PALANGKA RAYA, Kalimantanpost.com – Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India dengan estimasi kasus tuberkulosis (TBC) sebesar 1.060.000 kasus atau 385 per 100.000 penduduk, serta angka mortalitas mencapai 141.000 atau 51 per 100.000 penduduk.
“Dengan hal ini, Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kalteng, Sayuti Syamsul pada Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi dengan BPJS Kesehatan Mencakup Isu Validasi Data, Mekanisme Pembayaran Performance-Based dan Isu lainnya di Kalteng, di Palangka Raya, Senin (23/9/2024).
Ditambahkan, masalah TBC tidak hanya di Kalteng, tetapi juga di seluruh Indonesia, sehingga diperlukan adanya langkah konkret dan terkoordinasi dalam penanganan TBC di Indonesia.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diberlakukan sejak 1 Januari 2014 berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), merupakan bentuk perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan sistem JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan memastikan bahwa pelayanan kesehatan dan pembiayaan tersinkronisasi dalam kerangka kendali mutu dan biaya, menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang efisien.
“Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan untuk Tuberkulosis ditanggung dalam program JKN dan masuk dalam skema pembiayaan kapitasi maupun INA-CBGs, sementara pembiayaan obat ditanggung oleh program tersendiri,” terangnya.
Ia menambahkan, berdasarkan Perpres 67 Tahun 2021, setiap pasien TBC yang berobat di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) harus memiliki Nomor Register pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum klaimnya dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
Pada 2022, telah dilaksanakan pemadanan data tingkat pusat antara BPJS dan SITB. Berdasarkan hasil pemadanan data tersebut, ditemukan gap sekitar 87.483 kasus ternotifikasi TBC yang tercatat di BPJS namun tidak tercatat di SITB.
Kasus tersebut berpotensi menjadi tambahan notifikasi di 2022, sehingga perlu dikonfirmasi dan ditelusuri lebih lanjut oleh faskes agar dapat diinput di SITB.
Kegiatan monitoring, evaluasi dan validasi data bersama BPJS ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa setiap pasien TBC terlayani dengan baik dan sesuai standar.
Dengan validasi yang tepat, diharapkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan program TBC dapat ditingkatkan. Implementasi nomor register pasien di SITB (Sistem Informasi Tuberkulosis). Selain itu juga akan membantu dalam pelacakan dan pemantauan yang lebih baik terhadap pasien TBC, meningkatkan akurasi data dan keberhasilan pengobatan.
Disebutkan, kegiatan monitoring dan evaluasi ini diharapkan dapat mengidentifikasi berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program TBC, serta mencari solusi bersama untuk mengatasinya.
“Mari kita jadikan momentum ini sebagai titik tolak untuk memperkuat komitmen dan kerja sama dalam penanggulangan TBC. Dengan demikian, kita dapat mencapai target yang telah ditetapkan dan mewujudkan komitmen Indonesia bebas TBC pada tahun 2050 serta percepatan eliminasi TBC pada tahun 2030,” ajak Suyuti. (drt/KPO-4).