Oleh : AHMAD BARJIE B
Kamus Umum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia belum menyajikan pengertian yang memuaskan tentang kata “hujat”. Di situ dikatakan hujat/hujah artinya fitnah, menghujat sama dengan memfitnah. Kata ini agak sama maknanya dengan hujah/hujjah, yang artinya alasan, dalil atau argumen.
Kata hujat menjadi sering didengar dan marak digunakan di era reformasi. Maknanya amat luas, tidak saja bernuansa fitnah, tetapi juga kecaman dan caci maki, sorotan tajam, yang tentu saja dapat memerahkan telinga dan membuat marah orang yang dihujat.
Dalam bahasa agama hujat di sini mirip dengan ghibah jika benar dan fitnah jika tidak benar. Keduanya sama-sama dilarang, sebab tidak sejalan dengan konsep etika pergaulan dan moralitas Islam, yang menekankan agar setiap orang tidak sibuk mencari-cari kekurangan orang lain, dengan melupakan kekurangan dan cacat cela dirinya sendiri. Islam mengajarkan, orang yang berusaha menutupi cacat-cela saudaranya akan dibalas Allah di akhirat kelak dengan menutupi cacat-celanya pula.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya Sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan kamu menggunjing sebagian dengan sebagian yang lain. Sukakah di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS Al-Hujurat: 12).
Ayat sebelumnya menyatakan pula agar jangan suatu golongan mengolok-olok golongan lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.
Kedua ayat di atas pada intinya melarang orang/golongan saling menghujat, apalagi jika hujatan itu mengandung fitnah dan tuduhan yang tidak mendasar.
Meski begitu, jika suatu kritikan bersifat koreksi, untuk perbaikan, maka itu bukan hujat lagi namanya, dan dalam perspektif ini dibolehkan. Imam Al-Ghazali menyebut beberapa ghibah yang dibolehkan, seperti dalam rangka menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dalam rangka mengadukan orang yang zalim dan menzalimi dirinya dalam membela diri dan sebagainya. Kebolehan demikian tentu saja tetap dalam koridor dan cara yang bijaksana tanpa ada motif lain yang bertentangan dengan ajaran agama.