Iklan
Iklan
Iklan
OPINI PUBLIK

Refleksi Hari Kesehatan: Jaminan Atau Kekuatan (Membayar)?

×

Refleksi Hari Kesehatan: Jaminan Atau Kekuatan (Membayar)?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Setiap 7 April yang lalu diperingati sebagai hari kesehatan sedunia. Pada 2024 ini, tema yang diangkat adalah “My Health, My Right”. Artinya Kesehatanku, Hakku. Tema ini menyiratkan bahwa kesehatan adalah hak setiap orang. Sebagai hak kesehatan seharusnya diterima setiap orang. Dengan kata lain setiap orang dijamin mendapatkan layanan untuk meraih kualitas kesehatan.

Pemerintah mengklaim bahwa Indonesia sudah memberikan jaminan kesehatan. Indikasi jaminan tersebut adalah dengan mekanisme kepesertaan dalam BPJS. Ada BPJS mandiri dan BPJS yang dibayarkan pemerintah. Data menyebutkan 269 juta rakyat Indonesia terdaftar sebagai peserta JKN-KIS (tempo.co, 07/04/2024).

Inilah mekanisme jaminan kesehatan. Rakyat diminta menjadi peserta BPJS. Ada subsidi silang di antara mereka. Apakah menuntut rakyat menjadi peserta BPJS dan mewajibkan mereka membayar iuran dengan imbalan layanan kesehatan jika dalam keadaan membutuhkan adalah suatu jaminan kesehatan? Mungkin suatu jaminan dalam cita rasa pemerintah. Faktanya rakyat harus membayar untuk layanan kesehatan yang mereka terima. Ini tidak berbeda dengan mekanisme asuransi. Anda membayar, anda akan terjamin.

Lebih jauh, posisi rakyat yang membayar iuran BPJS tetap lemah dan rendah. Mereka bukan pembeli yang diperlakukan sebagai raja. Seolah harga yang dibayarkan lewat iuran tidak sepadan dengan nilai layanan yang mereka terima. Pelayanan BPJS sering dikeluhkan tidak optimal dan kurang berkualitas. Prosedur BPJS terkadang berbelit dan memakan waktu tentu berbeda dengan pelayanan non BPJS atau umum. Banyak akhirnya terpaksa beralih ke pelayanan umum meski lebih mahal.

Adanya disparitas layanan kesehatan cenderung merugikan rakyat. Keberadaan BPJS dan layanan umum menguatkan prinsip industri dan bisnis dimana berlaku prinsip ada barang, ada harga. Ini terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme dimana semua mata rantai produksi layanan kesehatan sudah dikomersialisasi dan menjadi obyek investasi. Misalnya untuk menjadi dokter, bidan dan perawat, seseorang harus berinvestasi dengan mengerahkan uang untuk menempuh pendidikan profesi. Belum lagi bisnis farmasi, alat-alat kesehatan dan bisnis klinik dan rumah sakit.

Baca Juga:  Guru Penggerak Mentransformasi Siswa Pasif Menjadi Aktif dan Kreatif

Situasi disparitas ini cenderung membuat rakyat tereksploitasi. Rakyat yang ‘desperate’ bisa menjadi obyek bisnis, karena mereka sedang sangat membutuhkan. Di sisi lain tenaga kesehatan akhirnya tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka tersandera oleh kepentingan uang dan bisnis. Fenomena pasien terlantar dan tertolak menjadi biasa.

Jika menjadi peserta BPJS saja merasa kurang ‘terjamin’, bagaimana dengan mereka yang tidak menjadi peserta karena berat membayar iuran? Mereka pada akhirnya mengerahkan kekuatan membayar untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Syariat Islam menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan asasi publik per individu dijamin memperolehnya secara murah bahkan gratis. Negara harus menyediakan layanan kesehatan sebagai bagian dari riayah, pengurusan pada rakyat. Rasulullah SAW merangkum kewajiban pemimpin sebagai roin, pengurus rakyat layaknya penggembala bertanggungjawab terhadap gembalaannya.

Ketika Nabi SAW sebagai kepala negara di Madinah mendapat hadiah berupa keberadaan seorang dokter, Beliau SAW menjadikan dokter tersebut melayani kesehatan dan pengobatan penduduk Madinah. Ini menunjukkan satu wujud negara memberi pelayanan kesehatan pada rakyat. Layanan kesehatan pada rakyat dilanjutkan oleh para khalifah hingga dalam bentuk rumah sakit berjalan yang melayani suku-suku nomaden.

Pelayanan kesehatan berkembang di masa kekhilafahan seiring berkembangnya ilmu kedokteran. Peradaban Islam terkenal dengan Ibnu Sina, peletak dasar kedokteran modern. Selain itu kaum muslimin juga mempelopori adanya rumah sakit jiwa bahkan rumah sakit hewan. Suatu pencapaian yang melampaui bangsa-bangsa lain di zamannya.

Pemberian layanan kesehatan gratis dan berkualitas tidaklah suatu mimpi. Dalam syariat Islam, negara mengerahkan pengeluaran dalam kesehatan dari berbagai sektor pendapatan, baik pos penerimaan dari kepemilikan umum seperti pendapatan dari kekayaan barang tambang mineral, barang energi, hutan, laut dan lainnya dari kepemilikan umum. Kepemilikan negara juga diperuntukkan untuk pelayanan kepentingan rakyat dalam kesehatan dan pendidikan. Sedang kepemilikan pribadi bisa menyumbangkan waqaf-waqaf.

Baca Juga:  Polemik Dilarangnya Melakukan Tindakan Sunat Terhadap Anak Perempuan

Pelayanan kesehatan diberikan negara secara prima. Negaralah yang harus kuat dalam memobilisasi potensi, bukan rakyat yang mempertaruhkan kesehatannya dengan kekuatan membayar dalam sistem bisnis dan industri kesehatan sebagaimana dalam sistem sekuler kapitalisme hari ini.

Sudah saatnya rakyat di negeri ini berpaling kepada penerapan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan