarif lama saja sudah dirasa mahal apalagi berlaku untuk jarak jauh dan dekat. Kenaikan yang mencapai hampir 30 persen, yaitu dari 20 ribu menjadi 27 ribu layak dikeluhkan rakyat.

Baca Koran

Sebelumnya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menyampaikan rencana kenaikan tarif tol untuk 13 ruas tol. Kenaikan ini didasari atau dengan alasan terpenuhinya Standar Operasional Prosedur (Kompas, 16/01/2024). Dengan kata lain jalan tol adalah layanan dengan kualitas tertentu yang diikuti dengan konsekuensi harga atau tarif.

Kenaikan tarif tol secara berkala juga merupakan mekanisme yang ditetapkan UU Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan. Apakah alasan pemenuhan Standar Operasional Prosedur ini dapat diterima untuk kenaikan tarif tol? Ataukah ada sebab mendasar yang melatarinya?

Kebutuhan rakyat: obyek bisnis

Pembangunan jalan tol sangat gencar dalam dua dekade ini, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera. Pembangunan beberapa jalan tol bahkan masih dalam rencana dan masuk daftar prioritas pembangunan nasional.

Keberadaan jalan tol di kota-kota besar bertujuan untuk mengurai kemacetan dan mobilitas angkutan penduduk kota yang secara rutin ke daerah asalnya, misalnya saat mudik dan liburan. Tambahan lagi, kegiatan ekonomi yang memusat di kota-kota seperti industri dan perdagangan memerlukan ketersediaan jalan yang lebih banyak. Jalan tol menjadi sangat relate, sejalan dengan kebutuhan publik dengan fenomena urbanisasinya. Jalan tol adalah sarana konektivitas untuk ekonomi.

Namun fenomena urbanisasi tidak lah semata-mata terjadi alamiah. Sistem kehidupan sekuler kapitalisme menciptakan kesenjangan ekonomi antara desa dan kota. Desa identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Akhirnya banyak yang mencari peruntungan ekonomi di kota dan lebih memilih tinggal di kota yang lebih lengkap sarana kehidupannya.

Baca Juga :  PALSU

Namun sayangnya tarif jalan tol membuat biaya hidup semakin mahal. Sudahlah kebutuhan pokok dan sekunder harus berjuang sendiri, rakyat juga dibebani membayar tol. Kenaikan tol bukan sekedar karena terpenuhinya standar layanan tol, namun juga karena dari awal pembangunan tol menjadi obyek komersialisasi. Pembangunan tol dibiayai oleh utang pada swasta atau didanai dengan skema pemerintah-swasta. Terbukti, beberapa ruas tol dijual kepada korporasi karena BUMN yang membangunnya terlilit utang untuk pembangunan tol yang dijual.

Keterlibatan swasta atau korporasi membuat pembangunan tol harus dikomersialkan untuk keuntungan investasi, atau return of investment. Meskipun yang membangun tol adalah BUMN, Namun pada dasarnya pemerintah tidak memiliki dana. Karenanya pemerintah mengandalkan pembiayaan swasta. Selanjutnya ada ketentuan tentang konsesi yaitu pemerintah harus memberi imbalan kepada korporasi yang mendanai dalam jangka waktu selama jalan tol beroperasi. Berakhirnya masa konsesi membuat jalan tol bisa sepenuhnya dimiliki pemerintah, sehingga pemerintah bisa menggratiskan atau menurunkan tarif. Namun berapa lama masa konsesi tersebut? Pada jalan tol Jagorawi dan Jakarta-Cikampek, masa konsesi adalah 40 tahun dan berakhir di 2044. Jadi selama masa konsesi belum habis pengenaan tarif dan kenaikannya akan diberlakukan demi alasan bisnis jalan tol.

Padahal banyak rakyat yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol. Misalnya mereka yang harus tergusur. Belum lagi dengan hutan sebagai milik umum yang banyak dibabat karena pembangunan jalan tol. Ruang publik banyak dirampas atau dirusak akibat pembangunan jalan tol. Layakkah rakyat harus membayar mahal atau dikenakan harga yang naik berkala?

Demikian realitas sistem sekuler kapitalisme yang meniscayakan kebebasan kepemilikan ketika hukum syariat disingkirkan dalam mengatur kehidupan. Penguasaan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi oleh para kapitalis meminimalkan peran negara untuk melayani rakyat. Jika ada pelayanan, hubungan yang terbangun adalah hubungan bisnis antara pedagang dan pembeli.

Baca Juga :  AL-BANJARI

Berbeda keadaannya jika sistem Islam diterapkan. Sistem Islam memampukan negara secara mandiri membangun infrastruktur seperti jalan tol. Pemasukan dari hasil kepemilikan umum seperti kekayaan tambang dan kepemilikan negara mengalir ke baitul mal. Pembangunan akan merata baik di kota dan desa.

Pemerataan itu bisa dipastikan karena peran negara sebagai pengurus rakyat yang bertanggungjawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu per individu baik kebutuhan fisik, pangan, sandang, papan, maupun kebutuhan asasi non fisik yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pembangunan yang merata meredam arus urbanisasi yang terjadi massif karena perjuangan ekonomi dan kesenjangan pembangunan seperti dalam sistem kapitalisme hari ini. Kota-kota terbebas dari kemacetan dan ruang hidup yang tidak layak.

Pembangunan jalan tol menjadi kewajiban negara dan merupakan penyediaan sarana penunjang kehidupan masyarakat. Negara tidak mengenakan tarif demi keuntungan atau balik modal. Jalan adalah kebutuhan jamaah dan merupakan jenis kepemilikan umum.

Sistem Islam dengan penerapan syariat kaffah di bawah sistem politik Khilafah terbukti membawa umat Islam pada kemajuan yang melampaui zaman dan bangsa-bangsa lain. Negara Khilafah membangun infrastruktur dan sarana publik seperti mesjid, jalan, jembatan hingga dapur umum dan pemandian umum tanpa konsep komersialisasi. Semua karena negara berperan sebagai pemelihara urusan rakyat. Wallahu alam bis shawab

Iklan
Iklan