Oleh: Ahmad Barjie B
Penulis buku “Sultan Suriansyah Pioner Dakwah dan Pendiri Kota Banjarmasin”
Banjarmasin selalu berulang tahun setiap tahun, sejak kelahirannya 24 September 1526 silam. September 2024 mendatang sudah yang ke-498, hampir lima abad. Kota ini semakin penting setelah menjadi pusat Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) sebagai Raja Banjar pertama yang beragama Islam. Sultan ini berkuasa setelah berhasil mengalahkan Pamannya Pangeran Tumenggung yang memerintah Kerajaan Banjar Hindu dengan pusatnya di Negara Daha.
Opini umum selama ini, berkuasanya Sultan Suriansyah di Banjarmasin menjadi momentum awal masuk dan berkembangnya Islam di Kalimantan. Tentara Demak era Sultan Trenggana yang membantu Pangeran Samudra disertai ulama Khatib Dayyan usai perang proaktif menyebarkan Islam bersama beberapa sukarelawan perang yang enggan pulang ke Jawa. Makam Khatib Dayyan ada bersama makam Sultan Suriansyah dan keluarganya di Kuin Banjarmasin.
Versi begini juga disampaikan Amidhan, Ketua MUI asal Kalsel dalam acara Khazanah Islam Nusantara sebuah tv swasta nasional bersama Rektor UI Prof Dr Komaruddin Hidayat dan dipandu Ratih Sanggarwati. Pak Amidhan menyatakan, Demak berkenan membantu Pangeran Samudra karena ingin menghabisi kekuasaan dan kepercayaan Hindu yang masih bercokol kuat di kalangan elit kerajaan dan masyarakat Banjar Kalimantan saat itu. Istilah “menghabisi” diulang beberapa kali oleh Pak Amidhan sehingga mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung yang hadir sempat mengkritisi dan mengambil kesan Islam masuk ke Banjarmasin dan Kalimantan melalui jalan kekerasan.
Sejarah biasanya ditulis puluhan bahkan ratusan tahun sesudah peristiwa sejarah itu terjadi. Dan penulisan sejarah sangat tergantung pada subjektivitas penulis serta pemahamannya terhadap objek dan materi kesejarahan. Kontrak sosial Pangeran Samudra dengan tentara Demak, jika ia dibantu dan berhasil memenangkan perang bersedia masuk Islam bersama seluruh keluarga besar Kerajaan Banjar, ditulis sejarawan Belanda JJ Ras, de Clereq dan Hageman akhir abad ke-19 dan sesudahnya. Jadi penulisannya baru dilakukan hampir 300 tahun kemudian. Dalam waktu demikian lama, bisa saja fakta bercampur opini dan oral story. Tetap perlu dikritisi agar kebenaran semakin tampak.
Sekadar Percepatan
Sifat Islam mengajak orang ke jalan kebenaran tanpa paksaan. Mengedepankan pendekatan hikmah, keteladanan dan bertukar pikiran secara sejajar dan rasional. Orang masuk agama ini karena daya tarik ajaran dan kehendaknya sendiri, bukan tekanan, paksaan atau ikut-ikutan. Pendekatan inilah yang dilakukan pedagang Arab, Persia, Gujarat dll yang berdagang sambil berdakwah ke pelosok Nusantara. Riset INIS Newsletter (1993: 10) menyimpulkan: The muslems traders who come with two intentions in mind: to became a successful trader and a successful preaher. They were not interested in political power and they were unarmed. (Pedagang muslim datang dengan dua tujuan: menjadi pedagang yang sukses dan dai yang sukses pula. Mereka tidak tertarik dengan kekuatan politik dan tidak pula menggunakan senjata).
Model pengislaman ala tentara Demak nyaris tidak terjadi di belahan Nusantara bahkan di dunia Islam lain. Kalau pun benar, masuk Islamnya Suriansyah lebih sebagai ungkapan terima kasih karena telah dibantu, apalagi bantuan bukan cuma tentara juga pangan (logistik) sebab Banjar saat itu sedang paceklik. Dipastikan Islamnya Kalimantan tidak berbeda dengan daerah-daerah lainnya: jalan damai. Disiarkan pedagang dan ada juga oleh ulama dan murid-muridnya. Tidak kurang peran para sufi menanamkan kelemah-lembutan, kesederhanaan, lewat pengajian dan tarekat untuk kesucian hati. Jalan damai terlihat dari masih hidupnya unsur kepercayaan dan budaya lokal hingga kini.
Karena itu jauh sebelum prosesi Islamnya Sultan Surianyah di Banjarmasin oleh tentara Demak, Islam sudah tersebar di tengah masyarakat Banjar pesisir pantai dan pedalaman sepanjang aliran sungai dapat dilalui pedagang. Hanya kemungkinan Islam berkembang perlahan, lambat, karena penyiarnya berdakwah sambil berdagang, bukan dai professional. Pemeluk Islam kebanyakan rakyat jelata, sebab di mana-mana Islam biasanya lebih dahulu menyentuh rakyat awam, baru kemudian merasuk ke kalangan elit. Berislamnya Sultan Suriansyah menjadi momentum percepatan Islamisasi. Etnis Banjar dan Kalimantan yang paternalistik dan feodalistik tentu tidak ragu lagi bahkan bangga untuk seagama dengan rajanya. Menurut Ibnu Khaldun, atau ungkapan serupa, din ul- ra’iyah ‘ala dini mulukihim, agama rakyat tergantung agama rajanya.
Lembut dan Terbuka
Kesan Islam disebarkan secara damai juga diyakini Komaruddin Hidayat. Dari beberapa kunjungannya ke Kalimantan, khususnya Banjarmasin ia melihat masyarakatnya ramah tamah, lemah lembut, toleran dan penuh keterbukaan. Menurutnya, masyarakat Banjarmasin walau mayoritas muslim sangat kosmopolitan, dalam arti semua suku bangsa ada dan diterima dengan baik. Selain etnis Banjar ada Dayak, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Menado, Arab, Tionghoa, bule, dll. Sikap demikian sangat luhur dan kondusif membangun kerukunan dan kemajuan masa depan, sebab interaksi yang tinggi dengan orang luar kata kunci menuju transformasi dan pencerahan agama, budaya dan iptek, kesejahteraan dan kemajuan.
Sikap luhur demikian, menurut Amidhan selain dipengaruhi agama, disebabkan mata pencaharian masyarakat berdagang, bergerak di sektor jasa dan pertanian. Mereka ingin bergaul dengan banyak orang, namun di saat sama juga mendambakan kedamaian. Di masa lalu, jika ada anak nakal biasanya disekolahkan ke pesantren, dan kalau remaja sulit diurus orangtua segera mengawinkannya.
Dengan sikap dan sifat ini Banjarmasin dalam usia tuanya yang sudah hampir lima abad, tidak pernah mencatat kerusuhan etnis dan agama. Kecuali tragedi Jumat Kelabu 23 Mei 1997, tetapi itu lebih dipicu provokator luar, bukan sifat asli warga Banjarmasin. Hakikatnya, semua etnis dan agama diterima dengan senang hati asalkan saling menghargai dan kehadirannya untuk mengabdi. Di kota ini ada 24 etnis dan beberapa pemeluk agama yang bisa hidup damai, ujar Ibnu Sina yang dalam memimpin Banjarmasin beroleh penghargaan sebagai “Kota Toleran”.
Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kalau urang Banjar lagi senang, urang luar pun dijadikan sahabat akrab melebihi keluarga dan saudara sendiri. Ketika urang Banjar hidup aman, nyaman, adil, tidak sesak bernafas, mudah berusaha dan terpenuhi kebutuhannya, tentu mereka tetap dengan sifat luhur warisan nenek moyangnya.