Oleh : Mahrita Nazaria, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah. Hal itu diungkap merespons dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI menggaet BUMN terkait upaya pemberian bantuan dana biaya kuliah untuk membantu mahasiswa meringankan pembayaran. (cnnindonesia.com)
Dilain kesempatan, Muhadjir Effendy menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik adalah bentuk inovasi teknologi. (tirto.id)
Pun beberapa waktu lalu ada pejabat mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, lalu saat ini ada pejabat juga mengatakan bahwa pembayaran kuliah dengan pinjol bentuk inovasi teknologi.
Miris, mengetahui tanggapan pejabat-pejabat dinegeri ini tentang kondisi pembiayaan pendidikan di negeri ini. Realitas ini menegaskan polemik UKT belum usai. Berbagai kasus mahasiswa gagal bayar UKT di berbagai kampus negeri, nyatanya tidak lantas membuat pemerintah terketuk hatinya sehingga membatalkan kenaikan UKT untuk seterusnya, bahkan jika perlu menggratiskannya. Pembatalan kenaikan UKT 2024 ini hanyalah sementara, sembari menunggu tahun depan.
Namun, menjadikan pinjol sebagai solusi pembayaran UKT jelas memosisikan pemerintah sebagai raja tega. Hal itu makin menyakiti rakyat. Pemerintah bukannya berusaha empati karena rakyat sudah terlilit banyak masalah ekonomi, tetapi malah menambah beban masa depan dengan menyarankan pembayaran UKT melalui pinjol. Rasanya, semua orang juga mengetahui bahwa pinjol adalah pintu gerbang jerat ribawi. Pinjol pun tidak lebih baik daripada judol.
Sebagai informasi, berdasarkan laporan OJK, nilai penyaluran pinjol di Indonesia mencapai Rp22,76 triliun per Maret 2024. Nominal tersebut tumbuh 8,89% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mom) yang besarnya Rp20,90 triliun. Angka kucuran Maret 2024 itu juga meroket sekitar 15,35% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang besarnya Rp19,73 triliun per Maret 2023.
Penyaluran pinjol pada Maret 2024 masuk ke-9,78 juta akun penerima pinjaman. Jumlah peminjam tersebut naik 6,36% secara bulanan (mom). Sebanyak 7,3 juta akun peminjam berasal dari Pulau Jawa atau setara 75% dari total peminjam nasional. Dari total pinjaman Maret 2024, sebanyak Rp7,65 triliun di antaranya atau 33,61% masuk ke sektor produktif.
Melihat data ini, termasuk polemik UKT yang sudah terjadi sebelumnya dan belum ada solusi tuntasnya, maka pelajaran apa yang bisa kita ambil? Benarkah pinjol solusi UKT? Atau sejatinya fenomena ini adalah bukti nyata gagalnya pemerintah menyejahterakan rakyatnya dan sebaliknya malah menjerumuskan rakyatnya?
Pada titik ini kita layak untuk menyadari bahwa skema pinjol untuk pendidikan telah menjelaskan bahwa rakyat diminta untuk mengupayakan sendiri biaya pendidikan tinggi, bagaimanapun caranya. Meski pemerintah tampak mencoba menawarkan sejumlah alasan seperti menerbitkan kebijakan kerja sama dengan lembaga pinjol resmi, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi aksi lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan rakyat.
Ketika di satu sisi polemik UKT menegaskan kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan, pemerintah bukannya berkontribusi menyolusi dengan berusaha mengembalikan subsidi, tetapi malah menawarkan solusi pragmatis yang menambah masalah baru. Jika pinjol kemudian benar-benar menjadi solusi, ini adalah kebijakan yang menjerumuskan rakyat pada keharaman. Pinjol tidak mungkin lepas dari sistem bunga (riba), bukan?
Untuk itu, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa kondisi ini justru menunjukkan pemerintah tidak berkontribusi apa-apa dalam menunaikan pendidikan sebagai hak rakyat. Sektor publik yang semestinya menjadi pelayanan dari pemerintah bagi rakyatnya, telah dikomersialkan. Sementara itu, sumber utama pemasukan negara malah berasal dari pajak hasil memalak rakyat. Lantas, apa yang bisa kita pertahankan dari negara yang seperti ini?
Pemerintah semestinya menyadari bahwa pendidikan adalah investasi peradaban masa depan. Tidak akan ada ruginya jika saat ini pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembiayaan pendidikan. Hal ini demi menghasilkan barisan generasi terdidik, para calon pemimpin, dan SDM unggul pembangun peradaban.
Sayangnya, sudahlah pemerintah berlepas tangan perihal subsidi pendidikan, ditambah lagi memberikan solusi pembiayaannya melalui pinjol. Ini semua tidak hanya makin menghancurkan muruah pendidikan, tetapi juga langkah nyata merusak masyarakat dan mengundang azab Allah. Na’u?u bill?h.
Allah Taala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275).
Juga terdapat sabda Rasulullah SAW, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).
Dengan ini, keberadaan pinjol untuk pendidikan juga menegaskan bahwa sistem pendidikan di negara kita memang sekuler karena dinaungi sistem demokrasi yang juga sekuler. Pendidikan yang memiliki visi mulia serta berperan urgen menghasilkan generasi terpelajar, akan menjadi sangat hina jika dibiayai oleh dana pinjol yang jelas mengandung riba.
Sungguh, riba tidak ubahnya judi, yakni cara haram dalam mengembangkan harta sehingga keduanya jelas haram untuk kita ambil. Tidak ada yang lebih baik di antara riba dan judi. Keduanya sama-sama merusak masyarakat. Oleh sebab itu, pernyataan yang membandingkan riba dan judi seperti ini tidak pantas dinyatakan oleh seorang penguasa muslim, terlebih dirinya seorang pejabat yang masih aktif.
Langkah pemerintah sekuler yang makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya juga jelas-jelas kezaliman karena telah merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berdampak pada terancamnya kualitas SDM rakyat sehingga sulit bersaing di pentas dunia.
Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda nyata dengan pandangan dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Juga sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad).
Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan besar jumlahnya. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.
Di dalam Islam, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.
Bersamaan dengan itu, Islam tidak akan membiarkan adanya celah yang memungkinkan pendanaan pendidikan secara haram. Negara Khilafah dengan sistem ekonomi Islam memiliki banyak mekanisme sehingga harta yang masuk ke baitulmal adalah harta yang halal dan berkah.
Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki.
Selain pembiayaan, negara Islam juga menjamin keberlangsungan sistem pendidikan tersebut. Hal ini dalam bentuk jaminan dan realisasi pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka.