Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis Buku Sejarah dan Budaya Banjar, Anggota Pengurus DMDI Kalsel
Di akhir Maret 2024 tadi Kota Banjarmasin menjadi tuan rumah Majelis Tilawah (semacam Musabaqah Tilawatil Quran) antarbangsa, khususnya di kawasan Nusantara Asia Tenggara. Di saat sama dilantik kepengurusan Dunia Melayu Dunia Islam/DMDI (The Malay and Islam World) Kalimantan Selatan yang diketuai Walikota Banjarmasin Ibnu Sina. Ketua DMDI Internasional Datuk Seri Setia Dr Mohammad Ali Rustam Sultan Malaka bersama Ketua DPP DMDI yang juga Ketua BKPRMI Said Aldi al-Idrus hadir bersama.
Mengapa dunia Melayu bagian dari dunia Islam dan identik dengan Islam, kita perlu melihat relasinya. Sebutan Melayu sudah ada sejak abad ke-7 M. Menurut kajian Isjoni (2007), bangsa Melayu dikenal lewat catatan Cina yang menyebutnya Moleyoe. Seorang biksu dari Tiongkok, I Tsing, melakukan perjalanan 671 M dan 685 M, ketika itu ia memberikan gambaran tentang orang Melayu di Sumatra. Menurut catatan Tome Pires, pengelana Portugis antara 1512-1515 M, orang Melayu ada di Palembang, dan menyebar hingga ke Malaka, yang kemudian disebut tanah Melayu (Malaysia). Selanjutnya abad ke-17-19, nama Melayu digunakan untuk menyebut rumpun Melayu, baik dilihat dari bahasanya maupun rumpun sukunya. Di sinilah kemudian dikenal sebutan Melayu Semenanjung (Malaya), Melayu Deli (Medan), Melayu Riau, Melayu Minangkabau, Melayu Jambi, Melayu Palembang, Melayu Kalimantan, Melayu Banjar dan sebagainya (Muarif, 2009).
Melayu Kalimantan
Melayu Riau adalah sub-suku Melayu yang awalnya mendiami bagian Sumatera, khususnya Riau, kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya di Nusantara termasuk Kalimantan. Orang Melayu Riau dulu banyak tinggal di Sumatra Tengah dan Timur, setelah merdeka menjadi satu provinsi bernama Provinsi Riau dan sekitarnya. Sekarang dibagi dua, yaitu Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, dan Provinsi Kepulauan Riau ibukotanya Tanjungpinang, termasuk di dalamnya Kota Batam sebagai ikon provinsi yang berdekatan dengan Singapura.
Melayu Kalimantan banyak tinggal di Kalimantan Barat, Brunei Darussalam, Sabah dan Sarawak. Di Kalimantan Barat, Melayu yang menonjol adalah Melayu Ketapang. Mereka terdiri dari Melayu pendatang dari luar Kalimantan, biasa disebut Melayu masa kini (contemporary Malay), dan orang-orang Melayu setempat atau Melayu asli, disebut Melayu pribumi (indegenous Malay). Melayu masa kini berasal dari seluruh kawasan Melayu di Sumatra dan Kepulauan Riau, Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) serta Brunei Darussalam. Melayu asli Kalimantan sejak lama berada di pulau Kalimantan dan memiliki pertalian erat dengan suku Dayak. Kebanyakan hubungan mereka mengembang secara sejajar (horisontal) dan kekerabatan, juga secara tegak lurus (vertikal) melalui kawin campur dan beranak pinak, sehingga antara Melayu dengan Dayak juga dianggap bersaudara. (M. Natsir dkk., 2012).
Melayu dan Banjar memiliki hubungan erat, dari segi genealogis (garis keturunan) maupun kebudayaan termasuk bahasa. Menurut Zafry Zamzam (1972, 2018), penduduk asli Kalimantan adalah suku Dayak, kemudian bercampur dan kawin-mawin dengan imigran suku Melayu, Jawa, Bugis, Cina, India dan lain-lain, asimilasi ini melahirkan suku Banjar. Mengingat kuatnya dakwah Islam yang disebarkan imigran Jawa dan Melayu, otomatis suku Banjar memeluk agama Islam dan kemudian menyebarkan agama ini di daerahnya.
Menurut Alfani Daud (1982), masyarakat Banjar adalah imigran Melayu dalam jumlah besar yang membangun pemukiman di tepi-tepi dan cabang-cabang Sungai Barito yang berhulu di Pegunungan Meratus. Selanjutnya imigran Melayu dan imigran lain yang melebur ke dalamnya mendiami tanah datar yang luas antara tanah tepi sebelah timur Sungai Barito dan lereng sebelah barat Pegunungan Meratus, mereka inilah yang menjadi nenek moyang suku Banjar. Syamsiar Seman (1982) menyebut suku Banjar adalah suku Melayu sebagai penduduk tertua yang mendiami Kalimantan. Suku ini disebut Proto Melayu (Melayu Tua). Sedangkan pendatang disebut Detro Melayu atau Melayu Baru (Melayu Muda). Mereka memiliki hubungan kekeluargaan dengan suku Melayu di Sumatra dan Malaysia.
Saling Hubungan
Melayu dan Islam satu kesatuan tidak terpisahkan. Menurut Tengku Nasruddin Effendy (2006), bagi orang Melayu agama Islam adalah anutannya. Seluruh nilai budaya dan norma sosial masyarakat wajib merujuk ajaran Islam dan dilarang keras bertelikai (bertentangan) atau menyalahinya. Nilai budaya yang dianggap belum serasi dan sesuai dengan ajaran Islam harus diluruskan terlebih dahulu. Nilai yang tidak dapat diluruskan dibuang. Itulah sebabnya, orang luar yang masuk Islam disebut masuk Melayu. Sebaliknya bila ada orang Melayu keluar dari Islam maka ia dianggap keluar dari Melayu, telah menanggalkan hak dan kewajibannya sebagai orang Melayu. Karena itu dalam adat Melayu Riau ada ungkapan: “Siapa meninggalkan syara’ (Islam) maka ia meninggalkan Melayu, dan siapa yang memakai syara’ maka ia masuk Melayu. Bila tanggal syara’ maka gugurlah Melayunya”.
Sebenarnya suku Jawa juga demikian. Asal mulanya antara Islam dengan Jawa dan sebaliknya tidak dapat dipisahkan. Ni’mat al-Azizi (2023) menyatakan, dalam Serat Rerepen, Sri Susuhunan Paku Buwono X menulis hubungan antara Islam dengan Jawa: Karsaning Kang Maha Agung (atas kehendak Yang Maha Agung); Gunggunging Islam Jawa (agung lah Islam Jawa); Marmane langgeng tunggal loro hiku (karena itu lestarikanlah dwitunggal itu); Ja hana hingkang tinggal Jawa (jangan sampai ada yang semata Jawa); Lan ja hana hadoh agami (dan jangan sampai ada yang menjauhi agama); Tinulis sajroning Qur’an (yang tertulis dalam Alquran), Hantepana dadya laku ban hari (dihayati menjadi perilaku sehari-hari).
Sejarawan Australia, Prof Merle Calvin Ricklefs PhD juga menyatakan keterkaitan Jawa dengan Islam. Ketika agama Islam disiarkan di tanah Jawa, penduduk Jawa menerima Islam sebagai agama barunya, sehingga muncul kesadaran identitas, bahwa menjadi Jawa berarti menjadi orang Islam. Kuatnya hubungan Jawa dengan Islam terwujud sejak era Kesultanan Demak, dilanjutkan Kesultanan Pajang dan Mataram hingga Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Jelaslah identifikasi Melayu dengan Islam, bahkan Jawa dengan keislamannya juga bagian dari Melayu, sebab di masa lalu orang Nusantara, Melayu, juga disebut orang Jawi, bahasa Melayu disebut bahasa Jawi. Semoga DMDI semakin memperkuat identitas kemelayuan dan berperan penting dalam menjaga agama dan NKRI, bersama komunitas Melayu di kawasan Nusantara. Amin.