Oleh : ANDI NURDIN LAMUDIN
Dalam buku berjudul “Demokrasi Konstitusional” karya Adnan Buyung Nasution disebutkan, jika sepanjang Orde Baru membicarakan amandemen konstitusi adalah hal yang tabu. Kenapa Presiden Soeharto selalu alergi pada wacana perubahan konstitusi? Kemudian taktik dan strategi yang digunakan untuk mempertahankan UUD 1945, yang selalu dikatakan harus dijalankan secara murni dan konsekwen? Dimana Adnan Buyung berpendapat, jika amandemen atas UUD 1945 merupakan suatu ‘condition sine qua non’ atau keharusan mutlak untuk memperbaiki keadaan di bidang apa pun. Menurutnya, konstitusi RI itu merupakan sebuah konstruksi darurat yang kaku dan tertutup bagi kemungkinan terjadinya perubahan politik. Jika hal terburuk dari UUD 45 adalah jika konstitusi itu sangat dipengaruhi oleh cara berpikir integralistik Soepomo yang berbau totalitarianisme dan bersifat antikeberagaman.
Dalam kenyataannya, Adnan Buyung memilih bersikap moderat di tengah riuh rendah perdebatan soal amandemen konstitusi yang merebak di awal era reformasi. Disinilah nampaknya masalah apa saja yang menurut pakar hukum senior itu perlu segera ditangani untuk mewujudkan negara konstitusional Indonesia yang demokratis? Adnan Buyung bukan penulis yang produktif di media massa. Sejak 1991 hingga 2010, tercatat hanya 20 artikel yang pernah dimuat harian Kompas. Sebagian besar terkait dengan masalah demokrasi dan konstitusi, pelaksanaan konstitusi, dan cita-cita untuk mewujudkan negara konstitusinal Indonesia. Selain melengkapi pemikirannya dalam pidato pengukuhan sebagai profesor di Australia, artikel karya Adnan Buyung yang termuat itu juga menggambarkan konsistensinya untuk memperjuangkan demokrasi, HAM, serta negara Indonesia untuk lebih baik lagi.
Jika melihat sebuah ulasan yang “Demokrasi bukan hanya cara semata”, sebagai tanggapan ketua umum partai Golkar M Yusuf Kalla di dalam pidato politik pada penutupan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Jakarta pada 25 Nopember 2007. Dimana kesimpulan itu adalah bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, menurut Adnan Buyung, demokrasi bukan cara-cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara. Dimana demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan. Melainkan tujuan itu sendiripun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi, bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus dibangun terus menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.
Jika itu dipahami, demokrasi tidak pernah boleh dinomorduakan di bawah tujuan yang luhur sekalipun (peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat) sebab hal itu berarti tidak memahami makna demokrasi. Bahkan dapat menyesatkan dan membuka peluang bagi kembalinya cara-cara otoriter dan totaliter bahkan fasisme. Dari pengalaman empiris bangsa ini, untuk tidak lagi dininabobokan alias diperbodoh dengan alasan demi mencapai tujuan yang luhur, sebab ternyata tujuan yang luhur itulah yang dijadikan alasan pembenaran terhadap cara-cara otoriter dan represif yang digunakan pihak penguasa terhadap rakyatnya. Dimana ada tujuan menghalalkan segala cara (The end justifies the means). Itulah contoh nyata betapa salahnya pemikiran bahwa demokrasi hanyalah cara semata, di bawah tujuan utama, kesejahteraan rakyat.