Oleh : Ahmad Barjie B
Menulis beberapa buku sejarah dan budaya Banjar
Orang yang pas bercerita tentang derita di masa penjajahan, khususnya di banua Banjar ini, tentunya para orangtua, datu nenek kita, karena merekalah yang mengalaminya. Namun karena umumnya sudah meninggal, kita mencoba memaparkannya kembali, berdasarkan cerita, wawancara, dan bahan bacaan yang kita pelajari.
Bersamaan dengan tekanan fisik dan sosial ekonomi (kerja paksa, pajak dll), orang Banjar yang terjajah juga menjalani kehidupan yang rendah dan terhina. Seperti diketahui Belanda membagi penduduk menjadi tiga kelas, yaitu golongan Eropa (termasuk Belanda sendiri dan juga Jepang) sebagai kelas tertinggi, golongan Timur Asing (Cina, India, Arab) sebagai kelas dua, sedangkan orang-orang pribumi sebagai kelas tiga (paling rendah). Masing-masing kelas itu merasa lebih tinggi, sehingga gampang menghina golongan lain dan karenanya kompleks kediaman mereka terpisah, kelas satu dan dua tinggal di kawasan elit, sedangkan kelas tiga di kawasan padat dan kumuh. Begitu juga tempat pendidikan, belanja, bioskop atau tempat rekreasi dan prasarana kehidupan mereka, dibedakan dengan pribumi.
Pengalaman MP Lambut
Menurut pengakuan Prof Melkianus Paul Lambut (kelahiran Kapuas 5 Desember 1931), meskipun ia sudah beragama Kristen, namun oleh orang Belanda dilarang bergabung dengan gereja mereka, karena itulah orang-orang Dayak di Banjarmasin harus membangun gereja sendiri, yang tanah dan bangunannya dibantu oleh orang-orang Banjar muslim. Ketika dirinya ingin beribadah ke salah satu gereja di tengah kota (saat ini Gereja Maranatha Banjarmasin), ternyata ditolak oleh Belanda, karena dia seorang Dayak. “Kemudian orang Banjar, bukan hanya mengizinkan, tapi juga turut andil mendirikan gereja dan kantor dari gereja tersebut. Akhirnya berdiri pula gereja Dayak (kini Gereja Eben Ezer) di Jalan S Parman yang dulu bernama kampung Karistin,” ujar MP Lambut.
Orang Islam juga mengalami diskriminasi. Guru-guru agama Islam, guru-guru sekolah-sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid, dikenakan kewajiban menjalankan Ordonantie Heeren Diens berupa kerja paksa, rodi atau erakan serta pajak, sementara Belanda membebaskan pajak untuk para misionaris dan zending Kristen, para pengurus gereja dan para guru sekolah Kristen. Sekolah-sekolah Islam bukan hanya tidak dibantu biayanya, malah dicurigai, sementara sekolah-sekolah Kristen dibantu dan difasilitasi.
MP Lambut juga menceritakan peristiwa yang lebih lampau lagi, ketika masa kanak-kanak, orang Belanda pada 1946 membuat satu kawasan pemandian khusus bagi Belanda di Teluk Dalam Banjarmasin. “Pada kawasan tersebut ditulis “verboden voor honden en Dayaks”, anjing dan Dayak dilarang masuk. Tahukah Anda, siapa Dayak itu, Dayak itu adalah saya, kata MP Lambut dengan nada lirih. Tapi kemudian orang Banjar mengangkat kami dan sangat menghormati,” cerita Lambut lagi.
Jadi, di masa penjajahan itu kalangan pribumi dilarang untuk memasuki kawasan mereka yang dianggap elit dan terhormat. Ada kalanya ditulis papan larangan yang berbunyi: Verboden toegang voor inlanders en honden (dilarang masuk untuk orang pribumi dan anjing). Inlanders adalah sebutan untuk orang-orang pribumi dengan konotasi penghinaan atau merendahkan. Orang-orang pribumi dianggap sebagai bangsa yang bodoh, terdiri dari kuli-kuli (buruh kasar) dan kuli di antara bangsa-bangsa (een natie van koelies en koelies onder de naties).
Pengalaman Artum Artha
Penghargaan orang Belanda terhadap orang pribumi yang menjadi buruh kasar sangat rendah, bahkan lebih tinggi penghargaan terhadap anjing. Artum Artha mengisahkan pengalaman ayahnya sebagai berikut: Ayah saya di usia 17-an tahun dan masih bujangan pernah bekerja sebagai tukang kebun di rumah seorang tuan kontrolir Belanda di Kandangan. Suatu hari ayah saya dimarahi kontrolir karena terlambat menyiram tanaman di halaman rumahnya. Ayah saya protes, karena gaji ayah saya hanya f 2,74 (2 rupiah 74 sen) sebulan. Lalu ayah membandingkan dengan biaya anjing kontrolir Belanda itu yang seharinya mencapai 10 sen untuk membeli daging, telur dan roti sebagai makanannya. Tuan kontrolir marah, lalu meminta ayah saya berhenti. “Kamu orang kampung yang dungu. Pigi (pergi) saja, kamu saya pecat. Besok tidak masuk kerja lagi di sini. Mengerti?”. Ayah kemudian mengadu kepada opas kontrolir. Ternyata opas kontrolir memarahi ayah. Lalu ayah mengadu lagi kepada tuan kiai. Ternyata kiai pun turut membentak ayah, marah, bahkan lebih marah daripada opas kontrolir. Jadi ke mana lagi harus melapor”. (Artha, 1984: 26).
Hadhariyah M, Ketua Parindra (Partai Indonesia Raya) Cabang Banjarmasin ketika berbicara dalam rapat umum Parindra di Barabai menyatakan, polisi Belanda di Surabaya kalau menangkap dan mengurung anjing yang tidak pakai penning (tanda pengenal pemilik), setiap harinya akan memberi makan dengan nilai f 50, biaya ini nanti dikenakan kepada pemilik anjing yang lepas tersebut. Sementara biaya hidup rakyat Indonesia setiap orang hanya sebenggol (2,5 sen) sehari. Betapa rendahnya derajat, martabat hidup dan miskinnya rakyat Indonesia pribumi saat itu, yang dialami justru di tanah airnya sendiri. (Wajidi, 2013: 28-9), dari Hadhariyah M (1981: 9).
Pihak Belanda atau para tokoh yang pro kepada penjajah juga selalu merendahkan usaha-usaha perjuangan. Penulis pernah mendengar cerita dari H Lambran Ladjim (1926-2012), bahwa orang-orang yang mau berjuang untuk merdeka selalu direndahkan dan dipatahkan semangatnya: ”Barapa garang baisi urang pintar, barapa baisi duit, barapa baisi sanjata, berani-beraninya mau merdeka. Sudah serahkan kepada kami (Belanda) saja untuk mengurus negara, pasti lebih baik…”.
Artum Artha seorang tokoh Parindra di Kandangan juga biasa mendengar kalimat-kalimat pelecehan seperti itu. Antara tahun 1932-1932, ia pernah mengalami cercaan: ”Hai Tum, kalau mau merdeka, bikin dulu benang katon. Pandai jahit dengan jarum. Pandaikah membuat jarum sebilah dalam setahun. Nah, ayo coba-coba merdeka…”. Kali lain di tahun 1938, seorang kepala distrik (districthoofd) di Kandangan Kota berkata kepada Artum Artha. “Hai Tum. Kau serdadunya Parindra. Kapan Parindra merdeka, pabila ada pabrik jarum dan kain kaki drill. Sampai kiamat Belanda tidak menyuruh merdeka. Pikirkan. Lekas pulang. Laporkan kepada guru-guru politik…”. (Wajidi, 2013: 182).
Saking yakinnya akan kelanggengan penjajahan dan kegagalan usaha perjuangan kemerdekaan, Drs H Syarbaini Mastur (alm) pernah bercerita kepada penulis bahwa ada tokoh pro Belanda di Hulu Sungai yang berani bertaruh, “Akan menyerahkan lehernya untuk dipenggal, sekiranya Indonesia (Banjar) benar-benar merdeka”. Penulis lupa bertanya, apakah sesudah merdeka orang itu masih bersedia dipotong lehernya atau ada yang menagih taruhannya. Tapi biasanya orang seperti itu akan dimaafkan dengan harapan menginsyafi kesalahannya. Para tokoh pro Belanda itu biasanya adalah orang-orang pribumi yang diangkat sebagai pegawai Belanda, duduk dalam pemerintahan dalam negeri yang khusus diisi oleh orang pribumi (Ambtenaar Binnenlands Bestuur), sehingga kehidupan mereka lebih enak dan tidak merasakan penderitaan sebagaimana pribumi umumnya.