Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Urang Banjar Tulak Madam”
Kongres Budaya Banjar II yang di Banjarmasin 15 tahun lalu (4/2010) boleh dikata cukup sukses membangun keakraban sesama urang Banjar, baik yang ada di Kalimantan maupun luar bahkan dari luar negeri. Acara langka seperti ini juga cukup efektif untuk menumbuhkembangkan kebanggaan dan primordialisme kedaerahan dan kesukuan, asalkan dalam konotasi positif.
Di antara keberhasilan kongres ini adalah kemampuan panitia mendatangkan sejumlah narasumber dan peserta urang keturunan Banjar dari luar daerah bahkan dari Malaysia, yang tentunya tampil dengan cirikhasnya yang kental. Satu hal lagi, ternyata urang Banjar di perantauan banyak yang sukses, baik sebagai ulama, pejabat pemerintah, cendikiawan dan ilmuwan dan tentunya juga pengusaha. Menurut Zulkarnain Asmawi, narasumber asal Johor Malaysia, perantau Banjar di Malaysia rata-rata hidup sejahtera dan berada dalam kelas menengah atas.
Urang Banjar, walaupun berada di perantauan, ternyata juga tetap memiliki komitmen untuk menjaga kebudayaannya sendiri, minimal dalam keluarga dan komunitasnya. Baik mereka berasal dari subsuku Kelua, Amuntai, Barabai, Kandangan dll, komitmen berbudaya Banjar cukup terjaga.
Bahkan menurut alm Prof Dr Mohamed Saleh Lamry, akademisi Universiti Kebangsaan Malaysia yang kakeknya berasal dari Pajukungan Barabai, di sana beberapa kuliner Banjar, seperti wadai kiping (urang Banjar menyebutnya hintalu karuang) masih menjadi makanan khas. Hal ini dapat dimaklumi, karena sebagai kelompok minoritas di perantauan biasanya orang berusaha menjaga identitasnya, meskipun dalam banyak hal tentu harus terjadi asimilasi dan akulturasi.
Degradasi Budaya
Di tengah beberapa kebanggaan ini kita tentu tidak boleh menutup mata terhadap terjadinya degradasi (kemerosotan) budaya Banjar justru di tanah Banjar sendiri. Antropolog Kluckhohn dalam Universal Categories of Cultural, seperti dikutip sosiolog Soerjono Soekanto (1990: 192-3) menyebut tujuh unsur budaya yang penting, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan dan kekerabatan, bahasa lisan dan tulisan, kesenian, sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan.
Tentu terlalu luas jika semua unsur ini dikupas semuanya, namun coba singgung beberapa di antaranya. Peralatan dan perlengkapan hidup urang Banjar sudah lama tercerabut dari akar budayanya. Banyak yang lebih senang menggunakan alat produk luar negeri ketimbang produk daerahnya sendiri. Peralatan dapur produk Daha Negara HSS bagi sebagian besar orang Banjar tidak lagi ditengok. Rumah berarsitektur Banjar sudah semakin jarang dibangun untuk pribadi, kecuali sebatas kantor pemerintah. Rumah-rumah Banjar yang ada semakin tidak terpelihara dan terancam punah termakan zaman. Lebih-lebih sarana transportasi, urang Banjar sangat gandrung pakai sepeda motor dan mobil, dua produk yang nilai jualnya di Kalsel sangat tinggi melebihi daerah lain. Biar beli kredit bagi urang Banjar tak mengapa. Gengsi mereka dalam hal satu ini cenderung tinggi. Nyaris pula semua urang Banjar, kecuali bayi baru lahir, pakai HP, padahal urusan komunikasinya tidak penting-penting amat.
Mata pencaharian agraris dan beternak juga tergerus oleh zaman. Banyak yang menganggap pekerjaan bertani terlalu ndeso, lalu mencoba beralih profesi. Hal ini diperparah lahan pertanian di perdesaan banyak terkontaminasi dampak pertambangan, banjir serta musim yang tidak lagi bersahabat. Perdagangan masih bertahan, tapi cenderung kalah dari pengusaha luar. Ingin untung cepat dan lemah dari sisi kualitas dan pelayanan pra dan purna jual sering membuat pedagang Banjar kalah bersaing.
Sistem kemasyarakatan dan kekerabatan mulai luntur. Urang Banjar yang kaya cenderung membangun kelompok elitnya sendiri. Keluarga dekat, jika miskin cenderung dijauhi dan dilupakan. Sistem hukum berupa norma-norma susila banyak diabaikan. Urang Banjar lebih silau dan cenderung meniru budaya luar daripada mempertahankan budayanya sendiri.
Bahasa lisan Banjar juga semakin merosot, karena pengaruh pergaulan. Bahasa daerah Banjar dengan beberapa dialek dan subdialeknya hanya terasa di perdesaan, sedangkan di perkotaan cenderung hilang. Bahasa tulisannya juga kurang, sebab urang Banjar kurang terbiasa menulis. Hal ini berakibat banyak cerita, sejarah dan warisan budaya itu sendiri punah dan sulit dicari referensinya karena hanya diwariskan melalui tradisi oral.
Kesenian Banjar juga banyak terdesak oleh seni luar Banjar. Beberapa ragam kesenian Banjar hanya disajikan dalam upacara-upacara kedaerahan dan itu pun biasanya hanya diprakarsai oleh pemerintah daerah saja. Masyarakat semakin melupakannya. Anak-anak dan remaja lebih hafal lagu dangdut dan pop ketimbang lagu daerahnya sendiri.
Pengetahuan (dan teknologi) urang Banjar bergerak lambat. Hal ini karena penghargaan urang Banjar terhadap pengetahuan dan orang yang berilmu rendah. Mereka lebih bangga memiliki harta daripada punya anak berpendidikan. Menyekolahkan/menguliahkan anak setinggi mungkin belum menjadi pilihan, karena harus bermodal besar, sementara hasilnya belum tentu. Kalau pun mereka mau menyekolahkan/menguliahkan anak, motivasinya lebih kepada ingin menjadi pegawai, ingin cepat bekerja, bukan untuk menuntut ilmu. Itu sebabnya masih banyak jabatan penting dan strategis di daerah tidak dijabat oleh urang banua.
Kehidupan beragama urang Banjar cukup mantap, tetapi lebih pada aspek ubudiyahnya saja. Di segi kesalehan sosial masih kurang, begitu juga moralitasnya. Dr Mahyuddin Almudra dari Riau menyoroti Kota Banjarmasin yang cukup banyak terdapat tempat-tempat hiburan malam ketimbang beberapa kota besar lainnya. Pergaulan muda-mudinya cernderung permisif dan meniru gaya hidup Barat. Budaya malu dan taat pada petuah ulama dan orangtua sebagaimana diajarkan agama semakin menipis.
Upaya Bersama
Beberapa masalah budaya seperti sedikit dipaparkan di atas tentu perlu dijadikan PR sesama warga Banjar, baik di Kalimantan Selatan, maupun di perantauan. Sukses warga Banjar di seberang pulau melestarikan budayanya, seharusnya mengilhami urang Banjar di banua agar lebih memiliki dan menyintai budayanya sendiri. Berdirinya Kesultanan Banjar dalam beberapa tahun terakhir kita harapkan dapat menggali, mempertahankan dan mengembangkan budaya Banjar agar eksis kembali.
Di antara rekomendasi Kongres, seperti disampaikan Ketua Panitia alm Drs H Syarifuddin R, adalah dibentuknya badan kontak bubuhan Banjar. Kerjasama begini sangat dibutuhkan, supaya antara urang Banjar di banua dengan yang di perantauan dapat membangun sinergi. Sinergisitas perlu dibangun karena selama ini migran asal Banjar cenderung lupa kacang akan kulitnya, artinya mereka madam secara permanen. Jarang bahkan hampir tidak pernah pulang ke banua asalnya. Mungkin karena sanak keluarganya semua sudah hidup di perantauan, atau mereka menjunjung prinsip ”di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Berbeda dengan perantau dari Jawa, Sumatra, mereka masih pulang ke daerah asalnya secara rutin.
Disarankan agar ke depan para migran asal Banjar dapat lebih sering datang ke banua Banjar, meskipun mereka sendiri lahir di rantau orang. Bagi yang mapan akan lebih baik juga berinvestasi di banua Banjar, sebab selama ini para investor di daerah ini umumnya bukan urang Banjar. Dengan begitu ada kontribusi mereka secara ekonomi. Menyintai budaya Banjar tidak sekadar berbahasa Banjar dalam keluarga dan komunitas, tetapi kalau bisa juga memberi kontribusi untuk kesejahteraan banua. Salam untuk semua peserta Kongres, semoga selamat pulang ke kampung halaman masing-masing.