Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Ada Apa Dibalik Kenaikan Harga Bahan Pangan?

×

Ada Apa Dibalik Kenaikan Harga Bahan Pangan?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Fitriyani
Ibu Rumah Tangga

Harga sejumlah bahan pangan di Indonesia naik, berdasarkan data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Senin (4/3/2024) pukul 12.30 WIB, dari 20 komoditas terdapat 16 komoditas naik dan 3 komoditas turun.Komoditas yang naik harga yaitu ikan tongkol, tepung terigu kemasan (non-curah), telur ayam ras, bawang putih bonggol, dan ikan bandeng.

Baca Koran

Harga beras pun terus naik setiap tahunnya bahkan pada 2024 ini kenaikannya tertinggi dalam sejarah Republik Indonesia, menurut Direktur Justice Monitor Agung Wisnuwardana di kanal YouTube Justice Monitor, Jumat (23/2/2024).

Kelalaian

Menurut Agung, mahalnya harga beras ini sebagai bukti kelalaian negara dalam mengurusi pangan rakyat. “Harga beras lebih dari setahun merangkak naik meroket ini adalah indikasi kelalaian dan ketidakseriusan negara mengurusi pangan rakyat,” tuturnya. Negara, dinilai Agung, tidak bisa mengatasi kenaikan harga yang melonjak dalam waktu sepanjang tahun yang membuat rakyat sulit untuk mendapatkannya.

“Kelalaian ini terjadi pada berbagai lini, baik produksi maupun distribusi yang akhirnya memicu fluktuasi harga, dari sisi produksi negara lalai untuk menggenjot produksi dalam rangka memenuhi kekurangan pasokan baik untuk konsumsi maupun untuk cadangan untuk pemerintah,” ungkapnya.

Kelalaian ini terjadi, menurut Agung, karena dibiarkannya alih fungsi lahan pertanian secara masif. “Kita tahu bahwa alih fungsi lahan pertanian ini memang betul-betul luar biasa di berbagai lini,” tuturnya.Bahkan, lanjutnya, konferensinya berjalan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kebermanfaatannya sangat minim bagi rakyat, dan negara juga tidak serius mengatasi kesulitan petani untuk mendapatkan sarana produksi pertanian (saprotan) atau sarana produksi tani (saprodi) seperti pupuk atau benih dan sebagainya.

“Yang terjadi justru anggaran untuk subsidi pupuk semakin dikurangi begitu pula pemerintah gagal memitigasi perubahan cuaca yang berakibat gagal panen di mana-mana,” ujarnya. Sedangkan dari sisi distribusi, tuturnya, sangat jelas terlihat kelalaian negara, hingga terjadi lonjakan harga yang tidak wajar sekalipun pasokan beras yang dipenuhi melalui impor.“Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga agar terbentuk harga secara wajar,” pungkasnya.

Cengkeraman Kapitalisme

Sejatinya, masalah kenaikan harga barang-barang pokok bukan hanya karena cuaca dan iklim seperti El Nino. Buktinya, negara lain yang sama-sama terkena imbas El Nino, produksi mereka masih surplus. Artinya, ada masalah lain yang lebih besar dari pada El Nino yang bisa memengaruhi produksi pangan.

Problematika pangan (termasuk lonjakan harga yang terjadi berulang) bukanlah sekadar persoalan ditataran regulasi teknis, melainkan berpangkal dari konsep pengaturan berparadigma sistem kapitalisme neoliberal. Penerapan paradigma ini menyebabkan negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan. Peran pemerintah sekadar regulator dan fasilitator, bukan lagi penanggung jawab. Akibatnya, pengadaan kebutuhan dasar rakyat diambil alih korporasi yang justru menjadi proyek bancakan untuk mengejar keuntungan sepihak.

Baca Juga :  Eksistensi dan Peran Sultan Muhammad Seman

Lebih parahnya, korporatokrasi dalam sistem kapitalisme neoliberal meniscayakan terjadinya hegemoni. Pada sektor pertanian dan pangan ini, misalnya, muncullah perusahaan-perusahaan raksasa, bahkan menjadi perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Mereka membeli padi dari petani dengan harga agak mahal sedikit dari pasar. Setelah masuk gudang, mereka “menyulap” padi-padi itu dalam bentuk beras kemasan dengan harga dua kali lipat bahkan lebih. Kalau begini, petani memang untung, tetapi para pengusaha tadi jauh lebih untung.

Pada sektor produksi pertanian, setidaknya 10 korporasi raksasa menguasai produksi benih, pupuk, pestisida, dan saprotan lainnya. Sektor peternakan pun demikian, 80 persen pasar produk peternakan dikuasai hanya oleh tiga perusahaan integrator. Perusahaan-perusahaan integrator ini merupakan produsen DOC, pakan, pemilik peternakan, hingga menghasilkan produk hilir peternakan.

Kapitalisasi ini menyebabkan banyaknya peternakan rakyat yang bangkrut karena tidak bisa bersaing. Sekjen Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (GOPAN) menyebutkan, dahulu terdata sekitar 2,5 juta peternak, tetapi saat ini hanya ratusan ribu.

Kapitalisasi dalam hal importasi pangan memunculkan segelintir korporasi yang akhirnya menimbulkan oligopoli. Praktik oligopoli memberikan celah besar untuk melakukan kartel. Contohnya, impor kedelai mayoritas dikuasai oleh PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargill Indonesia.

Menurut catatan KPPU, PT Cargill Indonesia menguasai 74,66 persen pasokan kedelai ke dalam negeri pada 2008. Begitu pula importir bawang putih terbesar yang dikuasai tujuh korporasi. Importasi gula yang ditargetkan sebesar 3,4 juta ton pada 2022 ini juga dikuasakan kepada 11 korporasi.

Negara juga absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan sehingga para spekulan/mafia pangan—yang notabene sebagiannya korporasi pangan itu sendiri—menjadi tumbuh subur. Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah.

Penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga pun sangat sulit ditertibkan. Melonjaknya harga telur saat ini tidak terlepas dari keberadaan korporasi integrator yang menguasai rantai penjualan produk-produk peternakan sehingga merusak harga pasar. Dengan dominasi sektor pangan ditangan semua korporasi tersebut, bagaimana mungkin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan ketika mayoritas pasokan pangan tidak berada dalam kendali negara?

Baca Juga :  Hijrah "Disconnect" Momentum Tahun Baru Islam 1447 H

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan pernah menyatakan, sulit bagi pemerintah menstabilkan harga sebab pemerintah tidak dapat menguasai 100 persen produksi pangan. Bahkan, sebaliknya, pemerintah malah bergantung pada korporasi.

Terlebih lagi, dengan konsep goodgovernance dalam negara neoliberal, ketika lembaga negara BUMN/BUMD hadir untuk menstabilkan harga pangan, kehadirannya justru sebagai korporasi yang bertujuan mencari untung. Tidak aneh ketika saat ini BUMN bertransformasi menjadi holding company dan bertujuan memperbesar keuntungan, bukan lagi melayani hajat rakyat.

Selain itu, penegakan sanksi yang lemah makin meleluasakan para pelaku kejahatan pangan untuk beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak berefek jera dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para kartel dan mafia kelas kakap sangat sulit ditindak.

Politik Pangan Islam

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna sejatinya memiliki politik pangan tersendiri yaitu : Pertama, negara wajib hadir dalam setiap kebijakan. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya kelaparan. “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Kedua, negara akan senantiasa hadir pada produksi, distribusi hingga konsumsi. Pada tingkat produksi, negara akan menjalankan politik pertanahan Islam, seperti melarang pembangunan industri di lahan subur, memberikan lahan pertanian bagi siapa saja yang bisa menghidupkannya, melakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, dan lainnya. Sedangkan dalam distribusi, negara akan memotong rantai distribusi yang panjang sehingga harga tidak mahal, melarang adanya penipuan atau penimbunan, dan lainnya. pada tingkat konsumsi, negara memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhannya.

Ketiga, untuk mendukung semua program negara, akan diterapkan sistem ekonomi Islam, sistem sanksi Islam, hingga sistem pendidikan Islam. Jika semua itu dapat dipenuhi, jaminan surplus pangan akan tercapai karena Allah telah berjanji dengan firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf: 96) .

Dengan demikian, sebagai umat yang beriman, kita tidak boleh hanya menyalahkan faktor alam saat terjadi masalah pangan. Bisa jadi ini peringatan Allah Taala agar umat Islam mau kembali lagi kepada Islam. Sungguh, hanya Islam yang dapat menyelamatkan negeri dari cengkeraman kapitalisme. Wallahualam.

Iklan
Iklan