Oleh : Ahmad Barjie B
Menulis beberapa buku sejarah dan budaya Banjar
Monyet bermain memakai baju
Itik berenang bulunya tidak basah
Kalau ingin jadi bangsa besar dan maju
Jangan sekali-kali melupakan sejarah
Direktorat Jenderal Sejarah dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pada 21-23 September 2016 lalu mengadakan workshop bagi guru-guru sejarah SMA tingkat nasional di Swiss Belhotel Banjarmasin. Woskshop yang dibuka resmi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel saat itu, Dr Ngadimun MM, menghadirkan narasumber pusat dan daerah. Narasumber daerah diantaranya Dr Mohammad Zainal Arifin Anis dari ULM Banjarmasin, dan penulis mewakili Sultan Banjar Khairul Saleh. Materi yang diminta kepada penulis adalah tentang “Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan sebagai Sumber Sejarah” untuk pengayaan bahan ajar sejarah lokal Banjar. Bersama moderator Dr Marudut Tampubolon SH MH penulis didampingi Gusti Surian MPdI, salah seorang kerabat Kesultanan Banjar.
Kegiatan begini penting karena sejarah nasional belum optimal ditulis oleh sejarawan, masih banyak yang diselimuti kontroversi. Sejarah nasional lebih bersifat Jawa sentris bahkan Belanda sentris, bernuansa politis dan sejarah lokal belum banyak diakomodasi. Masyarakat hanya mengandalkan oral history, karena kekurangan penulis dan sejarawan, kekurangan dukungan daya dan dana pemerintah daerah, dan kekurangan bukti fisik warisan sejarah, karena semua dihancurkan dan dibiarkan hancur seperti benteng, monumen perang, dll). Sari Oktarina, guru sejarah yang menjadi panitia menekankan, dengan menghadirkan para guru sejarah, diharapkan dapat menularkan pengetahuannya kepada para siswa, sehingga sejarah lokal semakin banyak diketahui.
Sejarah Lisan
Sejarah lisan (oral history) menurut Jan Vasina adalah oral testimony transmitted verbally from one generation to the next one or more (kesaksian lisan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya atau lebih). Sartono Kartodirdjo mengatakan, sejarah lisan adalah cerita-cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara kolektif. Sementara Adaby Darban mengatakan, sejarah lisan dipahami sebagai rekaman wawancara tentang peristiwa dan hal-hal yang dialami pengkisah, atau pengalaman yang masih diingat pengkisah.
Sejarah lisan termasuk metode pengumpulan dan penyimpanan informasi kesejarahan, di samping penggalian dokumen dan bukti fisik lain, yang di dalamnya berisi cerita dari orang-orang tentang kejadian masa lampau dan pandangan hidupnya. Sejarah lisan tidak datang dengan sendirinya, melainkan digali dengan sengaja melalui metode pengumpulan informasi kesejarahan.
Pengkisah sejarah lisan mesti sezaman dengan peristiwa sejarah, masih hidup dan sempat berbicara dengan pewawancara, menjadi pelaku langsung dari peristiwa sejarah (sumber primer), saksi langsung dari peristiwa sejarah (sumber sekunder), atau minimal mengetahui peristiwa sejarah dari pelaku dan/atau saksi sejarah (sumber tersier).
Penelitian sejarah lisan penting untuk menyelamatkan sumber sejarah karena terbatasnya sumber lisan yang masih hidup, mengungkap berbagai kejadian yang belum terakomodasi sumber tertulis, dan mengungkap kesaksian dan pengalaman masyarakat biasa, karena sejarah tertulis mungkin hanya berasal dari tokoh. Kalau selama ini penulisan sejarah lebih bersifat top down (dari atas ke bawah), melalui sejarah lisan diharapkan sejarah juga bersifat bottom up (dari bawah ke atas).
Kelebihan sejarah lisan, pengumpulan data dapat dilakukan secara langsung melalui komunikasi dua arah, bisa dikonfirmasi dan minta penjelasan hal-hal yang kabur dan kontroversial, penulisan sejarah bisa lebih demokratis, adil dan dengan sumber yang merata. Kekurangannya, keterbatasan daya ingat dan bicara narasumber karena usianya sudah sangat lanjut, subjektivitas narasumber, misalnya ingin menonjolkan perannya dan mengecilkan peran orang lain, pemutarbalikan fakta dan pembelaan diri dan sebagainya. Mengurangi subjektivitas diperlukan triangulasi kepada beberapa sumber, tidak satu dua sumber saja, serta sikap kritis pewawancara.
Bagi bangsa Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan, beberapa peristiwa sejarah yang masih terjangkau sejarah lisan mencakup penjajahan Belanda abad XX, Perang Dunia II, pra Proklamasi 17 Agustus 1945, narasumbernya minimal hidup antara 1925-2016, sehingga masih bisa bercerita kepada kita. Narasumber juga dapat diambil dari mereka yang hidup di masa penjajahan Belanda era NICA sampai Pengakuan Kedaulatan (1945 – 27 Desember 1949), yang kini berusia 80-an tahun. Begitu juga dengan sejarah pendudukan Jepang 1942-1945 minimal narasumber hidup sejak 1932 dan mengalami masa Jepang, dengan asumsi usia narasumber untuk bisa mengingat peristiwa mulai 10 tahun.
Peristiwa lain yang pelaku dan saksi sejarahnya masih hidup, misalnya pemberontakan DI/TII, sejarah Dwikora, Trikora dan Kontrontasi dengan Malaysia (1962, 1963, 1964-65, 1969), peristiwa G 30 S PKI 1965 hingga jatuhnya Bung Karno 1967. Begitu juga dengan sejarah integrasi Timor Timur dan Operasi Seroja 1975, jatuhnya Orde Baru Mei 1998, masih banyak narasumbernya.
Beberapa peritiwa penting di Kalsel dan Banjarmasin yang dapat digali melalui sejarah lisan di antaranya peristiwa 9 November 1945 di Banjarmasin, Proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan 17 Mei 1949 di Kandangan (perjuangan Hassan Basry cs), Palagan Nagara, HSS, 22 Januari 1949, peristiwa Hambawang Pulasan, Balangan, sekitar Dewan Banjar dan rencana Belanda membentuk Negara Borneo. Di antara sedikit narasumber lisan yang masih hidup sekarang adalah Melkianus Paur Lambut yang saat penulis wawancara bulan lalu berusia 93 tahun. Adapun peristiwa Jumat Kelabu 23 Mei 1997 Banjarmasin, yang juga sudah menjadi sejarah, masih banyak sumber lisan yang mengetahui.
Tradisi Lisan
Tradisi lisan (oral tradition) mencakup peristiwa sejarah dan budaya yang terjadinya sudah sangat lama, ratusan tahun silam, sehingga tidak bisa diverifikasi dan dikonfirmasi kepada pelakunya. Menurut Rustam Effendi, tradisi lisan dalam berbagai bentuknya tidak diketahui lagi siapa pengarangnya, dan isi ceritanya pun pralogis, bercampur mitos dan sebagainya. Tradisi lisan itu disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Termasuk tradisi lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan secara lisan dan dikembangkan secara beruntun juga melalui lisan, yang dapat digunakan untuk memberi penjelasan mengenai fenomena sejarah. Menurut Kuntowijoyo, tradisi lisan menceritakan kejadian-kejadian yang mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian dan mantra. Ia sudah berkembang sebelum munculnya tradisi tulisan, dan tetap berkembang setelah adanya tradisi tulisan dan sudah banyak dibukukan.
Beberapa bentuk tradisi lisan mencakup legenda, cerita rakyat, cerita kepahlawanan, dongeng, peribahasa/ ungkapan tradisional, pantun, syair, nyanyian rakyat, petuah, berbagai kesenian lisan yang mencerminkan sejarah, dll. Contoh tradisi lisan seperti kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi (Tangkuban Parahu), Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang, Para Wali, Syekh Siti Jenar, Masjid Luar Batang, Jaka Samudra dan Nyai Pinasti, Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, dll.
Di Kalimantan Selatan dapat juga disebut Hikayat Lambung Mangkurat yang berisi kisah Mpu Jatmika, Lambung Mangkurat, Mpu Mandastana, Bambang Sukmaraga dan Padmaraga, Pangeran Suryanata, Putri Junjung Buih, Batung Batulis dan Pembalah Batung, Datu Kandang Haji, Datu Sanggul dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, kisah para Datu Kalimantan, Urang Sepuluh, Raden Penganten, kesenian mamanda dan peribahasa Banjar, dll.
Meskipun pralogis dan banyak bercampur mitos, tradisi lisan berguna memperkaya cerita sejarah yang sesungguhnya. Misalnya di masa Empu Jatmika dan Lambung Mangkurat, orang biasa (jaba) dilarang keras menjadi raja karena akan dikutuk dewata. Ini keyakinan dan harga mati, sehingga Lambung Mangkurat tega membunuh kemenakannya Bambang Sukmaraga dan Bambang Padmaraga (Putra Mpu Mandastana) supaya keduanya jangan mendekati Putri Junjung Buih. Calon raja harus dicari dari Kasta Ksatria di Majapahit, sampai hadirnya Pangeran Suryanata. Ini berarti, di masa itu feodalisme dan Majapahit-sentris sangat mewarnai peta politik.
Paham bahwa yang berkuasa hanya kalangan bangsawan, masih berlanjut di era Kesultanan Banjar (Islam), sehingga tidak ada ceritanya urang Banjar jaba yang ingin menjadi raja atau sultan saat itu. Kalau terjadi peperangan, pasti karena konflik internal kesultanan, yang kemudian melibatkan rakyat, atau dicampuri Belanda yang ingin memecah belah dan kemudian berhasil menjajah Banjar.
Sekarang paham begitu sudah hilang. Semua kalangan boleh jadi penguasa, yang penting punya perahu, jaringan luas dan kekuatan finansial untuk menggalang partai dan dukungan rakyat pemilih. Siapa pun yang menang tidak akan dikutuk Tuhan, asalkan bermain sportif, tidak menghalalkan segala cara, dan mampu menjalankan amanah dan tugas pemerintahan secara benar dan adil. Wallahu A’lam.