Ditulis Oleh:
Rico, S.Pd., M.I.Kom
Rizki Apriyanti, S.I.Kom., M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin
Perubahan cara konsumsi media dari cetak ke digital adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Dulu, kegiatan membaca koran sambil minum kopi adalah rutinitas yang umum. Sekarang, banyak orang lebih memilih menghabiskan waktu mereka dengan gadget dan media digital.
Hadirnya era digital membuat spekulasi bahwa media cetak akan ditinggalkan oleh konsumennya. Banyak orang pesimis dengan masa depan media cetak. Masyarakat seolah lebih tertarik dengan media sosial dibandingan media konvensional. Uniknya, meskipun kemunculan internet sudah berjalan cukup lama, ternyata tidak menghilangkan eksistensi media cetak sebagai media informasi dan hiburan. Meskipun penurunan permintaan koran meredupkan eksistensinya, akan tetapi media cetak tidak akan mati seperti apa yang diprediksi oleh akademisi atau para ahli sebelumnya.
Media cetak adalah salah satu dari pers. Pers adalah bagian keempat dari pilar demokrasi. Apabila pers mati maka demokrasi juga ikut mati. Karena pers, adalah kontrol sosial dan kritik terhadap pemerintah, informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat, serta jembatan informasi antara pemerintah dengan masyarakat, begitu pun sebaliknya. Sehingga, media konvensional, seperti media cetak tidak akan mati.
Media cetak yang berkembang di era sekarang ini tidak lagi sama dengan era lama yang hanya dapat dinikmati melalui versi cetaknya saja, melainkan dapat dinikmati melalui media online. Peralihan dari media cetak ke media online merupakan inovasi dan adaptasi untuk bertahan pada saat ini. Hal ini disebut juga sebagai konvergensi media.
Konvergensi media merupakan salah satu perkembangan media massa yang melibatkan banyak faktor teknologi didalamnya. Kehadiran internet dapat mendorong media massa menerapkan konsep konvergensi media seperti media online, e-paper, e-books, media sosial, radio streaming, hingga lainnya. Inovasi konvergensi media dibutuhkan oleh media agar mampu bersaing di era sekarang.
Konvergensi media yang terjadi juga didukung oleh berbagai hal seperti kekuatan ekonomi, politik, sosial hingga perannya dalam penciptaan teknologi baru seperti peran Aritifial Intelligence dalam jurnalis data atau algoritma yang sedang ramai diperbincangkan. Dalam perspektif ekonomi media, teknologi memiliki peranan penting dalam industri media. Media massa diyakini akan tetap hidup asal bisa menyesuaikan diri dengan melakukan multi-platform jurnalism seperti print, online, dan mobile.
Konsep “creative destruction” yang diperkenalkan oleh ekonom Joseph Schumpeter bisa menggambarkan fenomena ini. Menurut Schumpeter, dalam setiap perkembangan ekonomi selalu ada proses “pemusnahan kreatif” di mana inovasi baru menggantikan cara-cara lama. Meski terdengar destruktif, proses ini sebenarnya membuka peluang baru dan mendorong perkembangan lebih lanjut. Adopsi teknologi digital oleh perusahan media massa melahirkan konvergensi media yang didukung oleh faktor persaingan bisnis media massa. Dalam tahapan tersebut, diawali dengan tahapan difusi inovasi yang dikemukakan oleh Evertt Rogers. Inovasi adalah ide, praktek, atau proyek yang dianggap baru oleh individu. Perubahan dari media cetak ke media online merupakan inovasi media dalam mengikuti perkembangan digital pada saat ini. Sebuah inovasi bisa saja telah lama ditemukan, akan tetapi apabila terdapat individu atau organisasi perusahaan yang masih menganggap inovasi tersebut baru maka hal itu disebut sebagai inovasi baru
Roger menjelaskan bahwa pada tahap mengadopsi inovasi, media perlu melalui tahap difusi, yaitu suatu proses inovasi disampaikan dimana pesannya adalah ide baru. Lima tahap difusi, yaitu awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption. Awareness yaitu potensi media untuk untuk belajar tentang inovasi tersebut, seperti media cetak menuju media online. Persuasi, yaitu media harus diberikan dorongan untuk mengetahui manfaat dari peralihan media cetak menjadi online. Keputusan, mereka harus memutskan untuk mengadopsi media online tersebut. Implementasi, yaitu setelah mereka mengadopsi inovasi tersebut, mereka harus menerapkannya dengan membuat berita-berita ke media online. Konfirmasi, pada tahap ini mereka harus mengkonfirmasi bahwa keputusan mereka untuk mengadopsi itu adalah keputusan tepat, sehingga apabila tahap ini terpenuhi maka proses difusi telah berhasil.
Filsafat Friedrich Nietzsche tentang “amor fati” atau “cinta pada takdir” juga relevan di sini. Menurut Nietzsche, kita harus menerima dan mencintai realitas apa pun, termasuk perubahan dan kesulitan. Dalam menghadapi perubahan dari media cetak ke digital, kita harus menerima realitas ini dan mencari cara untuk beradaptasi dan berkembang.
Perkembangan ini dapat menjadi peluang bagi media konvensional, yaitu informasi dan berita akan cepat diterima oleh khalayak. Selain itu, keunggalan dari media online adalah dapat memperbaharui berita setiap waktu. Jurnalis juga dapat membuat berita dimana saja dan kapan saja sehingga berbagai informasi yang mereka dapatkan di lapangan dapat segera diproses untuk diolah menjadi berita.
Adaptasi dan perkembangan jangan sampai diremehkan, karena ketika perubahan tersebut tidak diterima, maka untuk mempertahankan yang lama akan menjadi sulit, karena apa yang diadopsi semua orang pada saat ini tidak relevan dengan apa yang dipertahankan oleh media cetak dahulu. Tantangan yang dihadapi oleh perusahaan media pada saat ini adalah citizen journalism atau jurnalis warga. Teknologi dan digital, dapat mendukung warga sebagai individu yang dapat menciptakan, mengolah, dan membuat informasi menjadi sebuah berita. Model-model informasi dan gaya menulis serta narasi informasi yang diproduk dapat mereka buat sesuai dengan tren perkembangan popularitas media sosial. Terlebih, media berita online pada saat ini mulai menyaksikan adopsi teknologi, dimana artificial intelligence berkolaborasi dalam bidang jurnalistik. Jurnal yang dipaparkan oleh Rizki Apriliyanti dan kawan-kawan dengan judul kajian literatur: adopsi Artificial Intelligence (AI) dalam bidang jurnalistik (2024) memaparkan bahwa jurnalis berbasis AI mulai bermuncul dalam beberapa tahun terakhir, dimana teknologi berbasis AI dapat membantu meningkatkan persaingan pasar, memperoleh keunggulan kompetiti, mendorongan persaingan bisnis, membantu pekerjaan jurnalis, hingga kualitas beritanya hampir setara dengan jurnalis profesional.
Beberapa media berita online bahkan sudah mengadopsi AI dalam pembuatannya, seperti Los Angles Time, WNCY, NPR, The Guardian, Chicago Tribune. Di Indonesia sendiri, media berita yang sudah mengadopsi AI dalam berita seperti TV One dengan jurnalis AI mereka. Tidak menutup kemungkinan, media berita online Indonesia juga akan menyusul untuk mengadopsi AI dalam pembuatan beritanya yang biasa disebut sebagai jurnalis data, jurnalis algoritma, atau jurnalis otomatis.
Meskipun demikian, keunggalan media cetak yang tidak dimiliki oleh media online bahkan yang mengadopsi AI adalah kompetensi profesional dari pewartanya. Prinsip-prinsip jurnalistik tentu saja menjadi keunggalan yang diperlu pada saat ini, mengingat banyaknya informasi yang tersebar di internet. Informasi yang diperlukan oleh masyarakat tentu saja informasi yang akurat, tepat, dan kredibel. Jangan sampai, informasi yang dapat disebarkan kepada khalayak, tidak di cross check terlebih dahulu kebenaran dan keakuratannya. Karena informasi yang akurat adalah informasi yang disaring terlebih dahulu. Akan tetapi perubahan era, dimana teknologi, internet, dan AI perlu mengkolaborasi semuanya agar berita yang disampaikan kepada khalayak tepat sasaran, berimbang, akurat, dan terpercaya.
Sebagai akademisi, kita memiliki beberapa tugas penting dalam menghadapi fenomena ini.
Pertama, Penelitian: Akademisi memainkan peran penting dalam melakukan penelitian untuk memahami dampak dan implikasi dari transisi ini dari media cetak ke digital. Penelitian ini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari dampak ekonomi dan sosial, hingga bagaimana proses adaptasi terjadi dalam industri dan apa saja tantangannya.
Kedua, Edukasi: Akademisi juga memiliki peran dalam pendidikan dan pelatihan. Ini bisa berarti membantu para profesional media cetak untuk memperoleh keterampilan baru yang diperlukan di era digital, atau menjalankan program pendidikan untuk masyarakat luas tentang literasi digital dan bagaimana menggunakan media digital secara efektif dan aman.
Ketiga, Konsultasi dan Kebijakan: Banyak akademisi juga berperan sebagai konsultan atau penasihat bagi perusahaan atau pemerintah. Dalam kapasitas ini, mereka dapat membantu merumuskan strategi dan kebijakan yang akan membantu industri media cetak beradaptasi dan bertahan di era digital.
Keempat, Advokasi: Akademisi juga dapat menggunakan platform mereka untuk mendorong perubahan dan mempengaruhi kebijakan. Misalnya, mereka bisa menyerukan perlunya dukungan lebih besar untuk pekerjaan yang terkena dampak perubahan ini, atau menekankan pentingnya investasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja untuk pekerjaan di era digital.
Dengan melibatkan diri dalam berbagai cara ini, akademisi dapat berkontribusi signifikan dalam membantu masyarakat, industri, dan individu menghadapi tantangan perubahan dari media cetak ke digital.
“Perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan perkembangan teknologi; yang terpenting bukanlah perubahan itu sendiri, namun bagaimana kita merespons, beradaptasi, dan berinovasi dalam menghadapi perubahan tersebut untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.“