BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Film pendek dengan judul Dialektika di Ujung Joran karya Dapur Budaya Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) tampil sebagai juara pertama di Kompetisi Film Pendek diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispersip) Provinsi Kalimantan Selatan.
Peringkat kedua film berjudul Pelita oleh Panggoeng Senie Boedaya, sedangkan juara ketiga dengan film berjudul Aku dan Perpustakaan karya
Rezer production.
Lalu, juara harapan pertama dengan judul film Rabu Kamis dari MANTITA Studio, juara harapan kedua yang berjudul Calistung KostKine Production dan harapan ketiga filmnya berjudul Buta Aksara karya SSA Project.
Sebanyak 17 judul film pendek dari berbagai daerah di Kalsel mengikuti Kompetisi Film Pendek diselenggarakan Dispersip Kalsel.
Setelah ‘diseleksi’ secara ketat oleh tiga tim dewan juri terdiri Dewan Bayu Bastari Setiawan, Ade Hidayat Wirianto Hadisucipto diambil delapan nominasi untuk menentukan pemenang juara pertama hingga harapan ketiga.
Penyerahan hadiah buat pemenang diserahkan Kepala Dispersip Provinsi Kalsel, Nurliani Dardie di Gedung Teater Perpustakaan Palnam, Banjarmasin, Kamis (30/5/2024).
Penulis film pendek Dialektika di Ujung Joran hasil dari Dapur Budaya HSS), Rendra usai penyerahan hadiah mengatakan mereka mengangkat judul film tersebut karena sangat dekat dengan kehidupan masyarakat di Kalsel.
“Urang Banjar itu kan dikenal paunjunan. Artinya kami mengangkat isu-isu yang dekat dengan masyarakat dan kebudayaan yang lekat kelokalan,” ucapnya.
Sambil maunjun, lanjut dia, juga terkadang sebagai tempat orang berdiskusi sambil memancing.
Ditambahkan Hendra, mereka juga mengambil syuting di warung, karena sebagai pusat informasi di daerah.
Selain itu, kata dia, mereka tak melupakan isu-isu kekinian yang dihadapi sekarang di media sosial, internet. “Jadi harus kredibel dengan isu kelokalan bagaimana informasi yang begitu cepat berhadapan dengan masyarakat random,” tandasnya.
Rahmaniardi Aditya selaku pengarah film Dialektika di Ujung Joran mengatakan pihaknya melakukan persiapan pembuatan film tersebut sekitar dua bulan sebelumnya, sedangkan masuk produksi dua minggu menjelang hari pengumpulan.
“Memang ide awal bagaimana kami mengangkat hal paling dekat, yang menampilkan visual tentang daerah kami rumah-rumahnya, cagar budaya seperti apa, terus bagaimana alamnya, keadaan sosial seperti kebiasaan mewarung dan sebagainya,” ucapnya.
Intinya, Rahmaniardi, treatmen mereka bagaimana caranya antara digitalisasi dan juga literasi itu bukan saling bertabrakan, tapi mereka saling bantu.
Di film ini ada tiga aktor utama yakni Paman Islan, Suriansyah dan Siti Salawiyah ditambah pemain lainnya yaitu Amir Mahmud, Kusmayadi dan Fadil Ikhsan serta Muhammad Nizar
Sementara itu, Kepala Dispersip Hj Nurliani Dardie mengatakan sejak dibangunnya gedung teater ini merupakan event kedua digelarnya komptisi film pendek dengan tema Aku dan Perpustakaan.
Ada pun tujuan diadakan even ink untuk mempromosikan perpustakaan dan gemar membaca
“Juga untuk meningkatkan kreativitas anak-anak muda dibidang perfilman, karena saat ini audi visual sangat marak jadi kami fasilitasi untuk mengadakan lomba ini,” ujar Bunda Nunung, panggilan akrab Nurliani Dardie.
Dia menambahkan tidak hanya sekedar lomba, pihaknya juga mempersilakan kepada teman-teman untuk memanfaatkan teater ini secara maksimal.
“Bagi kepada pemenang dan belum juara silakan pergunakan gedung ini meningkatkan kreativitasnya supaya karya mereka tambah baik.
Sementara itu, dewan juri terdiri Bayu Bastari Setiawan, Ade Hidayat dan Wirianto Hadisucipto ada memberikan catatan penjurian Kompetisi Film Perpusda 2024.
“Film yang dipilih sebagai juara dianggap para juri sebagai film yang dapat mewakili lokalitas
dan literasi secara jenaka atau dapat menghibur para penontonnya. Namun masih memiliki catatan dalam unsur sinematiknya,” kata Ade, salah satu dewan juri.
Selain itu, lanjut dia, para juara dirasa mampu untuk menyampaikan keseimbangan antara unsur naratif dan unsur sinematik dalam filmnya.
“Secara teknis film-film yang dibuat oleh peserta memiliki keinginan kuat dalam
merealisasikan filmnya dengan wujud yang naratif namun kemampuan mengatur adegan, memilih shot, komposisi, dan pencahayaan masih harus banyak belajar lagi,” ungkapnya.
Namun, menurut dewan juri, beberapa film terjebak dalam tema yang diberikan kepada peserta. sehingga peserta selalu mencoba menerjemahkannya secara harfiah.
“Peserta mencoba menerjemahkan naratif secara harfiah dengan menggunakan narasi di
sepanjang filmnya. Penggunaan narasi dirasa menggurui penontonnya, padahal narasi tidak diperlukan dalam
menjelaskan adegan,” ucapnya. (ful/KPO-3)