Oleh : AHMAD BARJIE B
Ulama sekaligus dai yang cukup populer, Ustadz Abdul Shamad asal Riau, dalam banyak ceramahnya meminta agar para pihak tidak perlu meragukan kesetiaan ulama, termasuk dirinya, terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sewaktu dikuliahkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama ke Timur Tengah, ratusan mahasiswa asal Indonesia sudah diminta bersumpah setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika.
Hal yang sama kembali dilakukan ketika sudah pulang ke Tanah Air dan kemudian menjadi pegawai negeri sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau. Ustadz Abdul Somad meminta agar masyarakat yang ingin berkomentar, mengikuti isi ceramahnya secara utuh, sehingga tidak menimbulkan salah paham dan salah tafsir.
Apa yang ditekankan Ustadz Abdul Shamad penting digarisbawahi. Kesetiaan ulama kepada bangsa dan negara, sepanjang sejarahnya, sebelum maupun sesudah merdeka, tidak perlu diragukan. Sejarah membuktikan betapa besar peran ulama dalam dinamika bangsa. Paman Birin dalam sambutannya pada acara pembukaan dan penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tingkat nasional di Pesanren Al-Falah Banjarbaru (7-9 Mei 2018) juga mengakui besarnya kontribusi ulama. Sejak era Kesultanan Banjar ulama disekolahkan ke Haramain, dan sepulangnya ke tanah air mereka berkiprah untuk mendakwahkan Islam dan mendidik masyarakat sehingga terbentuk masyarakat yang religius.
Apabila melihat daftar pahlawan nasional yang hingga 2024 berjumlah hampir 200 orang, banyak sekali diantaranya ulama, belum lagi yang tidak masuk nominee pahlawan nasional. Mengapa banyak ulama menjadi pahlawan, tentu karena mereka telah berjuang untuk bangsanya. Dari tujuh kriteria pahlawan nasional yang digariskan Dewan Gelar Kementerian Sosial RI, banyak yang melekat pada ulama, diantaranya komitmen perjuangan sepanjang hidup, ketinggian akhlak dan moral, dan perjuangannya berhubungan langsung untuk kepentingan nasional, bukan karena motif individu, kesukuan dan kedaerahan.
Banyaknya ulama masa lalu yang berjuang dan akhirnya menjadi pahlawan tidak terlepas dari kebijakan yang ditempuh penjajah, yang disarankan orientalis sekaligus penasihat Pemerintah Belanda dalam urusan keislaman dan pribumi, Snouck Hurgronje. Snouck menyarankan dua opsi. Pertama, jika ulama dan bangsawan mau bekerjasama dengan pemerintah penjajah, mereka harus diakomodasi dalam kekuasaan dan jabatan. Kedua, ulama dan bangsawan yang gigih berjuang tanpa kompromi harus diperangi secara besar-besaran, sampai dapat ditangkap, dibuang dan dikalahkan. Ternyata ulama masa kolonial dulu lebih memilih risiko kedua. Mereka berjuang sampai tetes darah penghabisan, sebagaimana semboyan perjuangan Perang Banjar, “haram manyarah lawan Walanda, waja sampai ka puting”.
Ulama yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa tak hanya di dalam negeri. Ulama yang saat itu tinggal di Arab Saudi juga gigih memompa semangat ulama muda dan rakyat Indonesia di Tanah Air. Melalui jemaah haji, yang karena saat itu perjalanannya sangat lama, ulama memberikan ilmu agama dan ruh perjuangan, sehingga ketika kembali ke Tanah Air mereka menjadi pejuang yang gigih, baik secara langsung melalui peperangan maupun secara tidak langsung melalui gerakan-gerakan tarekat, organisasi-organisasi pendidikan dan sebagainya.
Tarekat Sammaniyah misalnya, yang banyak berkembang di Sulawesi Selatan, Banten dan Kalimantan Selatan, memberi andil besar dalam memompa jiwa patriotik ulama dan pejuang menentang penjajah. Ulama dan pejuang saat itu tidak takut pada penjajah, mereka hanya takut kepada Allah. Merdeka atau mati, hidup mulia atau mati syahid, menjadi prinsip hidup.
Syekh Muhammad Chatib al-Minangkabaui, guru besar di Masjid al-Haram dan orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi Imam di sana, memiliki banyak murid yang kelak menjadi ulama besar. Di antara mereka KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, KH Djamil Djambek cs pendiri perguruan Sumatra Thawalib dan sebagainya. Mereka berperan besar mengembangkan dan memperbarui pendidikan di Indonesia, dari mana kelak bermunculan para pelajar dan tokoh bangsa.
Tersebut pula sebuah madrasah terkenal bernama Shaulatiyah Makkah, didirikan 1874, sumbangan seorang wanita dermawan asal India bernama Shaulatun-Nisa, sehingga namanya dihubungkan dengan pendirinya. Madrasah ini dipimpin ulama militan asal India, Syekh Rahmatullah bin Khalil al-Utsmani. Banyak ulama Indonesia, termasuk dari Banjar (khususnya Martapura) pernah belajar di sini.
Menurut hasil kajian antropolog Belanda Martin van Bruinessen, suatu ketika di awal abad XX, jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928, sejumlah ulama yang belajar di Madrasah Shaulatiyah asyik membaca koran berbahasa Indonesia (Melayu). Seorang guru yang berkebangsaan Arab lantas merobek koran tersebut, karena ingin mahasiswa fokus berbicara dan belajar kitab-kitab berbahasa Arab saja.
Menyikapi hal yang menyinggung harga diri bangsa tersebut, para mahasiswa asal Indonesia protes. Diprakarsai Syekh Yassin al-Fadani (ulama berdarah Padang Sumbar) mereka meninggalkan Madrasah Shaulatiyah dan kemudian mendirikan Madrasah Darul Ulum Makkah, di mana mereka bebas berbicara dan/atau membaca buku/koran berbahasa Indonesia. Semua guru dan murid di madrasah tersebut belakangan menjadi ulama besar.
Kecintaan kepada bahasa Indonesia (Melayu) juga dituturkan DR KH Idham Chalid dari pengalamannya menjadi Amirul Haji era 1950-an. Kepala para syekh penyelenggara ibadah haji saat itu adalah Syekh Sadagih Abdul Mannan al-Quddusi, asal Kudus Jawa Tengah. Ia juga sangat cinta pada bahasa Jawa dan Melayu, padahal nyaris seumur hidupnya tinggal di Saudi. Bersama Idham Chalid dan ulama lainnya al-Quddusi berhasil melobi pendiri Arab Saudi Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Saud, sehingga Saudi banyak sekali membantu Indonesia, baik dalam perjuangan maupun kemudahan penyelenggaraan ibadah haji.
Jadi, meskipun ulama Indonesia lama tinggal dan belajar di Tanah Arab, tetapi kecintaan mereka terhadap Tanah Airnya tidak pernah berkurang. Mereka tidak kehilangan sifat keindonesiaannya meskipun tinggal dan belajar di Arab, dan tidak kehilangan rasa cintanya pada Islam dan Arab, meski berasal dari Indonesia.
Ulama dari masa ke masa hakikatnya sama, mereka adalah pewaris para Nabi. Karena itu kita perlu yakin, ulama zaman Now pun memiliki kecintaan yang tinggi terhadap negara dan bangsanya. Beragam cara mereka berdakwah sesuai pembawaannya. Ada kalanya dakwah mereka disertai sikap lembut, namun kali lain bersuara keras dan tegas. Semua itu tidak lain bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar, karena ingin melihat kehidupan bangsanya lebih baik, adil makmur dan sejahtera di bawah ridha dan ampunan Allah SWT, baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Wallahu A’lam.