Oleh : Ahmad Barjie B
Suatu bangsa bertahan karena akhlaknya.
Kebesaran bangsa dikenal melalui sejarahnya.
Akhir November 2017 Negara Brunei Darussalam dalam hal ini Pusat Sejarah Brunei Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, mengadakan Seminar Kajian Manuskrip Borneo 2017 di ibukota Bandar Seri Begawan. Puluhan narasumber dihadirkan untuk membentangkan kertas kerja (makalah) dari empat negara, yaitu Brunei Darussalam sebagai tuan rumah, kemudian perwakilan dari Malaysia, United Kingdom (Inggris) dan Indonesia. Beberapa pengkaji sejarah dan budaya Banjar dari Banjarmasin juga diundang, yaitu DCH Taufik Arbain, Setia Budhi, Nasrullah Mahyuni, M Adriani Yulizar, penulis dan Safriah Sahlan.
Di antara topik yang dibahas adalah perihal artefak, situs-situs sejarah dan peninggalan arkeologis, surat-surat perjanjian antarnegara di masa lalu, eksistensi Kesultanan-kesultanan Borneo, kuasa politik dan sosial ekonomi, relasi agama dan budaya, hubungan para ulama dan tokoh dakwah, perkembangan Islam di kawasan, sains dan teknologi, seni dan bahasa, dan banyak hal terkait masa lalu.
Tema besar yang diusung “Memelihara Warisan Sejarah”. Kesultanan Brunei ingin agar semua bangsa dan negara di Asia Tenggara, khususnya di kawasan Borneo tidak melupakan sejarah masa lalunya. Kehidupan masa kini yang pada saatnya nanti juga akan menjadi sejarah, harus tetap bersambung dengan sejarah masa lalu. Globalisasi akibat modernisasi, informasi dan komunikasi tidak harus menjadikan masyarakat kehilangan identitas kebangsaan dan kedaerahannya. Semua memiliki nilai-nilai kearifan dan keunggulan yang penting diketahui dan diwariskan kepada generasi kemudian.
Miskin Manuskrip
Menurut Kamus Besar, manuskrip artinya naskah tulisan tangan, baik dengan pena, pensil maupun diketik, bukan cetakan, yang masih tersimpan di museum dan tempat lain dan belum pernah diselidiki. Manuskrip tersebut menceritakan perihal penting yang terjadi ratusan tahun silam.
Terkait masyarakat Borneo khususnya Banjarmasin, kita merasakan betapa yang namanya manuskrip sangat minim. Artinya kita punya banyak kejadian penting di masa ratusan tahun silam, tetapi manuskripnya tidak ada. Akibatnya yang diketahui hanya dari mulut ke mulut, yang tentu saja sangat berbeda versinya bahkan kontroversial.
Sebagai contoh pada pertemuan para pengkaji sejarah dan budaya Banjar dengan Walikota Banjarmasin Ibnu Sina bersama Prof Theo, pakar tata kota dan pariwisata dari Belanda di Menara Pandang Siring Tendean beberapa tahun lalu, Ibnu Sina mengatakan, pihaknya belum tahu persis di mana sebenarnya lokasi pertempuran antara Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) dengan pamannya Pangeran Tumenggung, dan di mana titik keduanya melakukan perang tanding untuk menyelesaikan peperangan yang berlarut. Juga tidak diketahui persis di mana lokasi Keraton Kesultanan Banjar dan perumahan para bangsawannya serta benteng-benteng lain selain Benteng Tatas. Posisi Monumen Perang Banjar yang dahulunya berdiri dekat Benteng Tatas juga tidak diketahui persis karena sudah dihancurkan dan tidak dibuat lagi monumen barunya.
Kesulitan untuk mengetahui semua ini tentu karena kurangnya artefak, situs dan manuskrip terkait. Orang-orang kita dahulu seolah ingin menghapus jejak sejarah, sehingga ketika merdeka hal-hal yang berbau atau peninggalan kolonial dimusnahkan, padahal semua itu penting untuk khazanah kesejarahan dan pengetahuan ke depan. Sekiranya diketahui, tentu bisa dibikinkan monumen kembali, prasasti atau minimal relief untuk mengingatkan masyarakat dan generasi akan datang.
Miskinnya manskrip juga berakibat cerita-cerita sejarah menjadi kontroversial. Sebagai contoh cerita masuk Islamnya Sultan Suriansyah yang selama ini dipahami sebagai pemenuhan syarat mendapatkan bantuan tentara dan logistik dari Kesultanan Demak, sebab dalam peperangan itu Sultan Suriansyah sempat terdesak dan Banjar sedang paceklik akibat perang. Gt Abdul Muis (alm) dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan 1982 silam menolak anggapan seperti itu. Menurutnya Sultan Suriansyah masuk Islam dengan sadar dan sukarela, bukan ingin mendapatkan bantuan Demak. Buktinya beliau dan keturunannya menjadi penguasa yang taat. Demak saat itu sedang kuat dan memang ingin membantu Banjar guna memperluas dakwah Islam dan pengaruhnya di Nusantara sekaligus membangun koalisi membendung Portugis.
Buya Hamka dalam seminar yang sama juga menolak keislaman Banjar terlalu dikaitkan dengan Demak. Hamka justru mengaitkannya dengan Melayu-Sumatera. Kontroversi begini disebabkan tidak adanya manuskrip surat perjanjian kedua pihak, baik surat Sultan Suriansyah maupun surat balasan dari Sultan Demak yang pakai kop surat resmi dan stempel. Yang ada hanya rekaan surat dan kalimat yang dibuat belakangan.
Permindahan ibukota Provinsi Kalimantan (selatan) dari Banjarmasin ke Banjarbaru, menurut MP Lambut semangatnya juga untuk menghapus jejak penjajah, karena Kota Banjarmasin dianggap warisan Belanda. Akhirnya beberapa jejak sejarah di kota ini nyaris hilang.
Manuskrip Belanda
Selama ini banyak peneliti sejarah dan budaya dari Indonesia dan Banjar seperti alm Idwar Saleh, alm Alfani Daud, alm Abdurrahman, alm Yanuar Ikbar, harus melakukan kajian ke negeri Belanda. Mengkaji negara dan daerah sendiri ke negeri lain tentu hal yang aneh, tetapi hal itu terjadi disebabkan keunggulan Belanda dalam hal memelihara manuskrip. Menurut Prof Dr Mujiburrahman, Belanda sangat rapi dan cermat menyimpan naskah-naskah kuno, semua terpelihara utuh, mudah didapat dan aman dari kerusakan.
Hal ini diakui pula oleh Prof Dr Titiek Pujiastuti dan Dr Mu’jizah, dua pemakalah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), yang lama melakukan penelitian di Belanda. Bahkan disertasi Dr Mu’jizah fokus mengkaji manuskrip Banjar karena banyak tersedia di sana. Menurutnya, Belanda adalah negara nomor satu dalam urusan memelihara manuskrip, disusul Inggris dan Jerman.
Kecermatan dan kerapian Belanda dalam mengamankan manuskrip, terlihat misalnya dari kumpulan “Surat-surat Perdjanjian Antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahan2 VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. Kumpulan manuskrip yang diterbitkan Arsip Nasional 1965 tersebut menunjukkan Belanda memiliki dan menyimpan dengan rapi surat-surat perjanjian yang mereka buat dengan Kesultanan Banjar maupun pihak lain, sejak 1635-1860 ketika Kesultanan Banjar dihapuskan secara sepihak oleh Belanda. Itu artinya surat-surat yang dibuat sejak 400-an tahun silam masih ada dan dapat diketahui di masa sekarang. Bandingkan dengan kita, surat-surat berharga puluhan tahun lalu saja banyak yang rusak.
Negara dan daerah kita tidak memiliki hal yang sama. Jangankan urusan negara dan daerah, urusan pribadi seperti jual beli tanah saja, banyak kita tidak punya surat-menyuratnya. Kita hanya mengandalkan perjanjian dari mulut ke mulut dan saling percaya saja, padahal kita gampang lupa, dan pasti mati. Tak heran banyak masalah di kemudian hari. Jadi, meski terlambat, mari mengamankan manuskrip dan arsip penting yang tersisa dan berusaha mencatat semua peristiwa. Kalau masyarakat punya manuskrip, atau benda-benda bersejarah yang kira ragu-ragu memeliharanya, alangkah baiknya dipercayakan kepada Museum Banjarmasin untuk merawatnya, mumpung kita sudah punya museum, yang baru saja diresmikan Walikota Ibnu Sina Maret 2023 lalu. Selain dijamin aman, juga bermanfaat sebagai edukasi sejarah bagi masyarakat.