Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Aliran Menyimpang

×

Aliran Menyimpang

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel

Akhir Desember 2020 lalu MUI Kalsel melaksanakan Rapat Kerja Daerah di Banjarmasin, dihadiri peserta dari 13 MUI kabupaten kota se-Kalsel. Setahun sebelumnya, juga di akhir Desember 2019, dilaksanakan Rapat Koordinasi Daerah wilayah V Regional Kalimantan di Banjarbaru, dihadiri ratusan peserta MUI dari lima provinsi se-Kalimantan. Selanjutnya April 2021, MUI Kalsel kembali melaksanakan Muswawarah Daerah lima tahunan, termasuk memilih pengurus baru. Terpilih sebagai ketua umum MUI Kalsel periode 2021-2026 adalah petahana KH Husin Naparin Lc MA, didampingi sekretaris umum H Nasrullah SAg SH MH. Pengurus baru telah dilantik Dr Safrizal ZA, Pj Gubernur Kalsel, Agustus 2021.

Baca Koran

Satu di antara objek permasalahan umat yang sering dikaji dan direkomendasikan MUI kepada para pihak terkait adalah masih ada atau banyaknya aliran menyimpang di masyarakat. Aliran menyimpang ini ada guru dan muridnya, kebanyakan beroperasi secara sembunyi-sembunyi melalui pertemuan atau kelompok pengajian tengah malam. Mereka berani menolak Rukun Iman seperti tidak percaya kepada malaikat, kitab suci Alquran dan hari kiamat, serta mengabaikan Rukun Islam dengan tidak lagi melaksanakan syariat seperti shalat dan puasa. Mereka meyakini dirinya sebagai makhluk yang mati, yang hidup hanya Allah SWT, jadi tidak mungkin Allah membebankan syariat yang cukup berat seperti shalat dan puasa kepada orang yang “mati”. Mereka hanya beribadah secara batin, kalau hati ingat Tuhan sudah beres, sehingga beban agama menjadi sangat ringan.

Aliran menyimpang itu ada juga yang menolak kewajiban haji. Katanya ibadah haji (dan umrah) tidak perlu dilaksanakan, sebab Allah swt sudah menyebut kedua tanah suci (Makkah dan Madinah) sebagai tanah haram, artinya haram didatangi. Ada juga meninggalkan syariat karena memahami hakikat Nur Muhammad secara salah. Katanya Allah swt tidak usah dicari karena sudah menjelma dalam Nur Muhammad. Kemudian Nur Muhammad tidak usah dicari karena sudah menjelma dalam alam semesta, termasuk manusia. Jadi tidak ada lagi yang harus disembah dan menyembah, karena semua merupakan satu kesatuan wujud.

Sedikit contoh paham menyimpang di atas sering dikeluhkan pengurus MUI di Kalsel dan Kalimantan umumnya. Guru dan muridnya tidak mengklaim sebagai agama tersendiri dan terpisah dari Islam, artinya masih bagian integral dari agama Islam. Tetapi kalau dikaji ajarannya, jelas terlihat adanya penyimpangan yang luar biasa, karena akidah dan syariat hal pokok dalam Islam. Ketika hal itu ditolak dan ditinggalkan secara sengaja, bukan karena malas atau “kulir”, semua itu tentu membahayakan dan menodai ajaran Islam itu sendiri.

Baca Juga :  Krisis Sistemik Kekerasan Seksual

Berpotensi Meluas

Menurut pengertian klasik dan hal ini pula yang dianut oleh Kementerian Agama RI sejak 1953, agama yang benar didirikan oleh Nabi atau utusan Allah (Rasul), memiliki kitab suci, dan menawarkan ajaran universal yang dianut masyarakat lebih dari satu negara di dunia. Nabi adalah orang yang benar-benar mendapatkan wahyu Ilahi yang tertuang dalam kitab suci yang otentik. Definisi ini lebih mengacu dan sesuai untuk disematkan kepada tiga agama resmi Semitik, yaitu Yahudi dan Nasrani yang kemudian ditutup dengan Islam.

Namun bagi sebagian orientalis dan pemikir liberal, nabi dan kenabian tidak dipahami dalam definisi terbatas. Agama bisa saja dilahirkan oleh para nabi pribumi dalam bentuk ajaran dan aliran kepercayaan dan sejenisnya yang bersifat lokal yang terikat dengan tradisi budaya dan lokalitas setempat, yang disebut agama rakyat, agama popular atau gerakan keagamaan baru, new religious movement (NRM). Nabi dan agama popular bisa berdiri sendiri dan memisah dari agama induknya (Islam, Kristen, Hindu atau Budha) dengan nama baru, bisa juga melakukan akulturasi dan sinkretisasi.

Prof Dr Al Makin adalah guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang intens mengkaji fenomena ini. Melalui penelitian yang dituangkan dalam bukunya Nabi-Nabi Nusantara (penulis memperoleh buku ini saat bersama pengurus MUI Kalsel yang dipimpin oleh KH Husin Naparin Lc MA berkunjung ke markas Jurnal al-Jamiah di gedung rektorat lama kampus IAIN/UIN tertua ini pertengahan November 2020 lalu), Al Makin menyebut di antara sejumlah daerah/pulau di Nusantara, Kalimantan adalah pulau yang paling sedikit memiliki “nabi” dan pembawa aliran sempalan. Sejak 1972, tercatat tidak kurang dari 644 sekte, terbanyak di Jawa Tengah (257), Yogyakarta (70), Jawa Barat (83), Jawa Timur (55), Sumatra Barat (83), Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur lainnya (26), dan 112 di tempat lainnya. Sejak 1984 sampai 2000-an Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) mengakui adanya 353 sekte keagamaan, dengan sekitar 8 juta pengikut yang tersebar di seluruh Indonesia.

Meskipun Kalimantan relatif sedikit memiliki aliran sempalan, namun harus tetap diprihatinkan, seperti sering disuarakan pengurus MUI berbagai daerah. Apalagi aliran dimaksud cenderung bertahan, bandel, timbul tenggelam, namun tidak pernah mati sama sekali. Meninggal guru yang satu diganti lagi oleh guru yang lain. Menurut KH Mochyar Dahri dari MUI HSS, murid aliran begini selalu ada, terutama dari kalangan yang minim pengetahuan agama dan ingin beragama secara mudah, tanpa susah-susah mengamalkan syariat.

Baca Juga :  PERJUANGAN TANPA AKHIR

Di masa orde baru, keberadaan aliran menyimpang cukup banyak, namun dapat ditekan, karena otoritas MUI yang didirikan pemerintah sejak 1975 masih kuat dan didukung penuh pemerintah. Hal-hal yang dianggap menodai agama resmi dikenakan sanksi hukum oleh lembaga pengadilan. Di era reformasi sekarang ada kecenderungan aliran-aliran menyimpang menguat, sebab perhatian pemerintah untuk masalah yang satu ini berkurang, dan otoritas MUI mengurus aliran-aliran tersebut melemah. Bahkan MUI sering mendapatkan pukulan berat dari para aktivis HAM dan pemikir liberal. MUI dituduh hanya memperkuat ortodoksi Islam yang sudah mapan dengan tafsiran tunggal, dan tidak memberi peluang yang memadai untuk tumbuhnya pluralisme agama. Bagi kalangan liberal, kepercayaan dan keyakinan beragama orang atau sekelompok orang adalah hak asasi manusia yang tidak bisa diadili.

Perbanyak Dialog

Membasmi aliran menyimpang tidak akan berhasil tuntas, karena selalu ada guru dan pengikutnya. Yang bisa dilakukan, selain penegakan hukum, juga melalui dialog, diskusi dan pendekatan persuasif, kepada guru maupun pengikutnya. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menyuruh mengajak manusia kepada kebenaran dengan bijaksana (hikmah), nasihat yang baik (mau’izhah hasanah) dan bertukar pikiran dengan cara yang baik (mujadalah bil-husna). Cara ini lebih efektif ketimbang tokoh dan pengikut aliran sempalan didemo, diusir bahkan dihukum. Pengusiran bertentangan dengan HAM.

Selama ini dialog terasa kurang. Contoh Lia Eden (almh) yang sejak 1995 mendakwakan dirinya sebagai penerima wahyu Tuhan melalui malaikat Jibril, atau dia sendiri sebagai malaikat Jibrilnya, semula merasakan ada sesuatu yang aneh mendatangi dirinya, ada makhluk gaib yang memberi bisikan dan pesan spiritual, yang disebutnya Habib al-Huda. Lia semula mendatangi MUI Pusat untuk minta bimbingan dan petunjuk, namun MUI menyidang Lia dan memosisikannya dalam kondisi terjepit dan dipermalukan, setelah permintaan MUI agar Lia mempraktikkan caranya berhubungan dengan malaikat Jibril gagal diwujudkan Lia. Akhirnya MUI merekomendasikan agar Lia dan beberapa pengikutnya dalam lingkaran elit Kerajaan Tuhan diadili dan dihukum penjara.

Akibatnya Lia Eden mengecam dan menyalahkan MUI, bahkan menolak keabsahan agama Islam dan agama-agama lainnya. Ia mendirikan agama baru, agama Salamullah, yang hingga sekarang pengikutnya masih ada meskipun tidak banyak lagi. Banyak kalangan menyayangkan, sekiranya dulu MUI mau berdialog dengan Lia, bisa jadi agama Salamullah tidak akan muncul dan dapat ditarik kembali ke agama Islam maintstream. Begitu juga dengan agama dan aliran-aliran lainnya di belahan Nusantara dengan beragam nama. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan