BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Pahlawan perempuan dari Kalimantan Selatan yang muncul secara nasional tidak terlalu banyak, karena memang aktor sejarah lebih banyak diperankan oleh kaum pria.
“Dalam realitas sejarah memang hanya segelintir tokoh perempuan aktif dalam pergerakan karena faktor kungkungan tradisi, pendidikan dan kebebasan dibatasi, dan mispersepsi ajaran keagamaan dimana suara wanita dianggap aurat,” kata Sucrowardi penggagas interaktif di Tradisi Kopi, Km 5 Banjarmasin Sabtu (13/7/2024) malam.
Walau pun demikian, kata anggota DPRD Kota Banjarmasin ada beberapa nama tokoh perempuan dari Banua yang muncul ke publik diantaranya Aluh Idut dan Ratu Zuleha.
“Siapa sebenarnya tokoh tokoh perempuan dari Kalsel yang bisa dianggap sebagai pahlawan atau tokoh pergerakan sehingga bisa dijadikan inspirasi perjuangan bagi perempuan Banua di era kemerdekaan sekarang,” kata Sucrowardi.
Lalu, seperti apa pula nilai nilai kepahlawanan perempuan Kalsel yang bisa diwariskan untuk bisa dilanjutkan oleh tokoh tokoh perempuan Kalsel era sekarang.
Diskusi yang keempat ini dihadiri beberapa aktivis perempuan seperti ULM, Yana, Andin dan Erlin, Pemimpin Redaksi Kalimantan Post, Hj Sunarti, dan Rofi Kepala Biro Kalimantan Post di Jakarta, Lina pelaku UMKM, Dewi,
Nanik (jurnalis), Muslimah Hayati, Rahma Abdulrazak asal Turki, Srinida dan lainnnya.
Juga ada sejarawan Mansyur, Asyikin dari Kotabaru,
Prof Udiansyah yang merupakan calon Bupati Kotabaru, Bery Furqon Sekretaris NU Kalsel,
Norhalis Majid dari Ambin, Indra Gunawan aktivis 98, Haris Makkie, Ketua Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Kalimantan Selatan (PITI Kalsel) Winardi Suthiono
dan lain-lain.
Berkaitan hal itu, Suchro pun meminta sejarawan Mansyur sebagai pemantik pertama dalam diskusi terbuka tersebut
Menurut Mansyur, yang mengawali diskusi, keberadaan perempuan begitu minim dalam panggung sejarah di Kalsel, karena banyak faktor diantaranya lebih banyak diperankan kaum pria
“Juga ada faktor tradisi di Banua, pendidikan dibatasi dan persoalan perempuan sebagai suara aurat serta dalam agama perempuan tidak boleh ditampilkan di ruang umum,” ujarnya.
Menurut dosen sejarah ini, ada tiga faktor penghalang itu sebagai aktor sejarah jarangnga muncul pemimpin perempuan di Banua.
Mansyur pun mengungkapkan, tokoh mengenal Putri Junjung Buih itu masih mitos, tapi ada beberapa tokoh perempuan Banjar yaitu Ratu Zalecha yang berjuang mendampingi suaminya melawan Belanda ke dalam hutan hingga ikut dibuang ke Bogor di tahun 1980-an.
Ditambahkannya, ada sisi menarik dari Ratu Zaleha, suaminya Gusti Muhammad Arsyad yang ingin menikah lagi dengan orang Bogor padahal sudah punya isteri empat orang.
“Di dalam Islam hanya boleh punya empat isteri. Ternyata dengan kerendahan hati, Ratu Zaleha mengalah dan meminta cerai supaya suaminya agar bisa kembali,” ceritanya.
Alasan minta cerai pun cukup sederhana, sebagai isteri pertama karena tidak bisa memberikan keturunan padahal suka duka dijalani berjuang dihutan belantara hingga dibuang ke Bogor.
“Sungguh miris disisa hidup terakhirnya, Ratu Zaleha tinggal di rumah kontrakan, hidup miskin dan sampai meninggal dan tak perhatian apa pun pemerintah era orde lama,” ujarnya.
Berkaca dari pahlawan perempuan Urang Banjar ini, memiliki konsep patriarki. Artinya hidup perempuan di Banua terkukung dengan aturan kaum laki-laki.
“Peran perempuan di era Kesultanan Banjar hanya menjadi bagian alat politik untuk untuk melanggengkan kekuasaan dan alat tukar kekuasaan dan sebagainya,” tandas Mansyur.
Sementara itu, salah satu tokoh perempuan Banua Eka atau lebih akrab dipanggil Rofi mengungkapkan cukup sulit mencari pahlawan perempuan asal Kalsel.
“Tetapi kalau kita lihat dari kuadrannya ada empat dalam sebuah peradaban itu,” ujar Kepala Biro Kalimantan Post di Jakarta ini.
Menurut dia, kuadran pertama adalah pelopor. ” Harusnya dalam diskusi ini kita mendefinisikan siapa saja sih yang masuk dalam kuadran pelopor perempuan di Kalsel,” ucapnya.
Di diskusi tadi sudah disebutkan nama Putri Junjung Buih, Ratu Zaleha dan lain-lain tidak masuk kuadran kedua, tiga dan empat. Itu semua hanya pelajaran sejarah.
“Pengetahuan kita siapa sih orang yang memang yang diberikan tampuk kepemimpinan karena bukan terpilih, tetapi karena keturunan,” katanya.
Dijelaskan Rofi, jadi mungkin wajar di Indonesia banyak diberikan kepemimpinan karena dinasti, bukan karena pemilihan. Misalnya, Ir H Muhammad Said melahirkan Dewi Said, Paman Birin menelorkan acil odah, jadi harus ada orda.
“Jadi kepeloporan perempuan itu perlu dipertanyakan apakah ditunjuk atau memang karena hal lain,” tegasnya.
Selanjutnya, kata Rofi
kuadran kedua pelopor ada pendorong. “Siapa sih perempuan pelopor pendorong. Siapa masuk kategori ini ibu Fatimah?, Beliau masuk dalam posisi penggerak. Siapa yang mendorong bisa jadi syech Arsyad Al-Banjari, karena secara fiqih kepemimpinan perempuan diizinkan, tapi syarat dan ketentuan berlaku,” tandasnya
Setelah itu siapa faktor pendorong karakter penggerak. Penggerak itu, kata dia, orang seperti Sucrowardi, Haris Makie, Dewi, Nani, Narti dan yang hadir disini merupakan tokoh penggerak Kalsel
Kuadran keempat yakni pelaku. Untuk kuadran pendorongnya tidak bisa menjawab dan penggeraknya jalan sendiri-sendiri karena urusan masalah aktivitas pengennya kerja buat nafkahi anaknya
Dikesempatan itu, Rofi juga menyebut tak bisa berharap dengsn anak muda sekarang, mereka belum saatnya. Ada satu pepatah, kenapa anak muda beda yang dulu.
Seorang petani bekerja keras sekuat tenaga agar bisa menguliahkan anaknya hingga bisa ke Jepang, Australia dan lain-lain.
“Keluarga susah melahirkan orang-orang hebat, tapi setelah anaknya menjadi orang hebat dia melahirkan anak yang semua tersedia. Anaknya tidak perlu lagi memikirkan susahnya bapaknya dulu susah bekerja dan dia tidak melihat bapak hanya melihat bapaknya datang bekerja mobil, rumah ber AC, kaya enak. Ada orang lemah, ternyata zaman muda menghasilkan orang-orang lemah. Ini yang terjadi saat ini. Semuanya instan, orang hanya klik bisa dpt uang. Ketika banyak orang lemah,” paparnya.
Pemimpin Redaksi Kalimantan Post, Hj Sunarti menambahkan, selama ini dirinya menjadi saksi sejarah di Kalsel.
“Saya tinggal disini selama 33 tahun, tapi dari waktu ke waktu tidak perkembangan yang signifikan dalam pembangunan. Tak ada perubahan, padahal SDM nya luar luar biasa,” ujarnya.
Pemantik lainnya, Andin mengatakan berkaca tokoh wanita di Kalsel ada tokoh dayak namanya Bulan Jihar sahabatnya Ratu Zaleha berperang melawan penjajah.
“Ratu Zaleha meninggal pada September 1953 dan sahabatnya Bulan Jihat muncul 1954 dan terpisah serta bersembunyi di hutan rimba,” ucapnya.
Dijelaskan Andin, diceritakan Bulan Jihat itu kebal dan bisa menghilang serta bisa membunuh tentara Belanda selendang,” ucapnya.
Bagaimana dengan sekarang? Menurut Andin, dia melihat pandangannya, mahasiswa sekarang tidak berani mengeluarkan suara atau haknya, melakukukan demo dan lain-lain untuk memperjuangkan haknya dan di Indonesia.
“Mahasiswa sekarang ini
tertekan dan bila melakukan demo ditangkap dan disiksa. Mahasiswa sering mendemo di Yogyakarta. Tapi sekarang tak lagi ada kegiatan demo, karena aktivitas sudah diancam duluan dan ditangkap,” tegasnya.
Lain lagi dengan penggerak wanita Lina, dirinya bergerak dari akar rumput perempuan dengan memberdayakan perempuan single parent yang tidak mempunya akses, baik ekonomi untuk mengikuti pelatihan dan memberdayakan itu.
“Saya pun bergerak, membentuk komunitas kuliner dan bisa menyatukan mereka dari berbagai latar belakang perempuan. Komunitas bertahan dan jumlahnya 100 orang yang mendukung UMKM di tempat kita,” katanya.
Ditambahkannya, perempuan kekurangan media kesempatan menampilkan kemampuan mereka. Ketika mereka sudah mempunyai lahan dan tidak kalah sama lelaki,” ujarnya.
Menariknya, pada awalnya ada suaminya yang tidak mendukung, tapi akhirnya mendapatkan dukungan. (ful/KPO-3)