Oleh : Norsanah, S.Sos
Pemerhati Sosial
Menjelang Hari Raya Idul Fitri banyak yang menanti kabar gembira dengan pembagian bonus ataupun tunjangan oleh para pekerja. Baik para Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun para pekerja swasta di perusahaan, dan tak ketinggalan adalah para pensiunan PNS/ASN.
Tentu Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Karena pada saat bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi. Mulai dari kebiasaan membeli baju baru/baju lebaran, membuat ataupun membeli sajian makanan di hari raya, tradisi mudik, dan kebutuhan lainnya.
Namun ada hal yang mengejutkan publik pada tahun ini adalah dibebankannya pajak pada THR bagi para pekerja swasta. Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan pekerja swasta akan dikenakan pajak. Bagi pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21.
Pemotongan ini dilakukan langsung perusahan kemudian disetorkan ke kas negara. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai 1/1/2024 (detik.com).
Tentu banyak pihak harus menelan kekecewaan atas ketetapan ini. THR yang seharusnya merupakan hak mereka secara penuh, namun ternyata harus dipotong untuk membayar pajak.
Pajak di Sistem Kapitalis
Pajak (Inggris: tax, dari bahasa Latin taxo; “rate”; Belanda: belasting) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(Wikipedia.org).
Ya, penetapan pajak dalam sistem kapitalisme adalah hal yang niscaya. Karena pajak merupakan salah satu sumber pemasukan utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga tentu saja dengan konsep seperti itu membuat Negara akan mengenakan pajak pada setiap orang, setiap barang maupun penghasilan. Bahkan apa saja bias ditetapkan pajaknya. Tentu ini semakin menambah beban hidup rakyat.
Berbeda halnya dengan konsep Islam. Yang mana Islam menetapkan Pajak (Dharibah) sebagai alternatif terakhir ketika negara dalam keadaan khusus, misal kekurangan kas untuk memenuhi tanggungjawab/kewajibannya.
Sifatnya pun temporal, hanya sewaktu–waktu saja dalam kondisi khusus tersebut, semisal ketika kas Negara kosong. Namun ketika keuangan Negara sudah stabil, maka penetapan pajak akan diberhentikan.
Pajak (Dharibah) dikenakan hanya kepada para aghniya (orang-orang kaya) saja. Tidak seperti hari ini semua orang dikenakan pajak. Yang kaya ataupun yang miskin sama saja, sama-sama dibebani pajak.
Dalam Islam, Pajak (Dharibah) bukanlah sumber utama pemasukan kas Negara. Karena sumber pemasukan kas Negara banyak dan memiliki pos – pos tersendiri. Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, menjelaskan panjang lebar dan gamblang pos-pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya. Dalam kitab tersebut, Abu Ubaid menulis sejumlah pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya seperti fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan tentu saja, zakat.
Penjelasan tentang pos penerimaan negara secara lengkap dan sistematis juga disampaikan Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah. Menurut Zallum, setidaknya terdapat 12 Pos penerimaan tetap Baitul Mal.
Termasuk di dalamnya adalah harta kepemilikan umum, yang mencakup tiga jenis, yaitu: (1). Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput (hutan) dan api (sumber energi); (2). Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, kereta api, PAM, dsb; (3). Barang tambang (SDA) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti tambang minyak bumi, gas alam, nikel, batu bara, emas, tembaga, uranium, dan sebagainya.
Hak Kepemilikan Umum ini harus dikelola negara, yang kemudian hasilnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat berupa papan, sandang, pangan, pendidikan yang gratis, kesehatan yang murah, serta menjamin keamanan bagi rakyat. Dan juga untuk pembangunan infrastruktur yang baik.
Dengan demikian, negara tidak harus memungut pajak kepada rakyat sebagai sumber pemasukan APBN. Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai mekanisme.
Jika saja negara ini mau menerapkan aturan sesuai dengan ketentuan Sang Pencipta, tentu saja rakyat tidak harus menanggung beban pajak sepanjang hidup mereka seperti hari ini.