Oleh : Zahida Ar-Rosyida
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Viral, sudah tembus lebih dari 5,5 juta penonton sekaligus mengundang pro dan kontra yang makin melebar, bahkan ada yang menyebut menimbulkan kegaduhan di masyarakat, sepertinya inilah diksi yang tepat untuk menggambarkan film “Vina, Sebelum 7 hari”. Film yang diangkat dari kisah nyata peristiwa tragedi pembunuhan dan perkosaan pada Vina Dewi Arsita dan Eky (Muhamad Rizky) yang terjadi pada 27 Agustus 2016 di Cirebon oleh para pemuda anggota geng motor Mooonraker.
Polisi memang sudah menangkap delapan dari sebelas pelaku dan sudah dihukum seumur hidup, kecuali satu pelaku yang saat itu masih di bawah umur dihukum delapan tahun penjara.
Namun tiga pelaku lain hingga kini masih buron. Salah satu pelaku yang masih berkeliaran bebas tersebut diduga merupakan otak kejahatan utama dan disinyalir merupakan pria yang suka kepada Vina, yaitu Egi.
Asumsi Liar Kasus Vina
Kasus pembunuhan Vina di Cirebon yang belum terungkap secara pasti selama 8 tahun dengan menyisakan tiga daftar pencarian orang (DPO) menimbulkan asumsi liar di publik.
Institusi kepolisian dan kehakiman seolah didiskreditkan oleh para pengacara pelaku terutama dengan adanya pengakuan salah satu pelaku Saka Tatal yang merasa dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
Dilansir dari serambinews.com, 26/05/20240, seseorang yang diduga sebagai Pegi Setiawan alias Perong, salah satu DPO berhasil ditangkap.
Namun, Pegi Setiawan alias Pegi alias Perong alias Robi Irawan, menyampaikan bantahannya ketika Polda Jabar menggelar konferensi pers terkait kasus pembunuhan Vina dan Eki Cirebon.
Pada saat konferensi pers, Pegi tampak beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan, setelah konferensi pers, Pegi sempat menyampaikan bantahannya di hadapan awak media. “Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu, itu fitnah,” katanya.
Netizen pun merespon, mereka merasa banyak ketidakmiripan antara foto DPO dengan sosok Pegi yang tertangkap. Hari berikutnya netizen menemukan sosok yang mirip dengan Pegi. Pria yang bernama Hegi Rian Prayoga ini, menurut netizen yang cirinya mirip dengan foto DPO, ilmu cocokologi netizen yang empati untuk mendapatkan keadilan dan titik terang pun terus bergulir liar.
Menjawab asumsi liar yang terus diembuskan pihak pengacara para terdakwa, Polda Jawa Barat hanya merespons secara normatif isu tersebut. Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Jules Abraham Abast mengatakan bahwa saat ini anggota kepolisian sedang bertugas menuntaskan kasus ini.
Mendudukan Persoalan
Belajar dari kasus Vina, tulisan ini hanya bermaksud untuk membuka cakrawala berpikir tentang penyebab maraknya kejahatan oleh geng motor. Kasus ini mengingatkan kita akan perlunya sistem hukum yang kuat dan efektif untuk melindungi warga dari kejahatan dan memastikan bahwa pelaku kejahatan diadili dengan setimpal. Keadilan harus ditegakkan untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi korban dan keluarga mereka. Tulisan ini juga ingin memberikan gambaran kesempurnaan hukum Islam, yang dengan sistem sistem sanksinya telah memberikan keadilan pada semua orang.
Hendaknya kita menjadikan kisah Vina bukan hanya sekedar sebuah narasi tragis, tetapi juga seruan untuk tindakan nyata dalam memerangi kekerasan dan kejahatan serta memperjuangkan keadilan dan perlindungan bagi semua individu di masyarakat.
Sistem Kehidupan Sekuler Liberal
Fenomena geng motor hadir di tengah corak kehidupan sekuler liberal. Sekularisme adalah paham yang menjauhkan agama dari kehidupan manusia. Walhasil, manusia bertingkah laku berdasarkan nafsunya semata.
Konsekuensi dari kehidupan sekuler adalah liberalisme, yaitu pemahaman yang membebaskan tingkah laku manusia. Manusia dianggap mampu menyelesaikan seluruh urusannya tanpa bantuan Sang Pencipta. Padahal, akal manusia lemah dan terbatas yang jika dibiarkan tanpa bimbingan wahyu akan mengantarkan pada kerusakan. Inilah pangkal malapetaka umat manusia saat ini.
Sistem ini pun tidak ada dengan sendirinya. Kepemimpinan peradaban Baratlah yang telah sengaja mengembuskannya negeri-negeri muslim agar umatnya meninggalkan agamanya. Tujuan mereka hanya satu, yaitu menguasai dunia.
Propaganda “kebebasan akan mendatangkan kebahagiaan” terus mereka dengungkan dan kini sukses menginjeksi pemikiran umat manusia, termasuk generasi muda untuk hidup semaunya dan tidak acuh pada agamanya.
Faktor Pemicu
Dari sistem kehidupan sekuler liberal, setidaknya lahir tiga faktor pemicu terjadinya fenomena geng motor.
Pertama, faktor keluarga yang absen dari pengasuhan. Akibat agama dijauhkan dari kehidupan, ayah dan Ibu membangun keluarga tidak berlandaskan iman dan takwa. Banyak dari ayah-ibu yang tidak memahami bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Mereka dengan mudahnya menyerahkan pengasuhan pada pihak lain dengan alasan sibuk bekerja.
Akhirnya, orang tua hanya mengandalkan sekolah dalam mendidik putra-putri mereka. Padahal, anak sangat membutuhkan kehadiran kedua orang tuanya sebagai sandaran dan teladan. Namun, alih-alih menjadi teladan, orang tua malah menjadi contoh buruk, bahkan menjelma menjadi predator bagi anak mereka.
Kedua, faktor sekolah dalam sistem pendidikan sekuler. Sekolah yang menjadi andalan utama para orang tua, nyatanya memiliki segudang persoalan yang lahir dari buruknya sistem pendidikan sekuler. Pendidikan hari ini jauh dari nilai-nilai agama. Jangankan akidah Islam, generasi terus dijejali dengan akidah liberal yang membebaskan perilaku manusia.
Mereka tidak bisa membedakan mana perilaku yang benar dan yang salah. ini karena gagasan liberal membebaskan mereka untuk berbuat sesuka mereka dan mengejar apa pun yang mereka mau. Ajaran “kebebasan yang bertanggung jawab” hanya menjadi slogan basi yang saling kontradiktif.
Sistem pendidikan sekuler yang mendewakan kebebasan ini makin menyingkirkan peran agama dalam kehidupan. Lihat saja, atas nama toleransi, seragam muslimah dipersoalkan, rohis dituduh sebagai tempat lahirnya bibit-bibit radikalis, bahkan buku ajar yang menerangkan wajibnya Khilafah malah diberangus.
Ketiga, faktor negara. Keberadaan geng motor bukan baru terjadi tahun ini. Hilangnya nyawa manusia akibat perilaku biadab geng motor ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lampau. Namun, kenapa keberadaan mereka masih ada dan kian meresahkan masyarakat?
Salah satunya adalah karena sanksi yang diberikan tidaklah menjerakan. Misalnya, seperti baru-baru ini, ada aksi ketua geng motor di Bandung yang menebas leher seorang remaja hingga tewas di tempat. Polisi menjerat pelaku dengan Pasal 338 KUHP dan Pasal 80 KUHP dengan ancaman hukuman berkisar hanya sekitar 10 tahun penjara. Padahal, pelaku sudah menghilangkan nyawa! Akan tetapi, atas nama HAM, kisas tidak bisa diberlakukan.
Tumpulnya Hukum
Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi, di mana konstitusi sendiri menjadi induk dari hukum.
Kenyataannya hukum di Indonesia diselenggarakan tanpa sukma yang melekat, tanpa keadilan. Banyak rakyat merasakan hukum Indonesia makin tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tumpul ke atas karena kita bisa menyaksikan bagaimana mereka yang di “atas” menikmati kenyamanan penegakan hukum bukan berdasarkan keadilan tapi berdasarkan kekuatan uang dan lobi yang mereka lakukan. Sedangkan hukuman bagi yang di “bawah” begitu tajam, tak ada ampun, langsung eksekusi. Parahnya, fenomena “tumbal hukum” pun menghiasi bingkai hukum di negeri ini, karena banyak terjadi orang-orang yang tidak bersalah justru terkena jerat hukum.
Tumpulnya hukum di Indonesia bisa terjadi karena beberapa faktor seperti kekuatan uang, derasnya lobi yang dilakukan mereka yang berperkara, ketidakadilan, ketimpangan dalam penegakan hukum dan adanya dinamika hukum yang timpang. Untuk mengatasi masalah ketumpulan hukum di Indonesia diperlukan adanya upaya untuk memperbaiki sistem hukum dan memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan merata bagi semua lapisan.
Pandangan Islam
Islam menjunjung tinggi keadilan hukum. Hukum Islam bersumber kepada wahyu bukan kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan pada masyarakat pun satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun, karena dalam Islam tidak mengenal peradilan banding, kasasi, PK dan sebagainya. Berbeda dengan Indonesia sebagai negara sekuler yang mengenal sistem peradilan, banding, kasasi, PK, dan yang lainnya.
Dalam hal pelaku zina ataupun pembunuhan, Islam memiliki konsep yang pasti dan jelas. Dalam hal pelaku zina atau pemerkosa, Islam mengenal dua hukum, yaitu : 1. Hukum hudud di mana ketetapan dan pembuktiannya sudah ditetapkan Allah SWT secara baku dan jenis serta bentuk hukumannya pun ditetapkan Allah SWT; 2. Hukum takzir. Ketetapan dan pembuktiannya secara umum dari Allah SWT, tetapi detail hukumannya diserahkan kepada hakim.
Jadi, bila terjadi kasus perkosaan bilamana si pelaku tidak bisa dihukum secara hudud masih bisa dikenakan dengan hukum takzir. Hakim punya hak untuk menuntut pelakunya dengan kesalahan pelecehan seksual atau perkosaan. Semua bentuk pembuktian pemerkosaan bisa digunakan sebagai dasar tuntutan dengan hukuman mati, karena melecehkan kehormatan wanita. Semua tergantung keputusan hakim.
Menguaknya kasus Vina Cirebon patut direfleksikan dalam konteks Islam. Akar dari kasus Vina Cirebon sudah menjelma sebagai parameter tentang nilai kehidupan yang seharusnya dipegah teguh dalam ajaran Islam karena kehidupan manusia dianggap sakral dalam Islam.
Sanksi
Islam sangat melindungi nyawa manusia. Tak seorang pun diperkenankan membunuh tanpa hak. Di hadapan Allah, membunuh nyawa seorang muslim lebih besar nilainya dari pada hilangnya dunia ini. Dari Imam Ar-Barra’ bin Azib ra bahwa Rasulullah SAW menuturkan, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim tanpa hak.” (HR. Timidzi dan Nasai).
Sangat jelas dalil tersebut bahwa Allah sangat menghargai nyawa manusia. Pelaku berdosa besar dan Allah murka kepadanya.