Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Titik Temu Agama-agama dalam Ibadah Puasa

×

Titik Temu Agama-agama dalam Ibadah Puasa

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel

Di antara fenomena yang tampak dalam acara buka puasa bersama, khususnya di perkotaan dan masyarakat pluralistik, ialah hampir selalu dihadiri warga lintas agama. Semua berbaur dengan senang hati, penuh keramahan dan keakraban. Hal ini sudah berlangsung lama, sejak puluhan tahun silam.

Baca Koran

Mengapa masyarakat lintas agama mudah menyatu dalam kegiatan buka puasa bersama, dan mereka juga menghormati orang-orang yang berpuasa.? Di antara jawabannya, karena penganut agama di luar Islam juga ada yang biasa melaksanakan puasa, meskipun cara, waktu dan jumlah harinya tidak sama dengan umat Islam. Artinya, nonmuslim tidak asing dengan yang namanya puasa.

Ayat Alquran yang berisi perintah berpuasa bagi umat Islam (QS. Al-Baqarah : 183) menyebutkan, ibadah puasa telah diwajibkan oleh Allah atas umat-umat sebelum kamu (muslim), dan tujuannya untuk bertaqwa. Para ahli tafsir menyebutkan, umat-umat sebelum Islam yang terbiasa berpuasa adalah umat Yahudi, Nasrani dan Hindu. Mulanya, umat Nabi Musa dan Isa berpuasa di bulan Ramadhan juga, lalu mereka rubah ke bulan lain, dan waktunya ditambah menjadi 40 hari. Perubahan waktu ke bulan lain karena Ramadhan dikenal sebagai bulan yang di Timur Tengah sana sangat panas, berat untuk mengerjakan puasa, sehingga dipindah ke bulan lain yang lebih sejuk, yaitu musim rabi’ (musim bunga).

Penambahan waktu dari 30 menjadi 40 hari adalah sebagai nazar seorang pendeta, jika sembuh dari sakit, puasanya ditambah 10 hari menjadi 40 hari. Pendeta lain lagi mengalami sakit mulut karena makan daging, lalu ia bernazar, jika sembuh akan berpuasa tujuh hari lagi. Ternyata Allah menyembuhkan sakitnya, jadilah ia berpuasa 47 hari. Selanjutnya raja yang berkuasa menambahnya tiga hari lagi, akhirnya genap 50 hari.

Bangsa Yahudi sesudah diusir (dibuang) ke Babylonia oleh raja Assyria Nebokadnezar juga berpuasa pada hari ke-13 bulan adar (Maret). Selain berpuasa 40 hari, orang-orang Yahudi sekarang juga berpuasa tujuh hari guna memperingati keruntuhan kota Jerusalem oleh raja tersebut. Karena berat menjalankannya, ada yang mensiasati puasa dimulai tengah malam dan buka siang tengah hari, dengan jumlah jam berpuasa tetap 12 jam. Di kalangan umat Nasrani, puasa yang terkenal adalah puasa sebelum yaum al-fisshi, yaitu hari peringatan kebangkitan Isa al-Masih. Ini sudah dilakukan oleh kaum Hawariyun (pengikut Nabi Isa) sepeninggal Isa as.

Sebelumnya bangsa Mesir, Romawi dan Yunani juga berpuasa, begitu pula orang-orang Arab Quraisy dan Yahudi Madinah sebelum Islam, mereka berpuasa khususnya pada hari ‘Asyura; puasa ini kemudian diadopsi oleh Islam sebagai puasa Sunnah yang utama. Bagi umat Yahudi, banyak peristiwa penting dalam sejarah yang mereka peringati dengan cara berpuasa, yang jumlahnya tidak kurang dari 25 macam.

Baca Juga :  Laskar Pelangi

Pengendalian Diri

Meskipun ada nuansa variasi puasa yang dikerjakan muslim dan nonnmuslim, intinya relatif sama, yaitu pengendalian diri. Mengendalikan hawa nafsu dari makan minum, berhubungan suami istri dan perbuatan lainnya, walau halal (boleh), tetap disuruh mengendalikan diri sebagai cara mendisiplinkan jasmani dan rohani.

Setiap manusia memiliki hawa nafsu terhadap hal-hal yang bersifat materi dan duniawi, yang mesti dipenuhi. Sigmund Freud menyebut nafsu manusia yang terkuat adalah nafsu terhadap lawan jenis (seks). Karl Marx menyebut materi yang mesti dipenuhi, karena dengan materi orang akan hidup sejahtera, senang dan bahagia. Bagi Bertrand Russell, seks dan materi tidak cukup, manusia juga memiliki nafsu berkuasa, guna mencapai popularitas, kehormatan dan aktualisasi diri. Ketiga daya tarik nafsu ini sering diistilahkan wanita, harta, tahta.

Nafsu tidak dapat dibunuh, hanya bisa dikendalikan, agar tetap berada di jalan yang benar, kalau tidak ia akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Menurut Imam al-Ghazali, cara mengendalikan nafsu, pertama, mengurangi makan, kedua memperbanyak ibadah, dan ketiga berdoa. Manusia yang dikurangi makannya, nafsunya melemah. Begitu juga dengan memperbanyak ibadah, orang yang berpuasa tetap bekerja, shalat, dan di saat yang sama berpuasa atau mengerjakan ibadah lainnya, maka nafsunya melemah, berganti rasa dekat kepada Allah. Selanjutnya dengan memperbanyak doa kepada Allah yang menciptakan nafsu untuk menguji keimanan manusia dan membolak-balikkan hati mereka, nafsu akan terkendali. Ketika menghadapi anjing galak kita sering kewalahan dan ketakutan, tapi kalau kita minta tuannya mengendalikannya, maka anjing itu akan penurut. Ibadah puasa yang dilaksanakan oleh umat beragama selama ini pada dasarnya juga mencakup tiga cara di atas.

Jika cara-cara berpuasa demikian dapat diterapkan, maka akan diperoleh hasil sesuai yang diinginkan. Orang-orang yang telah berpuasa lebih bertaqwa, derajat rohaninya meningkat dan di sisi lain nafsunya terkendali. Ini sudah dibuktikan orang-orang terdahulu, dengan puasa mereka beroleh kemuliaan tertentu, yang tidak diperoleh melalui cara lain. Orang-orang Jawa dulu sering semedi, tapabrata, tirakat dan sebagainya untuk memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, misalnya berupa ngelmu (kesaktian), drajat (kedudukan), pangkat (jabatan) dan kramat (karomah, kemuliaan). Cara-cara yang dilakukan terdiri dari puasa, mengurangi makan dan tidur (cegah dhahar lawan guling) siang dan malam, membuang pikiran kotor, angan-angan dan syahwat yang rendah, sampai tahap merasa bersatu dengan Tuhan, manunggaling kawula gusti, sangkan paraning dumadi, dan beroleh keyakinan tertinggi kepada Allah, haqqul yaqin.

Baca Juga :  Memperbaiki Konektivitas Jalan Guna Tumbuhnya Ekonomi

Maslahat Kebangsaan

Tujuan utama puasa untuk mencapai derajat taqwa, tidak hanya selama Ramadhan, tetapi pascalebaran dan seterusnya. Orang yang bertaqwa tidak hanya saleh secara individual, tetapi juga saleh sosial. Disebutkan dalam QS 3: 133-4 di antara indikator taqwa adalah mau menafkahkan harta untuk kepentingan sosial baik di saat lapang maupun sempit, mampu menahan amarah, mau memaafkan kesalahan orang lain, dan berbuat baik dalam berbagai bentuknya. Itu sebabnya, orang yang berpuasa, tidak hanya dituntut puasa di siang dan ibadah malam hari, tetapi di saat yang sama ia juga dituntut mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah, menahan amarahnya dan bersifat pemaaf, juga aktif berbuat baik apa saja yang sekiranya bermanfaat bagi orang lain.

Apabila kita amati kehidupan sosial dan kebangsaan hari ini, indikator-indikator takwa ini sangat penting untuk diaplikasikan. Masih banyak warga masyarakat hidup susah dengan berbagai penyebab dan akibatnya. Mereka hendaknya kita bantu, meskipun kita sendiri dalam keadaan kekurangan. Terlebih bagi kalangan mampu dan kaya, sudah seharusnya berada di garda depan dalam urusan memberikan bantuan sosial-ekonomi, santunan dan kepedulian lainnya.

Dalam ranah hubungan antarumat, antargolongan, antarpartai, antarkelompok dan aliran, bahkan antarindividu, kita masih sering mendengar kata-kata, ujaran, dan opini yang bermuatan kecurigaan, kebencian, mengesalkan dan mengecewakan. Berbeda pandangan dan kepentingan politik mengakibatkan kita mudah terpolarisasi dalam posisi berseberangan. Ujung-ujungnya bisa menimbulkan konflik dan perpecahan yang membahayakan ikatan kebangsaan kita dalam NKRI.

Di tengah kondisi demikian, kita hendaknya mampu menahan emosi, dan akan lebih baik mau memaafkan dan mendoakan kebaikan. Apalagi terhadap para pemimpin publik di berbagai jenjangnya, apakah kita suka atau tidak, penting sekali untuk didoakan ke arah kebaikan dan keselamatan, bukan mendoakan keburukan. Seorang ulama sufi berkata: “Seandainya aku hanya punya satu doa yang pasti dikabulkan Allah, maka aku akan berdoa untuk kebaikan pemimpin. Alasannya, kalau pemimpin baik maka seluruh rakyat dan umat menjadi baik, begitu juga sebaliknya”. Kalau doa pribadi dikabulkan Allah, tentu yang merasakan manfaat hanya individu bersangkutan. Tetapi kalau pemimpin baik, yang merasakan kebaikannya adalah rakyat semuanya. Berpikirnya seorang pemimpin untuk kebaikan rakyat lebih tinggi nilainya daripada zikirnya ribuan ulama dan rakyat. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan