BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Diabetes melitus (DM) adalah salah satu penyakit serius, bahkan perkembangannya secara global sangat cepat tak terkecuali di Indonesia. Catatan IDF di Indonesia saja DM sudah sebanyak 19,5 juta pasien tahun 2021 bahkan Indonesia mendapat dan merupakan negara kelima dengan kasus DM tertinggi di dunia.
Kemungkinan prediksi tahun 2045 angka tersebut akan naik menjadikan 28,6 juta orang Indonesia yang mengidap penyakit DM. Terdapat 20% orang yang menderita diabetes mengalami kesulitan dalam penyembuhan luka.
Kolagen merupakan salah satu protein yang dapat membantu dalam proses penyembuhan luka. Kolagen yang terdapat pada obat-obatan umumnya berasal dari daging sapi atau daging babi. Hal ini menyebabkan berbagai kendala mulai dari masalah biaya hingga masalah sosial.
Berangkat dari permasalahan ini, empat mahasiswa Farmasi UNISKA angkatan 2021 yang diketuai oleh Nafisah Sofia Apriliyana bersama 3 rekan timnya Ainur Ridha, Luthfiah, dan Rajmi Septia dengan dosen pendamping apt. Nily Su’aida, M. Farm. memiliki pemikiran untuk menggunakan sumber kolagen dari hewan lain yang lebih murah dan dapat diterima oleh masyarakat.
Salah satu hewan yang dapat digunakan untuk sumber kolagen ini adalah ikan gabus. Ikan gabus termasuk ikan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat di Kalimantan Selatan yang mengandung kolagen tipe I dan III yang tinggi terbukti efektif dalam penyembuhan luka.
Penelitian yang dilakukan oleh tim gabus.wouling yang didanai oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KEMENDIKBUD RISTEK) dan merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta (PKM-RE).
Dengan judul “Studi In vivo Potensi Diabetic Wound Healing pada Aplikasi Mikroemulgel Ekstrak Kolagen Ikan Gabus (Channa Striata) dari Sungai Kalimantan Selatan”
Menariknya, mahasiswa dari Farmasi UNISKA ini menggunakan ikan gabus bagian sisiknya untuk dijadikan ekstrak kolagen yang diformulasikan dalam sediaan nanoemulgel.
“Alasan kami memilih sisik ikan gabus karena sisik ikan ini biasanya limbah yang belum dimanfaatkan dengan optimal. Oleh karena itu, kami memformulasikan sediaan nanoemulgel dalam penelitian ini karena ukuran partikel nano memungkinkan penyerapan bahan aktif yang lebih cepat dan menembus barrier stratum korneum kulit dengan lebih efisien”, tutur Nafisah selaku ketua tim.
Bahan baku sisik ikan gabus didapatkan dari limbah pasar ikan Banjarbaru.
“Kami mengambil limbah sisik ikan gabus, lalu kami potong menggunakan grinder sampai menjadi serbuk. Setelah itu, sisik ikan dihidrolisis dengan NaOH selama 48 jam dan diekstraksi dengan asam asetat selama 48 jam pada suhu 4°C. Larutan mengandung kolagen difiltrasi dan kami lakukan analisis ekstrak kolagen ikan gabusnya menggunakan FTIR”, jelas Ridha.
Ekstrak kolagen ikan gabus yang dihasilkan selanjutnya dibuat 3 jenis formulasi dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu Formula 1 = 25% ; Formula 2 = 50%; dan Formula 3 = 75%. “Kami membuat nanoemulgel dengan 3 formulasi yang berbeda, kemudian diukur partikelnya menggunakan Particle Size Analyzer. Selanjutnya, dari nanoemulsi ditambahkan basis gel membentuk nanoemulgel”, jelas Luthfiah.
Tak hanya sampai disitu, nanoemulgel yang dihasilkan diujikan pada tikus model diabetes.
“Tikus model diabetes dilukai dan diberi perlakuan yang berbeda-beda, termasuk diberikan ketiga formulasi nanoemulgel. Proses pengamatan diameter lukanya dilakukan dari hari ke-0 hingga ke-14”, jelas Rajmi.
Data pengamatan diameter luka dianalisis dan diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan perlakuan pemberian nanoemulgel terhadap proses penyembuhan luka diabetik.
Berangkat dari kesimpulan tersebut, didapatkan dari hasil histopatologi dan persentase penyembuhan luka bahwa pemberian ekstrak 25% (Formulasi 1) mempunyai kemampuan yang paling optimal untuk mempercepat fase inflamasidengan memicu makrofag untuk memfagosit bakteri di sekitar luka.
Hasil uji histopatologi ini diperkuat dari diagnosa oleh drh. Mus Hilda yang menyatakan bahwa ekstrak 25% dalam batas normal, dimana jumlah makrofag yang terbentuk lebih sedikit menunjukkan bahwa penyembuhan lukatelah memasuki fase maturasi.
Pada ekstrak 25% memiliki ukuran partikel yang paling kecil dibandingkan Formula 2 dan 3 dimana semakin kecil luas permukaan partikel, semakin mudah sediaan tersebut menembus barrier. Hal inilah yang menjadikan ekstrak kolagen ikan gabus 25% mempunyai kemampuan yang optimal dalam penyembuhan luka diabetes.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan teori dalam pengembangan terapi komprehensif untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka diabetik. Dengan kemajuan ini, kami berharap dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup para penderita diabetes dan membantu mencapai kesehatan serta kehidupan yang lebih Sejahtera.(x)