Oleh : Nancy Lynda Tigauw
DI UJUNG Indonesia utara, yang tersembunyi di antara gugusan pulau eksotis, terdapat sebuah desa kecil bernama Laotongan. Desa ini terletak di Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Laotongan memang bukan desa yang ramai, apalagi terkenal. Akan tetapi, keindahan alam dan ketenangan hidup warganya menjadikan tempat ini sebagai permata tersembunyi di antara laut biru dan gunung-gunung hijau yang memeluknya.
Di pagi hari, Matahari terbit perlahan di balik pegunungan, menyinari laut yang berkilauan. Warga Laotongan, sebagian besar nelayan dan petani, memulai hari mereka dengan kesederhanaan yang mengakar kuat pada tradisi.
Mereka berlayar dengan perahu-perahu kayu kecil ke lautan yang tenang, mencari ikan yang menjadi mata pencaharian utama warga desa ini.
Sementara itu, di sawah-sawah kecil yang terletak di dataran rendah, para petani menanam padi dan sayuran, mengandalkan tanah subur yang diberkahi oleh alam.
Namun, keindahan Laotongan tidak hanya terletak pada alamnya yang murni, tapi juga pada kebersamaan warganya. Di setiap rumah, suasana kekeluargaan dan gotong royong sangat terasa.
Ketika ada acara adat atau pesta panen, seluruh warga berkumpul di balai desa yang sederhana. Suara tawa dan nyanyian lagu tradisional menggema, sementara anak-anak berlarian di sekitar, bebas dan tanpa beban.
Laotongan memang terpencil, namun tidak terputus dari dunia luar. Meskipun untuk mencapai desa ini dibutuhkan perjalanan panjang, baik melalui laut maupun darat, para pengunjung yang datang selalu merasa bahwa setiap langkah yang ditempuh sepadan dengan apa yang mereka temukan.
Laut biru yang jernih, tebing-tebing karang yang megah, dan hutan tropis yang masih asli adalah pemandangan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Namun, di balik keindahan alamnya, Desa Laotongan juga menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Akses terhadap teknologi dan infrastruktur modern masih terbatas. Listrik, yang merupakan kebutuhan dasar di banyak tempat, belum sepenuhnya stabil di desa ini. Warga desa sering bergantung pada sumber energi fosil, seperti genset atau lampu minyak, untuk menerangi malam-malam mereka.
Meski begitu, kehidupan di Laotongan tetap berjalan dengan tenang. Setiap hari adalah perayaan kesederhanaan, seolah waktu melambat dan manusia kembali merasakan keindahan hidup yang murni.
Laotongan adalah desa yang mungkin belum tersentuh banyak oleh kemajuan zaman, tapi di dalam ketenangannya, tersimpan kekayaan hidup yang berharga: sebuah kisah tentang manusia dan alam yang hidup selaras.
Desa Laotongan, yang terletak di Kepulauan Sangihe, tidak memiliki akses listrik yang stabil seperti di kota-kota besar. Sebagai gantinya, desa ini bergantung pada sistem kelistrikan sederhana yang dipasok dari PLTS atap (rooftop) dan sebuah genset bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sangihe.
Pada siang hari, masyarakat menggunakan tenaga Matahari yang tersimpan di PLTS atap untuk menjalankan kebutuhan dasar. PLTS atap ini adalah teknologi awal yang menjadi penggerak listrik desa.
Namun, kapasitasnya terbatas, dan hanya bisa menghidupkan beberapa peralatan listrik. Penggunaan listrik harus diatur dengan cermat, sering kali masyarakat harus memilih antara menyalakan lampu atau mengisi daya telepon genggam.
Saat Matahari terbenam dan malam tiba, kehidupan menjadi semakin sunyi. Genset bantuan dari Pemerintah menjadi satu-satunya harapan.
Namun, operasional genset ini tergantung pada pasokan bahan bakar yang tidak selalu tersedia. Genset hanya dihidupkan beberapa jam pada malam hari untuk menghemat bahan bakar fosil itu.
Pada saat-saat itu, suasana desa menjadi lebih hidup dengan lampu-lampu yang menyala di rumah-rumah penduduk, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Setelah genset dimatikan, desa kembali sunyi dalam keremangan lampu minyak.
Anak-anak Desa Laotongan belajar di bawah cahaya redup lentera minyak, sementara ibu-ibu menyiapkan makan malam dalam kegelapan, berusaha mengingat di mana mereka meletakkan peralatan masak.
Kala lampu menyala, suara mesin genset yang menderu memecah kesunyian malam, menggantikan suara alam yang biasa mendominasi desa ini.
Dengan listrik yang terbatas, masyarakat harus bijak menggunakan sumber energi yang ada. Ketergantungan pada genset membuat mereka selalu waspada terhadap cuaca dan ketersediaan bahan bakar. Badai atau masalah pengiriman bisa menyebabkan keterlambatan pasokan BBM.
Namun, meski dengan segala keterbatasannya, masyarakat Desa Laotongan tetap tegar. Mereka bahu-membahu, saling berbagi solusi untuk hidup dalam keterbatasan.
Kabar terang
Hingga pada suatu hari, datanglah kabar bahwa sistem PLTS berbasis energi baru terbarukan (EBT) besar segera dibangun di desa mereka. Asa baru pun muncul.
Dengan adanya PLTS ramah lingkungan ini, masyarakat Desa Laotongan tidak hanya akan menikmati listrik yang lebih stabil dan terjangkau, tetapi juga merasakan terobosan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Akhir dari kegelapan yang selama ini menyelimuti malam-malam desa segera berakhir, sudah di depan mata.
Di tengah keramaian, berdiri sosok Kepala Desa Laotongan, Lomboris, dengan wajah yang penuh kebanggaan dan rasa syukur. Impian yang telah lama dinanti oleh masyarakat Laotongan akhirnya terwujud.
Peresmian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di desa mereka menjadi simbol dari perubahan besar yang akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi semua.
Saat tiba waktunya, Lomboris naik ke podium sederhana yang telah dipersiapkan. Suasana langsung hening, hanya terdengar angin lembut yang bertiup dari laut, dan deru ombak yang menghantam lembut pantai di kejauhan. Dengan suara mantap dan penuh perasaan, Lomboris mulai menyampaikan sambutannya.
Hari ini adalah hari yang sangat spesial bagi bagi warga Desa Laotongan. Setelah bertahun-tahun menunggu dan berharap, akhirnya desa ini kini memiliki sumber energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Kehadiran PLTS ini bukan hanya tentang listrik, tapi tentang masa depan yang lebih baik untuk anak-anak kita,” ujarnya.
Lomboris mengungkapkan apresiasinya kepada PLN dan pihak-pihak yang telah bekerja keras dalam mewujudkan proyek ini. Baginya, PLTS ini lebih dari sekadar proyek infrastruktur. Realisasi PLTS ini adalah jawaban atas harapan warga Laotongan yang telah lama mendambakan akses listrik yang stabil dan berkelanjutan.
Dukungan terhadap pembangunan infrastruktur energi terbarukan ini memiliki dampak yang besar bagi masyarakat.
Dengan adanya PLTS, Lomboris yakin bahwa Desa Laotongan akan mengalami kebangkitan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Warga desa bisa mengembangkan usaha kecil, meningkatkan produktivitas pertanian, bahkan mengundang lebih banyak wisatawan untuk datang dan menikmati keindahan alam Laotongan.
PLTS ini dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Ini memang bukan hanya ihwal kenyamanan listrik, tetapi tentang kesempatan untuk maju, untuk berkembang, dan untuk meraih impian yang lebih besar.
Masyarakat Desa Laotongan kini menikmati listrik bersih dari PLTS PLN dengan daya 180 kWp. Melalui upaya ini, PLN mampu memasok listrik bersih untuk sekitar 100 rumah tangga di Desa Laotongan.
General Manager PLN UID Suluttenggo, Atmoko Basuki, berdiri dengan senyum kebanggaan. Di hadapannya, para warga menanti kata-kata yang akan ia sampaikan, mengingat hari ini adalah awal dari perubahan besar bagi desa kecil mereka.
Dengan langkah mantap, Atmoko memulai sambutannya. “Saudara-saudara sekalian, hari ini menyaksikan wujud nyata dari komitmen PLN untuk mendukung transisi energi di wilayah ini. PLTS ini bukan hanya tentang energi bersih dan terjangkau, tapi juga tentang komitmen menggerakkan roda perekonomian masyarakat di Desa Laotongan,” katanya.
Harapan PLN kepada seluruh masyarakat Desa Laotongan, adalah agar bersama-sama menjaga infrastruktur yang ada, mulai dari pusat pembangkit, tiang, hingga kabel.
Karena, semua peralatan itu milik bersama maka harus dirawat dan dipelihara dengan baik, agar PLTS ini bisa beroperasi lebih lama, atau bahkan selama-lamanya.
PLTS ini merupakan investasi bagi masa depan desa sehingga hanya dengan kerja sama semua pihak, keberlangsungan operasinya bisa terjamin.
PLN berharap PLTS ini bisa membawa manfaat besar bagi kehidupan sehari-hari. Akan tetapi juga perlu diingat bahwa listrik bisa berbahaya jika tidak tepat memperlakukannya. Oleh karena itu, warga harus menggunakan dengan bijak, dan harus memastikan keselamatan selalu menjadi prioritas.
Manager PLN UP3 Tahuna Fauzan menyampaikan betapa penting kerja sama dalam mewujudkan proyek PLTS ini.
“Ini adalah bagian dari tugas kami di PLN, untuk ikut serta dalam menyejahterakan masyarakat. Listrik adalah hak bagi semua, dan kami berkomitmen untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di desa-desa terpencil seperti Laotongan, bisa merasakan manfaatnya,” ujarnya
Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe Gregorius D. Londo menyatakan peristiwa tersebut bukan sekadar peresmian infrastruktur, melainkan momen yang penuh makna bagi seluruh masyarakat Laotongan.
Listrik ini akan memberikan penerangan, mendukung berbagai aktivitas, dan tentunya mendorong perekonomian desa.
Pariwisata pun akan terdorong, mengingat Laotongan memiliki keindahan alam yang luar biasa, namun selama ini tersembunyi karena keterbatasan akses listrik.
Cahaya terang yang dipancarkan PLTS itu menorehkan optimisme warga Desa Laotongan dalam membangun masa depan yang lebih hijau dan sejahtera. (Antara/Tim Kalimantanpost.com)
foto
– General Manager PLN UID Suluttenggo, Atmoko Basuki, tanda tangani prasasti PLTS Laotongan UP3 Tahuna di Desa Laotongan, Kabupaten Kepulauan Sangihe (10/9/2024). (Antara/Repro PLN)