Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan kasus tuberculosis atau (TB) terbanyak. Hal ini disampaikan dokter spesialis paru Erlina Burhan dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Sabtu, 17 Februari 2024. “Ada tragedi di depan mata yang kita enggak sadar. 1.060.000 kasus (TB) per tahun. Kematian 140.700 yang kalau kita bagi 16 orang per jam meninggal akibat tuberkulosis,” kata Erlina saat ditemui di FKUI, Jakarta Pusat.
Dia menambahkan, Indonesia tengah dikejar-kejar target eliminasi TB pada 2030 dengan mengakhiri epidemi TB. Sehingga, visi untuk mencapai kurang dari satu kasus per satu juta penduduk dapat dicapai di tahun 2050. “Tahun 2050 jumlah penduduk Indonesia diprediksi 320 juta. Kalau 2050 ada 320 juta penduduk, maka hanya boleh sekitar 320 orang TB yang tinggal di Indonesia, karena itu target eliminasinya.”
Ini adalah pekerjaan rumah bagi semua pihak, lanjut Erlina. Dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama karena ini bukan hanya masalah orang-orang di sektor kesehatan tapi TB lebih banyak memicu masalah non kesehatan. “Dari sekarang harus terstruktur dan masif (penanganan TB-nya) karena di Indonesia setiap pihak cenderung bekerja sendiri-sendiri. Ada yang mengerjakan diagnosis, ada yang mengerjakan terapi, tidak terorkestrasi. Jadi, harusnya itu semua disatukan dibuat sedemikian rupa sehingga harmonis dan terarah.”
Sayangnya, sebagian orang enggan memeriksakan diri karena takut ketahuan bahwa dirinya mengidap TB. “Sepengalaman saya ada yang takut periksa karena takut ketahuan kalau ini TB. Bahkan ada orang penting ketika kita diagnosis, dari foto rontgen sepertinya tumor ke arah kanker, malah “Alhamdulillah, bukan tuberculosis” segitunya karena enggak ngerti. Padahal tuberkulosis itu bisa sembuh, sementara kanker kan tidak.”
Erlina menegaskan, seharusnya semua pihak sadar bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dengan kasus TB terbanyak di dunia. “Padahal kuman TB tuh mati loh sama sinar matahari, kita ini sinar mataharinya melimpah ruah tapi pasien TB-nya banyak. Itu yang saya katakan sebagai tragedi di depan mata. Di luar nurul (nalar) saya enggak habis fikri (pikir) mengetahui hal ini.”
Erlina turut menerangkan alasan pentingnya penanganan TB. Salah satunya karena tuberkulosis bisa menyebar ke berbagai organ dan menyebabkan disabilitas. “Kuman TB itu bisa menyerang semua organ, apakah kemudian menyebabkan gejala sisa itu tergantung pada berapa lama kuman itu ada dan berapa besar kerusakannya, dan berapa berat penyakitnya,” tutur Erlina. Jika kumannya sedikit, maka bisa disembuhkan dengan sempurna. Jika ditangani sejak dini, maka organ yang diserang bisa kembali normal.
“Kalau di tulang juga demikian, kalau masih baru bisa sembuh kembali tapi ada pula yang tulangnya sampai patah hingga perlu operasi pemasangan pen jika kerusakan (akibat kuman TB) sudah berat.” “Bahkan untuk meningitis TB (kuman TB serang otak) ada orang yang enggak bisa jalan. Bukan hanya gangguan kognitif tapi juga bahkan tidak bisa jalan. Anak-anak muda enggak bisa jalan bisa karena TB otak, meningitis TB. Saya punya pasien pakai kursi roda, bahkan matanya juga cuma bisa lihat satu sisi,” jelas Erlina.
TB yang tidak ditangani dapat menjadi lebih berat dan menyisakan gejala sisa seperti disabilitas yang tak dapat dikembalikan seperti semula. “Kalau terlalu berat dan telat pengobatannya, ada gejala sisa. Disabilitas itu ada, jangankan disabilitas, kematian juga ada. Tapi sebagian besar bisa sembuh, bahkan sembuh sempurna asalkan ditangani sedini mungkin,” pungkasnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr Imran Pambudi menyampaikan, penyumbang kasus terbanyak TBC di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang bekerja sebagai buruh, nelayan, wiraswasta, pegawai BUMN, dan PNS. Adapun perinciannya meliputi buruh sebanyak 54.887 kasus, petani atau peternak atau nelayan (51.941), wiraswasta (44.299), pegawai swasta atau BUMN atau BUMD (37.235), dan PNS (4.778). (Berita Satu, 17-3-2023).
Kasus TBC bukanlah kasus baru sebagaimana munculnya Covid-19 dua tahun lalu. Kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Hanya saja, peningkatan kasus TBC belakangan ini sangat mencengangkan. Bayangkan saja, jumlah kematian TBC di Indonesia setara dengan tiga orang meninggal setiap menitnya. Banyak faktor yang melatarbelakangi jumlah kasus TBC Indonesia bisa menduduki peringkat kedua di dunia setelah India.
Pertama, faktor lingkungan. Mengutip laman Alodokter (10-6-2022), ada beberapa kelompok berisiko tinggi tertular TBC, salah satunya ialah orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh; orang lanjut usia dan anak-anak; orang yang mengalami kekurangan gizi; orang yang memiliki kekebalan tubuh yang lemah seperti penderita HIV, kanker dan sebagainya. Lingkungan dan sanitasi yang bersih sangat penting mencegah penyakit TBC.
Bahkan, ada anggapan di masyarakat bahwa penyakit TBC adalah penyakit orang miskin lantaran berkaitan dengan lingkungan kumuh dan sanitasi air yang buruk, meski tidak jarang ada sebagian kelompok menengah ke atas juga menjadi penderita TBC. Namun, harus kita akui bahwa lingkungan dan sanitasi buruk memperberat kasus TBC pada kelompok masyarakat ekonomi ke bawah.
Daerah dengan kondisi kumuh dan kurang terawat dapat menjadi faktor penyebaran TBC, terutama jika masyarakat cenderung abai terhadap gejala TBC yang dialaminya. TBC juga rentan menyerang anak-anak dengan kondisi gizi yang buruk.
Kedua, TBC dan kemiskinan adalah masalah yang beririsan. Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih menyatakan bahwa kasus penyakit TBC berkaitan dengan kondisi kemiskinan di suatu wilayah. Keadaan sosial ekonomi seseorang dapat memengaruhi kualitas kesehatannya. Kualitas kesehatan kalangan atas biasanya lebih baik daripada yang berasal dari kalangan bawah atau miskin.
Ini dapat disebabkan oleh ketakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Kondisi ekonomi atau kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap kasus TBC. Kemampuan ekonomi yang buruk memiliki kemungkinan yang tinggi untuk terjangkit TBC daripada orang kaya.
Ketiga, terbatasnya akses dan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin menjadikan penularan TBC tidak dapat dicegah atau terlambat ditangani. Sudah banyak ditemukan masalah warga miskin yang kesulitan mengakses layanan kesehatan secara optimal. Kalaulah dapat layanan, itu pun ala kadarnya.
Keempat, rendahnya pendidikan dan pemahaman masyarakat terkait TBC tidak dapat disalahkan secara sepihak. Rendahnya pendidikan masyarakat adalah karena masyarakat miskin tidak bisa mengakses pendidikan secara layak. Ada andil negara untuk menjalankan fungsinya dalam memenuhi layanan pendidikan dan kesehatan merata untuk seluruh warga negaranya.
Merunut berbagai faktor di atas, biang masalah dari meningkatnya penyakit menular seperti TBC ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan berbagai kebutuhan pokok masyarakat dikapitalisasi dan dikomersialisasi dalam setiap kebijakan negara. Masyarakat harus berusaha keras jika ingin memenuhi kebutuhan mereka.
Kemiskinan yang mendera tidak serta-merta karena kemauan mereka, melainkan kemiskinan tersistem akibat penerapan sistem kapitalisme. Masyarakat miskin lebih kesulitan menerapkan pola dan gaya hidup sehat ketimbang masyarakat menengah ke atas. Perbedaan kondisi ekonomi inilah yang membuat kelompok sosial ekonomi rendah lebih rentan dan riskan terhadap penyakit menular seperti TBC.
Meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mencegah dan meminimalkan penularan TBC, jika persoalan kemiskinan belum terurai secara tuntas, kasus TBC bisa jadi terus meningkat. Sekalipun negara menggandeng ormas, LSM, bahkan WHO untuk mencegah dan mengatasi TBC, jika pengaturan urusan rakyat masih menerapkan kapitalisme, hidup sehat dan sejahtera hanya angan-angan belaka.
Lingkungan dan sanitasi bersih, gizi baik, terpenuhinya kebutuhan dasar, kesadaran literasi, pengetahuan, serta edukasi di masyarakat, tidak akan tercapai selama rakyat masih susah dan sulit mengaksesnya, apalagi rakyat miskin. Oleh karenanya, biang masalah kemiskinan inilah yang mesti diselesaikan secara tuntas, barulah masalah penyakit menular semacam TBC dapat dicegah.
Bagi setiap masalah, Islam punya solusinya. Dalam menangani masalah TBC, Islam akan berfokus pada penyelesaian masalah pokoknya terlebih dahulu, yaitu penerapan sistem kapitalisme yang memiskinkan masyarakat secara terstruktur dan sistematis dalam paket kebijakan pemerintah pro kapitalis. Dalam hal ini, peran negara sangat penting selaku pe-riayah urusan rakyat.
Pertama, negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yakni sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan secara layak. Negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar kepala keluarga dapat menafkahi dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagi pengangguran, negara akan memberi bantuan untuk membuka usaha atau pembekalan keterampilan untuk bekerja.
Negara juga akan memberi layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis bagi seluruh warga negara. Dengan berbagai kemudahan tersebut, tidak sulit bagi warga menciptakan sanitasi dan lingkungan bersih serta gizi yang cukup untuk keluarganya.
Kedua, negara mengelola SDA dan memberikan hasil pengelolaan itu bagi masyarakat. Hasil pengelolaan SDA juga dapat digunakan untuk membangun sarana dan layanan kesehatan yang dapat diakses masyarakat dengan murah dan mudah. Jika ditemukan kasus penyakit menular, negara akan memberikan pengobatan hingga sembuh bagi pasien. Negara juga akan melakukan deteksi dini agar penyakit tersebut tidak menyebar ke daerah lainnya.
Demikianlah, dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam secara kafah, negara dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan pola hidup sehat beserta nutrisi yang cukup.