Oleh : Ganet Dirgantara
Pemerhati Sosial
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam janji kampanyenya tidak lagi menargetkan satu juta rumah tetapi menjadi tiga juta griya per tahun atau naik tiga kali lipat.
Kalau pada tahun 2023 program perumahan bisa terealisasi 1,2 juta unit, artinya butuh kerja keras dan cerdas agar target tiga juta unit bisa tercapai. Banyak tantangan yang bakal dihadapi untuk mewujudkan program tiga juta rumah tersebut apabila belajar dari pengalaman tahun 2023 dan 2024.
Kepastian berusaha hingga koordinasi antarinstansi masih menjadi kendala penyediaan rumah sehingga bisa menjadi bahan evaluasi apabila program tersebut ingin dijalankan.
Kementerian yang bertanggung jawab di bidang perumahan menjadi suatu keharusan apabila program ini ingin sukses. Keberadaan Kementerian tentunya bisa menjadi jalan keluar persoalan koordinasi hingga kepastian berusaha.
Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto target tiga juta rumah itu sangat besar sehingga membutuhkan dukungan dari sisi penganggaran dan kebijakan.
Program ini mustahil berjalan tanpa adanya penanggung jawab khusus. Banyak ketentuan dan regulasi di sektor perumahan yang bisa mendukung penyediaan rumah sehingga membutuhkan institusi yang kuat agar bisa menjadi jembatan dengan pelaku usaha.
Dengan demikian terdapat tiga fungsi penting kementerian yang bertanggung jawab di bidang perumahan, yakni sebagai pengatur koordinasi lintas sektoral, perencana program, serta sekaligus sebagai eksekutor.
Terutama koordinasi lintas sektor yang memang sangat berat. Hal ini karena masing-masing sektor memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sebagai contoh soal dana subsidi, yang bertanggung jawab adalah Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan tentunya berpegang kepada pengamanan anggaran agar defisit tidak semakin lebar. Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pada semester-I 2024 APBN telah mengalami defisit sebesar Rp77,3 triliun atau 0,34 persen dari PDB, yang bukan merupakan kabar baik mengingat pada periode yang sama tahun sebelumnya mengalami surplus.
Artinya, Pemerintah harus selektif dalam menetapkan belanja atau pengeluaran anggaran berdasarkan skala prioritas termasuk dalam hal ini subsidi. Mana yang lebih didahulukan subsidi untuk bansos atau subsidi untuk rumah.
Butuh kepastian
Persoalan kepastian dana subsidi juga menjadi keharusan apabila program tiga juta rumah ingin bisa terwujud. Pengalaman pada tahun 2024 anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) habis di tengah jalan (bulan Agustus).
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Daniel Djumali menjelaskan dana subsidi ini memudahkan pengembang perumahan menawarkan produk kepada masyarakat, yang tentunya harus selalu tersedia dalam satu tahun anggaran untuk memberikan kepastian.
Pemerintah perlu melakukan intervensi dalam pembangunan perumahan terlebih dari sisi kebijakan di antaranya untuk mengendalikan harga tanah yang makin tinggi terutama di perkotaan. Akibatnya, lokasi perumahan subsidi kian jauh dari pusat aktivitas masyarakat.
Program tiga juta rumah itu harus dipicu di awal pemerintahan karena efektif untuk memperkecil kesenjangan permintaan dan produksi rumah (backlog) yang berdasarkan data terakhir mencapai 9,9 juta rumah.
Agar program bisa dipercepat maka perlu penyempurnaan terhadap regulasi dan skema-skema pembiayaan termasuk membenahi undang-undang yang terkait perumahan. Penting juga alur yang jelas terkait perizinan untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan.
Persoalan izin juga menjadi pertimbangan utama di sektor perumahan. Biaya terkait perizinan menjadi pertimbangan untuk menetapkan harga rumah. Sebagai contoh harga rumah subsidi di Pulau Jawa di tetapkan Rp166 juta, artinya biaya perizinan jangan sampai membuat profit margin yang terlalu kecil.
Margin atau keuntungan di dalam bisnis menjadi hal penting. Kalau terlalu kecil maka tidak ada yang mau masuk ke bisnis tersebut. Pengembang rumah–kalau memang margin kecil–akhirnya akan memilih membangun rumah menengah dibandingkan rumah subsidi.
Perlu langkah ekstra
Angka backlog yang begitu lebar tentunya membutuhkan penanganan yang tidak biasa-biasa dan lebih kreatif tidak hanya di tingkat pusat tetapi hingga ke daerah-daerah. Pola satuan kerja hingga ke daerah-daerah bisa menjadi salah satu solusi untuk mempercepat program perumahan.
Hal ini dibenarkan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman periode 1998–1999, Theo L. Sambuaga, yang menjelaskan untuk memperkecil angka backlog saat ini membutuhkan langkah ekstra seperti yang dilakukan pada era kepemimpinannya dengan perkuatan kebijakan hingga ke daerah-daerah demi menyukseskan program perumahan.
Theo mendorong pentingnya insentif agar pengembang perumahan tertarik untuk berpartisipasi dalam program Pemerintah untuk membangun jumlah yang wajar agar tersedia rumah layak dan terjangkau untuk masyarakat.
Adapun Deputi Komisioner BP Tapera Bidang Pemupukan Dana, Doddy Bursman menyebutkan dibutuhkan kerja sama yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung program tiga juta rumah termasuk pada ekosistem perumahan.
Kehadiran BP Tapera selama ini berfungsi sebagai operator investasi Pemerintah (OIP) yang mengelola dana FLPP sekaligus sebagai penyedia data jumlah masyarakat sasaran.
Strategi yang dibutuhkan dalam mendukung program pembiayaan perumahan bagi masyarakat adalah perluasan pengembangan pembiayaan perumahan, mengurangi beban fiskal pemerintah, dan mengurangi kesenjangan pembiayaan dengan menyediakan dana murah jangka panjang.
Ke depan, badan ini bertugas memperluas sumber dana sesuai ketentuan peraturan perundangan. Sumber dana tersebut, selain berasal dari dana peserta dan dana pemerintah melalui alokasi APBN, dapat juga lewat optimalisasi sumber dana lain sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Sementara itu, Presiden The Eastern Regional Organisation for Planning and Housing (Earoph) Indonesia Andira Reoputra menyebut program baru bisa berjalan apabila seluruh pemangku kepentingan dapat dirangkul.
Zonasi perumahan dinilai penting agar sesuai antara permintaan dan kebutuhan (link and match) melalui konsep penataan kota sehingga masyarakat bisa mendapatkan hunian terjangkau. Dalam hal ini, koordinasi antara Pemerintah Pusat dan pemerintah kota juga dibutuhkan.
Di Jakarta, misalnya, Pemerintah Pusat memiliki aset properti termasuk lahan yang luar biasa besar, demikian pula pemerintah provinsi. Karena itu butuh yang dinamakan keranjang properti. Jadi, di dalam keranjang properti, nanti ada aset Pemerintah Pusat dan aset pemda.
Kalau semua aset properti itu dapat dikumpulkan dan dikonsolidasikan, maka nantinya persoalan lahan atau lokasi untuk pembangunan hunian di perkotaan seperti di Jakarta akan bisa terselesaikan.
Aset-aset yang ada di dalam keranjang properti sangat mungkin dikerjasamakan melalui skema build-operate-transfer (BOT) atau build-transfer-operate (BTO), atau bisa juga lewat kerja sama pemanfaatan (KSP).