Oleh : Ahmad Barjie B
Menulis Beberapa Buku Sejarah dan Budaya Banjar
Tulak ka pasar manukar tilam
Tilam diampar di ranjang hanyar
Ratusan remaja bakumpul di Kiram
Lokasi syuting film Perang Banjar
Beberapa tahun lalu Pemerintah Provinsi Kalsel melalui Dinas Pemuda dan Olahraga melaksanakan kegiatan “Napak Tilas Jejak Pahlawan” di Villa Gubernur Paman Birin, Desa Kiram Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Kawasan perbukitan yang indah ini saat itu menjadi salah satu lokasi syuting film Perang Banjar yang ditayangkan di Kalsel sejak Januari 2018 dan juga disiarkan secara nasional melalui TVRI stasiun pusat Jakarta.
Sebagai penyusun buku “Perang Banjar Barito 1859-1906”, saya juga diminta mengisi sarasehan secara lesehan di lokasi ini, di hadapan ratusan remaja pelajar SMTA se-Kalsel, dengan materi “Jejak Sejarah Perang Banjar”. Peserta sangat tertarik dan bersemangat. Pengetahuan mereka tentang sejarah lumayan. Ketika ditanya siapa nama empat pahlawan nasional dari Kalsel, mereka dengan lancar menyebut Pangeran Antasari, Brigjen TNI Purn H Hassan Basry, DR KH Idham Chalid dan Ir Pangeran Mohammad Noor. Namun ketika ditanyakan apa nama kapal perang Belanda yang ditenggelamkan oleh para pejuang Banjar-Barito di hulu Sungai Barito, peserta tampak kebingungan, bahkan ada yang menjawab Kapal Van der Wijck. Rupanya mereka teringat novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” karya Buya Hamka.
Belum banyak remaja yang mengetahui bahwa kapal perang Belanda yang ditenggelamkan oleh pejuang dulu adalah kapal Onrust beserta ratusan tentara kulit putih berhasil ditewaskan. Amuk di atas kapal tersebut dipimpin Tumenggung Surapati cs, anak buah Pangeran Antasari. Menurut Sultan Banjar Khairul Saleh, peristiwa tersebut sangat memukul pemerintah kolonial Belanda, sehingga dijadikan “hari berkabung nasional” di negeri Belanda. Dalam sejarah peperangan di Nusantara, belum pernah Belanda berkabung nasional, kecuali karena tenggelamnya Onrust.
Itu hanya satu episode dari rangkaian perang Banjar-Barito yang sangat lama, dahsyat dan eskalatif. WA Van Rees, tentara Belanda yang menulis De Bandjermasinsche Krijk mengakui Perang Banjar sangat berat dengan korban sangat banyak di pihak Belanda, sehingga Belanda harus memutar otak dan akhirnya menempuh cara licik yaitu mengajak (menipu) Pangeran Hidayat berunding, dan setelah itu menangkap dan membuangnya ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menjadi kontroversi sejarah, ada yang menganggap Hidayat menyerah sehingga gelar pahlawan nasional untuknya tetap dibantarkan pusat, padahal beliau ditipu karena dianggap tokoh berbahaya. Sampai wafatnya 1904, beliau tidak pernah dipulangkan ke tanah Banjar.
Terus Meningkat
Napak tilas jejak pejuang dan pahlawan di Kalsel semakin sering diadakan beberapa tahun terakhir. Pemerintah provinsi melibatkan jajaran TNI, pemuda dan mahasiswa serta berbagai komunitas seperti komunitas Sepeda Ontel, sering melaksanakannya. Mereka rela mengorbankan waktunya, untuk berjalan kaki atau bersepeda menelusuri tempat-tempat yang dahulunya menjadi lintasan para pejuang dalam melawan penjajah, merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gubernur Kalsel Paman Birin sendiri, merupakan kepala daerah yang sangat besar perhatiannya kepada sejarah perjuangan dan sering tampil dengan pakaian pejuang. Selain terlibat dalam film Perang Banjar, Paman Birin juga berperan aktif dalam film Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Semua ini penting kita apresiasi dan tindaklanjuti.
Napak tilas jejak pejuang sangat penting terutama bagi generasi muda, sebab banyak di antara mereka lupa dengan kisah-kisah sejarah perjuangan di daerahnya. Banyak anak muda sekarang, baik kalangan awam maupun terpelajar disibukkan dengan berbagai alat komunikasi dan informasi canggih, yang tidak semua informasinya bernilai positif. Di tengah keasyikan tersebut mereka semakin ahistoris dan asosial. Sikap ahistoris ditunjukkan dengan kemalasan membaca buku-buku dan menggali kisah-kisah sejarah, sehingga terputus dengan masa lalunya. Sifat asosial ditunjukkan dengan keasyikan mengakrabi alat-alat komunikasi (hp) di tangannya saja, ke mana pun pergi dan di mana pun berada, mereka hanya asyik dengan alat tersebut, bahkan orang dekat pun tidak disapa. Tradisi “barawaan dan bacucur” yang dulu diajarkan kakek-nenek, sekarang sudah hilang, berganti ketidakacuhan dan egoisme dengan urusan masing-masing.
Banyak Cara
Agar tumbuh kesadaran dan rasa memiliki terhadap sejarah perjuangan, terutama di daerah, beragam cara bisa dilakukan. Pembuatan film-film perjuangan dan kesejarahan yang diinisiasi Pemerintah Provinsi Kalsel bersama Dinas Pendidikan merupakan hal yang positif. Tentu masih banyak peristiwa peperangan lain yang sangat dahsyat dan perlu diaktualisasikan dalam bentuk film dokumenter.
Dalam perang Banjar-Barito 1859-1906 dapat disebut peristiwa tenggelamnya Kapal Perang Onrust, pertempuran Benteng Tundakan, pertempuran Banua Lawas dan pembunuhan Penghulu Abdul Rasyid, hukuman gantung Demang Lehman dan Panglima Batur, Amuk Hantarukung, penyerangan Benteng Tatas Banjarmasin oleh Panglima Wangkang dari Marabahan dan sebagainya.
Kemudian dalam masa revolusi fisik 1945-1949, dapat pula disebut Pertempuran Pagatan, Marabahan, Palagan Nagara, Hambawang Pulasan, Proklamasi 17 Mei 1949 dan banyak lagi. Tahun lalu penulis juga sempat menjadi narasumber Seminar Pertempuran 9 November Banjarmasin di kampus ULM Banjarmasin, bersama sejarawan muda Mursalin dan aktivis mahasiswa. Semua penting dan menarik dikaji, apalagi kalau bias direproduksi dalam bentuk film atau karya sinema lainnya. Sayang penggarapan film perjuangan dari Banjar terasa masih kurang, padahal daerah-daerah lain aktif melakukannya.
Mendatangi perpustakaan dan membaca buku-buku sejarah, berkunjung ke museum misalnya museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dan museum Wasaka Banjarmasin, juga amat membantu menambah informasi dan menanamkan semangat kejuangan pada diri generasi muda. Begitu juga berziarah ke makam-makam pahlawan penting dilakukan. Kita memiliki banyak makam pahlawan, seperti Bumi Kencana Banjarbaru, Alam Roh Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, 5 Desember Marabahan Barito Kuala, Puspa Raya Lokpaikat Tapin, Pusara Bakti Banua Padang Batung Kandangan, Teluk Bayur Juai Balangan, Divisi IV ALRI Birayang Hulu Sungai Tengah, Kusuma Bangsa Pagat Batu Benawa Barabai, Tabur Amuntai-Kelua Hulu Sungai Utara, Tanjung Kencana Murungpudak Tabalong, Wadah Batuah Kotabaru, Mattoni Kusan Hilir Tanahbumbu, Tuntung Pandang Pelaihari dan situs-situs bersejarah lainnya.
Menanamkan semangat kepahlawanan tidak semata tanggung jawab pemerintah dan harus dipelopori instansi terkait. Lebih penting ada kemauan dan kesadaran bersama. Para guru sekolah dasar dan menengah, misalnya guru Sejarah, PPKn dan sejenisnya perlu melaksanakan pembelajaran dalam bentuk wisata sejarah ke tempat-tempat di atas. Dengan begitu anak-anak secara dini sudah mengenal jejak perjuangan dan mengetahui nama-nama pahlawan/pejuang didaerahnya. Tidak saja yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional, tetapi di luar itu masih banyak pejuang yang belum dihargai sebagaimana mestinya. Generasi muda juga perlu meneruskan misi pejuang dalam mengisi pembangunan sekarang, misalnya dalam bentuk kegigihan belajar, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, menjaga persatuan dan kesatuan, sehingga bangsa Indonesia yang sudah merdeka dapat lebih maju, menjadi tuan di negara dan daerahnya sendiri.
Tokoh masyarakat, pemuka agama dan ulama juga penting mengambil peran. Selama ini di Kalimantan Selatan sudah akrab dengan haulan ulama, yang ditandai pembacaan manakib dan doa, dari skala kecil sampai besar. Alangkah baiknya jika masyarakat juga melaksanakan haulan pejuang dan pahlawan. Kalau bukan karena jasa pejuang dan pahlawan, kita tak akan merdeka, bahkan kehidupan beragama pun tetap terbelenggu. Justru dengan kemerdekaan bisa menjalankan agama dan aktivitas lainnya dengan leluasa. Sebagian pejuang dan pahlawan juga ulama. Wallahu A’lam.