Oleh : H AHDIAT GAZALI RAHMAN
Setiap mahluk yang hidup pasti akan merasakan kematian. Sebagai mahluk yang berpikir, manusia sehrusnya merenungi tentang kematian, karena kematian itu tak pernah gagal pada diri manusia, sebagaimana firman Allah SWT, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”. (QS. Al Ankabut : 57). “Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al Jumu’ah : 8).
Kematian akan dialami siapapun yang bernyawa. Momen ini tidak bisa dihindari, ditunda atau bahkan diprediksi kapan datangnya. Allah SWT memiliki hak prerogatif atas kematian mahluknya. Sebagaimana manusia hanya bisa menyiapkan diri bagaimana menghadapi kematian, karena perjalanan manusia tidak hanya sampai pada kematian, tapi lebih dari itu manusia diminta mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakan ketika di dunia. Jika selalu berbuat baik, maka akan menerima kebaikan dan berlaku sebaliknya, jika dalam dunia hanya melakukan kejahatan maka di akhirat akan menerima kejahatan. Kehidupan akhirat hanya akan berakhir pada dua tempat, yakni bagi yang selalu melakukan kebaikan mendapatkan surga dan bagi yang selalu melakukan kejahatan akan masuk neraka.
Merenungi atau mengingat kematian sangat penting, sehingga dapat mengukur atau menghitung diri sendiri, sudah pantaskah masuk surqa Allah dengan kebaikan yang telah dilakukan, atau menurut perhitungan, telah banyak melakukan kesalahan, maka belum pantas masuk surqa, tapi pasti tidak ingin masuk neraka. Dari itu, sebelum menemui kematian, alangkah eloknya merenungi apa yang diperbuat, apakah mengarah ke jalan surga karena melakukan suatu sesuai petunjuk Allah, selalu menjauhi larangnya, atau sebaliknya terlalu banyak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Maka jika mati akan masuk neraka.
Menurut hadis, Ibnu Hibba, “Sering-seringlah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian, karena tidaklah seseorang mengingatnya dalam kesempitan hidup melain kan akan melapangkannya dan tidaklah seseorang mengingatnya dalam keleluasaan hidup melainkan akan mempersempitnya”. (Baihaqi).
Merenungi kematian akan menimbulkan rasa khawatir di dunia yang fana karena akan menuju akhirat yang abadi. Kematian tidak mengenal usia, waktu ataupun penyakit tertentu agar setiap orang mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Manusia tidak pernah lepas dari kondisi lapang dan sempit, sehingga dengan mengingat kematian, maka manusia tidak akan terlena ataupun berputus asa dari takdir. Manusia yang mengingat kematian Insya Allah akan melahirkan atau dimuliakan dalam tiga hal, yaitu : 1. Segera bertaubat; 2. Hati qanaah; 3. Giat ibadah.
Bagaimana dengan manusia yang mengharapkan kematian segera datang? “Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian karena marabahaya yang menimpa, kalaupun harus mengharap (mati).
Hal ini sebagaimana hadis Nabi, “Janganlah salah seorang kalian mengharapkan dan berdoa (memohon) kematian sebelum waktunya tiba, sungguh bila salah seorang dari kalian meninggal dunia, amalnya terputus, sungguh umur orang mukmin itu menambahkan kebaikan”. (Bukhari dan Muslim).
Hendaknya manusia senantiasa bersabar dengan ketetapan dari Allah Ta’ala dan senantiasa istiqomah dijalan-Nya. Janganlah berputus asa karena sesungguhnya putus asa itu memberikan peluang kepada setan untuk melemahkan hati manusia. Kita harus kemablikan semua kepada Allah sebagaimana firmanNya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. (QS. Al Anbiya : 35).