Penulis:
- Dr. Didi Susanto, M.I.Kom., M.Pd (Dosen Magister Administrasi Pendidkan UNISKA MAB Banjarmasin)
- Rico, S.Pd., M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi UNISKA MAB Banjarmasin)
- Ade Nur Atika Sari, S.I.Kom., M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi UNISKA MAB Banjarmasin)
Perubahan sosial dan identitas budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perubahan sosial seringkali mempengaruhi dan membentuk identitas budaya masyarakat. Fenomena yang saat ini tengah terjadi adalah hilangnya identitas suku Banjar pada generasi Gen Z. Tidak hanya suku Banjar, fenomena serupa juga terjadi pada berbagai suku dan kelompok etnis lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah globalisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Secara definisi, perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sementara itu, identitas budaya adalah pengenalan dan perasaan kepemilikan terhadap budaya tertentu yang membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam konteks ini, identitas budaya suku Banjar yang hilang adalah fenomena di mana generasi muda suku Banjar mulai kehilangan pengenalan dan perasaan kepemilikan terhadap budaya mereka.
Menurut Anthony Giddens, seorang sosiolog terkemuka, globalisasi dan modernisasi telah mengubah cara hidup masyarakat. Cara berpikir, cara berkomunikasi, cara berinteraksi, dan bahkan cara berpakaian telah berubah. Budaya lokal, termasuk budaya suku Banjar, mulai tergerus oleh budaya global. Hal ini terjadi karena generasi muda lebih mudah menerima dan mengadopsi budaya baru yang mereka anggap lebih modern dan up to date. Generasi Gen Z yang tumbuh dan berkembang di era digital ini lebih mudah terpapar oleh berbagai informasi dan budaya dari seluruh dunia. Media sosial, internet, dan berbagai teknologi digital lainnya memudahkan mereka untuk mengakses informasi dan budaya tersebut. Sebagai hasilnya, mereka mulai meninggalkan budaya lokal dan mengadopsi budaya global. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa lokal, lebih suka makanan barat daripada makanan lokal, dan lebih suka musik dan film barat daripada musik dan film lokal. Hal ini tentu saja mempengaruhi identitas budaya mereka.
Relevansi fenomena ini dalam kehidupan saat ini sangat tinggi. Budaya, termasuk budaya suku Banjar, adalah bagian penting dari identitas bangsa dan negara. Hilangnya identitas budaya suku Banjar berarti hilangnya sebagian dari identitas bangsa dan negara. Oleh karena itu, penting bagi kita semua, terutama generasi muda, untuk melestarikan budaya lokal. Kita harus lebih menghargai dan mengapresiasi budaya kita sendiri. Salah satu cara untuk melestarikan budaya lokal adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan budaya tersebut kepada generasi muda. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus berperan aktif dalam hal ini. Pendidikan budaya lokal harus ditanamkan sejak dini. Selain itu, teknologi digital dan media sosial juga dapat digunakan untuk mempromosikan dan melestarikan budaya lokal. Dengan begitu, generasi muda dapat lebih mengenal dan mencintai budaya mereka sendiri.
Untuk itu, marilah kita bersama-sama melestarikan budaya lokal, termasuk budaya suku Banjar. Jangan biarkan identitas budaya kita hilang ditelan oleh arus globalisasi dan modernisasi. Ingatlah, budaya adalah identitas kita. Budaya adalah warisan leluhur kita. Budaya adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Salah satu ahli filsafat yang relevan dengan opini tersebut adalah Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, dikenal dengan konsepnya tentang “habitus” dan “kapital kultural”. Menurut Bourdieu, habitus adalah struktur mental atau skema pikiran yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya seseorang. Sementara itu, kapital kultural merupakan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, dan jenis-jenis lain dari pengetahuan budaya yang menandakan status sosial seseorang.
Mengaitkan pemikiran Bourdieu dengan fenomena hilangnya identitas suku Banjar pada generasi Gen Z, kita bisa melihat bahwa habitus generasi tersebut telah dipengaruhi oleh budaya global yang mereka terima melalui media sosial dan internet. Hal ini membuat mereka memiliki kapital kultural yang berbeda dengan generasi sebelumnya, yang lebih terpapar dengan budaya lokal suku Banjar. Generasi Gen Z memiliki akses ke pengetahuan dan budaya global yang luas, dan hal ini menjadi kapital kultural mereka. Namun, tanpa penguatan dan pemahaman yang cukup tentang budaya lokal suku Banjar, mereka bisa kehilangan bagian penting dari identitas mereka. Dalam konteks ini, kapital kultural suku Banjar bisa tergerus oleh budaya global.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat kapital kultural lokal suku Banjar melalui pendidikan, keluarga, dan komunitas. Dengan begitu, habitus generasi Gen Z bisa dipengaruhi kembali oleh budaya lokal dan mereka bisa mempertahankan identitas budaya suku Banjar. Secara lebih luas, pemikiran Bourdieu mengingatkan kita bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sesuatu yang terus bergerak dan berubah seiring dengan perubahan sosial. Oleh karena itu, upaya pelestarian budaya harus dilakukan secara kontinu dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya generasi muda.
Pemikiran kritis dalam konteks fenomena hilangnya identitas suku Banjar pada generasi Gen Z mengharuskan kita untuk melihat lebih dalam pada akar masalahnya dan mencari solusi yang efektif. Kita tidak bisa hanya menyalahkan globalisasi dan modernisasi sebagai penyebab utama fenomena ini. Perlu ditekankan bahwa globalisasi dan modernisasi memiliki banyak aspek positif, seperti peningkatan akses terhadap pengetahuan dan teknologi. Namun, tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan keuntungan dari globalisasi dan modernisasi, sambil tetap mempertahankan dan melestarikan identitas budaya lokal.
Sebagai akademisi, kita memiliki peran penting dalam memahami dan mengatasi fenomena ini. Pertama, kita bisa melakukan penelitian untuk memahami lebih dalam tentang fenomena ini, seperti faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hilangnya identitas suku Banjar pada generasi Gen Z, bagaimana dampaknya bagi masyarakat suku Banjar dan masyarakat Indonesia secara umum, dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah atau memperlambat hilangnya identitas budaya ini. Kedua, sebagai pendidik, kita bisa membantu dalam pendidikan budaya lokal suku Banjar. Kita bisa melibatkan budaya suku Banjar dalam kurikulum pendidikan, mengajarkan kepada siswa tentang pentingnya melestarikan budaya lokal, dan memberikan mereka kesempatan untuk mempelajari dan mengalami budaya suku Banjar secara langsung. Ketiga, sebagai bagian dari komunitas akademik, kita bisa berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal untuk membuat dan menerapkan strategi yang efektif untuk melestarikan budaya suku Banjar. Kita bisa membantu dalam pembuatan kebijakan, program, dan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan budaya suku Banjar dan budaya lokal lainnya. Sebagai individu dan warga negara, kita bisa menjadi contoh dalam melestarikan budaya lokal. Kita bisa menghargai dan mempraktikkan budaya suku Banjar dalam kehidupan sehari-hari, dan mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak dan generasi muda.
Melalui upaya-upaya ini, kita bisa berkontribusi dalam pelestarian budaya suku Banjar dan budaya lokal lainnya. Sebagai akademisi, kita memiliki peran penting dalam memahami, mengatasi, dan mencegah hilangnya identitas budaya pada generasi muda. Generasi Z memiliki peran penting dalam fenomena ini. Sebagai generasi yang tumbuh dan berkembang di era digital, mereka adalah agen utama perubahan sosial. Mereka juga adalah penerus budaya dan warisan leluhur, termasuk budaya suku Banjar. Oleh karena itu, kontribusi mereka sangat penting untuk melestarikan identitas suku Banjar. Pertama, Generasi Z bisa memanfaatkan media sosial dan teknologi digital untuk mempromosikan dan melestarikan budaya suku Banjar. Mereka bisa membuat konten-konten yang berkaitan dengan budaya suku Banjar, seperti video, blog, podcast, dan lain-lain. Mereka juga bisa berpartisipasi dalam diskusi online tentang budaya suku Banjar dan budaya lokal lainnya. Kedua, Generasi Z bisa menjadi duta budaya suku Banjar. Mereka bisa mengenakan pakaian adat, berbicara dalam bahasa Banjar, dan mempraktikkan tradisi dan adat istiadat suku Banjar. Mereka juga bisa mengajarkan budaya suku Banjar kepada teman-teman dan rekan-rekan mereka yang bukan dari suku Banjar. Ketiga, Generasi Z bisa terlibat dalam organisasi dan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan budaya suku Banjar. Mereka bisa menjadi anggota organisasi budaya, menjadi relawan dalam acara-acara budaya, dan bahkan mendirikan organisasi atau inisiatif mereka sendiri.
Menurut David Weinberger, seorang penulis dan komentator teknologi, “Generasi muda, dengan kemampuan digital mereka, memiliki potensi besar untuk menjadi penjaga dan pelestari budaya.” Sementara itu, Howard Gardner, seorang psikolog dan peneliti pendidikan, menekankan bahwa “Pendidikan budaya adalah kunci untuk melestarikan identitas budaya. Generasi muda harus diajarkan untuk menghargai dan memahami budaya mereka sendiri.” Oleh karena itu, sangat penting bagi Generasi Z untuk mengambil peran aktif dalam pelestarian budaya suku Banjar. Dengan demikian, identitas suku Banjar bisa tetap terjaga meskipun di tengah arus perubahan sosial yang cepat. Dalam era globalisasi dan modernisasi ini, fenomena hilangnya identitas budaya suku Banjar pada generasi Gen Z menjadi perhatian yang serius. Perubahan sosial yang disebabkan oleh globalisasi dan modernisasi mempengaruhi cara hidup, berpikir, dan berperilaku generasi muda, termasuk dalam hal penghargaan dan pelestarian terhadap budaya lokal. Namun, bukan berarti kita harus menolak globalisasi dan modernisasi. Sebaliknya, tantangannya adalah bagaimana cara memanfaatkan globalisasi dan modernisasi untuk melestarikan identitas budaya suku Banjar. Melalui pendidikan, teknologi digital, dan partisipasi aktif generasi muda, kita bisa melestarikan identitas budaya suku Banjar.
Kita semua memiliki peran penting dalam memahami dan mengatasi fenomena ini. Kita bisa melakukan penelitian, mengenalkan budaya suku Banjar dalam pendidikan, dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk melestarikan budaya suku Banjar. Sementara itu, generasi Z juga memiliki peran penting sebagai agen perubahan dan penerus budaya. Mereka bisa memanfaatkan media sosial, menjadi duta budaya, dan terlibat dalam organisasi dan kegiatan budaya. Kesimpulannya, pelestarian identitas budaya suku Banjar adalah tanggung jawab kita semua. Meskipun kita hidup di era yang selalu berubah, kita harus berusaha untuk melestarikan identitas budaya kita. Karena tanpa identitas budaya, kita akan kehilangan sebagian dari identitas kita sebagai bangsa dan negara.
“Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, mari kita lestarikan identitas budaya suku Banjar sebagai warisan berharga leluhur, karena dalam budaya itulah akar identitas kita sebagai bangsa dan negara bersemayam.”