Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
OPINI PUBLIK

Pajak dan Zakat untuk Negara dan Masyarakat

×

Pajak dan Zakat untuk Negara dan Masyarakat

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Sebuah media delapan tahun lalu (14 April 2016) memberikan tentang The Panama Papers. Istilah ini sempat menjadi trending topic, karena diduga sejumlah penguasa dan pengusaha dunia, termasuk dari Indonesia, mengamankan dananya di luar negeri guna menghindari pajak di negara asal.

Iklan

Bersama menghangatnya isu Panama Papers, kita juga dihebohkan tewasnya dua orang petugas pajak yang dibunuh seorang pengusaha di Kota Medan. Pemerintah, kepolisian dan publik sangat terkejut akan kasus ini. Pelakunya terancam vonis berat hingga hukuman mati.

Kasus-kasus lainnya adalah masih banyaknya orang yang menghindar untuk membayar pajak, melakukan rekayasa dan akal-akalan atau mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar kepada negara (pemerintah pusat dan daerah). Akibatnya pemasukan negara dari pajak, dan kemauan wajib pajak membayar pajak, selama ini belum maksimal.

Kalau menggarisbawahi semua kenyataan ini, benang merahnya adalah keengganan membayar pajak. Pajak masih dianggap beban, bukan kewajiban apalagi kebutuhan. Akibatnya banyak orang membayar pajak dengan perasaan rugi, terpaksa dan setengah hati. Hanya sebagian kecil yang mau membayar pajak secara sukarela, lalu perasaannya tenang dan lega setelah memenuhinya.

Dimaknai Zakat

Menyikapi fenomena di atas, ada beberapa sikap dan langkah yang harus dilakukan, baik oleh masyarakat wajib pajak maupun pemerintah sebagai regulator, pemungut dan pengelola pajak.

Masyarakat wajib pajak perlu mengubah cara pandangnya terhadap pajak. Sudah waktunya pajak dipandang sebagai “zakat untuk negara”, tanpa mengenyampingkan zakat yang selama ini sudah dibayar atas nama agama. Dalam perspektif agama, semua pungutan untuk rakyat bernama zakat, dari zakat fitrah, zakat harta, zakat profesi dan sebagainya, dengan hitungan tertentu yang tidak memberatkan.

Zakat penting dan prinsip, karena termasuk dari Rukun Islam, dan hampir selalu disebut bersamaan dengan menegakkan shalat. Sejak era Rasulullah zakat sudah diprioritaskan untuk dipungut dan beliau menyediakan gaji/upah yang cukup untuk petugas zakat. Di era Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq orang yang enggan berzakat diperangi sampai menyadari kesalahannya dan mau berzakat kembali.

Baca Juga :  Manajemen Strategis Sistem Pendidikan Balance Scorecard: Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kota Banjarmasin

Orang yang berzakat beroleh pahala besar dan dijanjikan surga. Karena itu orang beragama harus menganggap pajak yang dikeluarkannya juga sebagai zakat, jadi ada pahalanya. Semakin besar dan banyak pajak yang dibayar kepada negara, berarti semakin besar pula pahalanya. Logikanya, dengan akumulasi jumlah pajak yang besar, semakin besar pula yang disalurkan untuk pembangunan, untuk kesejahteraan rakyat. Iklan layanan masyarakat seperti “orang bijak taat pajak”, perlu semakin digencarkan lagi. Mungkin perlu ditambah: “orang pintar bayar pajak”, “orang bodoh enggan bayar pajak” dan sebagainya.

Pemaknaan pajak sebagai zakat untuk negara penting, karena selama ini sering jumlah pajak yang mesti dibayar kepada negara justru lebih besar dan bersifat memaksa ketimbang zakat yang dibagikan untuk fakir miskin, yang kadang terkesan bersifat sukarela meski hanya sekali setahun.

Memaknai pajak sebagai zakat yang besar pahalanya, juga sangat penting karena selama ini amat banyak orang yang enggan membayar atau melakukan rekayasa agar terhindar dari pajak, dan ini sering dilakukan orang-orang mampu dan kaya. Dalam sebuah penyuluhan perpajakan, seorang petugas pajak mengatakan, yang justru sering menghindar dari kewajiban pajak dan sangat sulit ditagih adalah kalangan masyarakat kaya, menengah atas. Sedangkan di bawah itu umumnya mudah ditagih dan mereka membayarnya dengan sukarela.

Regulasi dan Kebijakan

Pemerintah perlu membuat aturan yang dapat menjangkau semua wajib pajak, sehingga tak bisa menghindar lagi. Dalam konteks The Panama Papers, Muhith Afif mendesak pemerintah bersama DPR melakukan investigasi, klarifikasi dan segera menyusun undang-undang untuk mengantisipasi hal-hal yang berpotensi merugikan pendapatan negara di sektor pajak.

Di bawah PBB mestinya ada konvensi internasional yang mengatur dan melarang orang menyimpan dananya di luar negeri jika dimaksudkan untuk menghindari pajak di negara asal, apalagi sampai melarikan uang hasil korupsi. Luar negeri hanya boleh untuk investasi dan pengembangan usaha produktif.

Baca Juga :  Manajemen Strategis Sistem Pendidikan Balance Scorecard: Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kota Banjarmasin

Pemerintah perlu memastikan, pendapatan negara dan daerah yang dikumpulkan dari sektor pajak benar-benar optimal untuk kesejahteraan rakyat. Sayangnya dana APBN dan APBD selama ini, justru lebih banyak digunakan sebagai biaya birokrasi, belanja pegawai dan kunjungan pejabat dan elit politik saja, yang jumlahnya 60 % lebih. Jatah untuk rakyat hanya 40 %, dan itu pun masih terpotong akibat korupsi dan sunat-menyunat lainnya. Ini dapat menyebabkan para wajib pajak enggan menyetorkan pajaknya. Adanya pegawai, pejabat dan politisi yang bergaji besar tanpa diimbangi kinerja tinggi, juga membuat kesal pembayar pajak, sementara mereka harus bekerja keras dalam mengumpulkan kekayaannya.

Pajak memang sektor andalan pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Bagi banyak negara maju, pajak menjadi isu penting di setiap pemilihan presiden dan kepala daerah. Indonesia tentunya juga demikian, tetapi perlu disertai kebijakan dan regulasi yang adil. Selama ini sistem perpajakan mengandung nuansa ketidakadilan. Misalnya pajak kendaraan bermotor, jika terlambat membayar dikenai denda yang cukup tinggi. Begitu juga pembayaran rekening leiding, listrik, telpon dan sebagainya.

Instansi terkait yang memungut pajak memandang, masyarakat yang terlambat membayar pajak disebabkan lalai dan sengaja menunda-nunda, sehingga perlu sanksi denda. Padahal fakta yang terjadi, mereka yang terlambat memang mengalami kesulitan keuangan, sehingga tertunda. Kalau dikenakan denda, berarti beban masyarakat semakin berat.

Barang konsumsi banyak dikenai PPN tinggi. Sektor pengetahuan seperti narasumber seminar, menulis, buku, penerbitan, dll, juga dikenai pajak, tapi ada barang mewah justru bebas bea masuk. Ini aneh, padahal seharusnya no tax for knowledge.

Sudah waktunya instansi dan petugas pengungut pajak menjemput bola. Masyarakat dilayani ke rumah-rumah dan ada tempat layanan yang dekat. Namun bagi petugas pajak yang mendatangi rumah/perusahaan wajib pajak dengan tagihan relatif besar perlu juga hati-hati dan ada antisipasi. Petugas pajak yang turun ke lapangan disarankan memiliki kemampuan bela diri, atau dikawal aparat kepolisian. Bukan untuk menekan dan menakut-nakuti wajib pajak, tetapi antisipasi kasus pembunuhan seperti di Medan.

Baca Juga :  Manajemen Strategis Sistem Pendidikan Balance Scorecard: Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kota Banjarmasin

Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Bagi negara agama seperti Arab Saudi, semua pungutan kepada rakyat melalui satu pintu bernama zakat. Sedangkan bagi negara sekuler seperti Amerika Serikat cs, semua pungutan melalui satu pintu pula yaitu pajak, tanpa zakat kecuali perorangan.

Negara kita memungut kedua-duanya. Pajak dipungut melalui Direktorat Pajak dan instansi lainnya. Zakat dipungut organisasi keagamaan dan sekarang melalui organisasi resmi bentukan pemerintah bernama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang punya jaringan dari pusat hingga ke daerah.

Mengingat kemampuan pemerintah dalam menyejahterakan umat terbatas, maka selain pajak kita juga wajib berzakat. Asalkan pajak benar-benar dipungut secara adil dan dikelola dengan baik dan benar, kita perlu ikhlas menerimanya. Anggapkan keduanya sebagai amal ibadah yang ada pahalanya. Sebagai umat beragama dan warganegara yang baik, kita tidak perlu merasa dibebani oleh pungutan double ini, belum lagi sumbangan infaq yang nyaris setiap hari kita keluarkan. Di akhirat nanti banyak orang menyesal karena hartanya tidak sempat diberikan. Semakin banyak memberi, hakikatnya untuk kemaslahatan dan kebahagiaan kita juga. Wallahu A’lam.

Iklan
Space Iklan
Iklan
Ucapan