Oleh : Rofi Zarzaida
Wartawan Senior, Wirausaha, Kepala Perwakilan Jakarta Kalimantan Post
PERCATURAN politik tanah air kembali memanas. Terlebih jelang masa pendaftaran peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dimulai 27 Agustus 2024 kemarin. Beragam komentar, kelakar dan saling sindir antar para elit mulai mewarnai kanal media massa yang mau tidak mau menjadi konsumsi publik yang renyah namun terkadang pahit kisahnya. Dimulai dari istilah “Raja Jawa” dalam pidato pertama Bahlil selaku Ketua Umum DPP Golongan Karya (Golkar), tak terelakan saling jawab dan sindir dalam pidato disela kegiatan Munas, Kongres dan Muktamar Partai Politik pun kian smarak. Bukan hanya itu, Presiden RI Joko Widodo serta Presiden terpilih Prabowo pun terpancing berpidato sambil melalukan curhat colongan atau “curcol” menurut istilah anak milenial.Ada apa sebenarnya?
Secara teori, komunikasi adalah proses serta sistem yang bersifat interaksi dan transaksi yang secara sengaja atau tidak akan mempengaruhi siapa saja yang menerima pesannya. Aksi curhat dan sindir para elit politik, bagai komunikasi tanpa saringan sehingga corong mahal media massa tidak lagi dimanfaatkan untuk memberikan pemikiran yang produktif dari seorang pimpinan parpol.
Apa dampaknya di masyarakat ? jangan katakan bangsa Indonesia telah luntur kesantunannya. Komunikasi politik tanpa saringan justru membakar daya kritis dan semakin menebalkan semangat untuk memperbaiki demokrasi yang semakin hari semakin terkoyak saat ini.
Masyarakat nyatanya semakin pintar dan tidak mudah lagi di adu domba. Jaman dikotomi politik dengan jargon kadrun dan kecebong telah berakhir. Komunikasi politik yang buruk justru mencerminkan ketidakharmonisan antar elit. Pidato Bahlil, Zulkifli Hasan dan Surya Paloh mengisyaratkan bahasa semiotika bermakna bahwa mereka sedang berupaya mengirimkan pesan minta pertolongan khaliayak ditengah drama bom waktu sebagai tersandra berbagai kasus dan penyimpangan.
Macetnya komunikasi politik yang tercitrakan tidak dalam satu suara dikhawatirkan akan menghambat proses pembangunan dan proses peralihan dari presiden lama ke presiden baru.
Semua pihak di”paksa” dan di “karbit” untuk mengamankan koalisi besar melawan 110 kursi parlemen milik Banteng merah. Pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM) Plus justru semakin menggalakkan mata netizen sebagai kaum oposisi yang mulia. Demokrasi menjadi mahal, parlemen menjadi sunyi tanpa suara malah dikhawatirkan justru menyuburkan parlemen jalanan seperti halnya yang terjadi di beranda DPR RI, Kamis (22/8) lalu.
Percayalah gaya politik tersandera itu rapuh dan mudah pecah. Keberhasilan politik dipandang atas dua sisi, karakter figurnya serta apa kebijakannya. Sejak pilpres, khittah politik kebangsaan bangsa seolah telah jauh melenceng. Bagai kapal yang mengalami kesesatan tujuan, cobaan dan tantangan kedepan semakin tak terlihat dan dihadapi tanpa antisipasi.
Politisi yang tidak pernah merasa bersalah dengan segala kegaduhan dan kerusakan yang ditimbulkan akibat ulah dan pernyataannya merupakan politisi yang memerlukan pendampingan ahli kejiwaan. Mereka secara sengaja memanfaatkan sikap orang Indonesia yang mudah lupa dan mudah memaafkan. Maka berjanji namun tidak dipenuhi, bersumpah namun melanggar adalah hal biasa. Bisa diprediksi, jika ia gagal meraih simpati lebih luas, maka ia akan segera berbalik haluan dan jika perlu menyerang balik para pendukung yang telah bekerja keras membesarkan serta mengelu-elukannya.
Ada pertaruhan besar yang harus menjadi konsekuensi akibat manuver politisi berkarakter tidak stabil ini. Dirinya menjadi berbahaya karena cenderung melemahkan eksistensi dan keberlangsungan negara hukum yang menerapkan kesamaan (equality) dan kepastian (certainty). Indeks kemerosotan demokrasi di Indonesia semakin rendah nilainya.Kebebasan sipil semakin diperkecil ruangnya agar orang tidak bersatu dan bergerak. Anehnya politisi sipil (bukan orang militer)yang terpilih secara demokratis ini justru diketahui malah mengabaikan oposisi, independensi media dan bahkan memberangus sesama masyarakat sipil.
Kondisi tersebut dibuktikan sebuah riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022. Skor tersebut menjadikan Indonesia tergolong sebagai negara cacat demokrasi. Masyarakat pun tidak peduli . Hal ini disebabkan minimnya literasi politik ditengah masyarakat, harga bahan pokok yang mahal membuat masyarakat pun lebih fokus pada upaya bertahan hidup. Hilangnya kepercayaan publik terhadap para tokoh elit dan mekanisme politik yang dijalankan semaunya menjadi kekecawaaan publik dan pada gilirannya justru mempengaruhi ketidakpercayaan publik terhadap berbagai produk poltiik antara lain kebijakan, legacy yang ditinggalkan serta mekanisme politik yang tersedia.
Waspadalah dan siapkan generasi, mulai dari titik 0 kilometer pada Oktober mendatang sambutlah Nusantara baru, Indonesia Maju dengan cara sederhana, perbaiki komunikasi politik anda.