Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
Opini

SEJARAH SHALAT DI LAPANGAN

×

SEJARAH SHALAT DI LAPANGAN

Sebarkan artikel ini
Iklan

Oleh : AHMAD BARJIE B

Ada beberapa shalat yang sering dikerjakan umat Islam di lapangan. Pertama, shalat Istisqa (minta hujan), sangat dianjurkan di lapangan, bukan di masjid, kalau perlu dicari hamparan sawah yang tanahnya retak-retak dan kering kerontang didera kemarau. Jemaah shalat sebaiknya berpuasa sunat lebih dahulu, memakai pakaian sederhana, tidak usah pakai tikar sajadah, dan tidak dalam suasana gembira, sebagai cerminan keprihatinan dan harap-harap cemas agar Allah swt segera menurunkan hujan. Kalau perlu menyertakan ternak-ternak seperti kambing dan sapi yang juga tampak kurus karena kekurangan rumput segar. Sayang dalam pelaksanaan shalat Istisqa selama ini, belum tampak nuansa sedih. Jemaah tetap gembira, bahkan kaum ibu banyak memakai baju indah dan mahal serta perhiasan.

Iklan

Kedua, shalat jenazah korban pandemi Covid-19 yang baru lalu, juga banyak dilaksanakan di lapangan/halaman masjid, kantor, rumah sakit, lapangan pekuburan dan ruang terbuka lainnya. Mengingat suasana darurat, tidak sedikit jenazah tidak dikeluarkan dari mobil ambulance.

Ketiga, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, selama ini ada di masjid, mushalla, kantor, dan banyak juga di lapangan. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Shalat di masjid lebih lengkap sarananya, shaf, pengeras suara, mimbar, terhindar dari kehujanan atau kepanasan, tetapi ada kemungkinan jemaah meluber karena masjid penuh. Shalat di lapangan terbuka lebih leluasa karena luas, tetapi sarananya terbatas, mimbar sering serba darurat, sajadah dilapisi koran, dan tidak siap kalau terjadi hujan.

Sekarang kita bebas shalat Ied di mana saja, di lapangan atau masjid, tidak ada yang heran atau melarang. Kita gembira saja menjalaninya. Kita tidak tahu betapa dulu, tidak mudah dan terasa asing jika orang shalat di lapangan.

Baca Juga :  Menteri yang Profesional

Pakar sejarah alm Ridwan Saidi (Babe) dalam Panji Masyarakat No. 610, 10 Mei 1989 mengisahkan, di zaman penjajahan Belanda, semua shalat fardlu dan sunat harus dilaksanakan di masjid. Tidak boleh di lapangan, sebab akan terkena delik een openbaare vergadering, suatu rapat terbuka, yang memang dilarang. Shalat di lapangan, baru dipelopori oleh organisasi Persatuan Islam (Persis) pimpinan Ahmad Hassan Bandung tahun 1924, dilaksanakan di halaman Madrasah Persis dan hanya dihadiri 50 jamaah. Meskipun shalat lapangan pertama ini diberitakan majalah “Pembela Islam”, namun tidak menimbulkan heboh, sebab jemaahnya sedikit.

Ketika shalat ied di lapangan melibatkan jemaah besar tahun 1929, terjadi kehebohan luar biasa. Menurut Prawoto Mangkusasmito yang belakangan menjadi Ketua Masyumi, saat itu dilaksanakan shalat Ied di lapangan Gambir (dekat Monas sekarang). Guna mengumpul jemaah, dikerahkan petugas ke berbagai pelosok kota Batavia (Jakarta). Akhirnya jemaah pun tumpah ruah di lapangan Gambir. Belanda tidak melarang, namun merasa aneh, sehingga mereka mengirim wartawannya untuk meliput, dan muncullah berita besar di Harian Java Bode.

Tidak semua orang yang datang ke Gambir untuk shalat, selebihnya hanya menonton ibadah yang bagi mereka terasa asing. Masuk rakaat kedua terjadilah hujan lebat, mereka yang menonton pun bersorak-sorai, sementara jemaahnya tetap khusyu shalat berbasah-basah, hingga shalat dan khutbah selesai.

Sejak saat itu mulailah daerah-daerah lain mengikuti. Bangkinang-Riau tercatat sebagai daerah pertama yang ingin menuruti Jakarta. Tetapi mereka melakukan antisipasi. Pertama, panitia memasang tenda agar jemaah tidak kehujanan atau kepanasan. Kedua, di sekeliling lapangan dipasang layar lebar dari kain untuk mendindingi agar kegiatan ibadah itu tidak jadi bahan tontonan seperti di Jakarta. Aktivitas ini pun sangat menarik bagi Belanda, sehingga dimuat ceritanya dalam Encylopaedie van Nederlandsch Indie, terbitan 1934.

Baca Juga :  Tangan Terbuka Parlemen bagi Pemerintah Mewujudkan Indonesia Maju

Shalat di lapangan juga tidak terlepas dari tragedi berdarah yang mengancam nyawa. Dalam Biografi DR KH Idham Chalid diinformasikan, shalat Idul Adha 14 Mei 1962 dilaksanakan di halaman istana. Idham Chalid dalam posisi sebagai Wakil Perdana Menteri II menjadi imam dan khatib, sedangkan Bung Karno bersama jajaran pemerintah dan masyarakat sebagai makmum. Saat itulah ada oknum tentara pemberontak menyusup dan memuntahkan tembakan, dengan sasaran utama Presiden, Ketua DPR Zainul Arifin dan sejumlah menteri. Peluru sempat melintas dekat kepala Idham sehingga terasa panas. Sejumlah tentara pengawal presiden langsung menubrukkan badan mereka, sehingga Presiden Soekarno terjatuh dan selamat dari terjangan peluru.

Jadi, dalam kondisi negara kurang stabil, shalat di lapangan juga berbahaya, sebab rentan dimasuki penyusup. Sekarang kita bebas dan aman shalat Ied di lapangan dan di mana saja. Masalahnya, jemaah sering berisik dan sampah berhamburan. Wallahu A’lam.

Iklan
Space Iklan
Iklan
Iklan
Ucapan