Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Ekonomi
Indonesia merdeka pada dasarnya ingin hidup bebas dari tekanan politik dan ekonomi, termasuk dalam hal ini pajak. Penjajah terkenal dengan aneka pungutan pajaknya yang sangat memberatkan rakyat dan tidak sedikit menimbulkan protes dan perlawanan.
Pajak saat itu sangat memberatkan karena pemerintah Belanda menggunakan sistem pemungutan yang disebut Collecteloon, pembakal ditugaskan memungut pajak kepada warga di desanya masing-masing yang besar kecilnya ditentukan pemerintah Belanda melalui Commissie Aanslog. Setiap penduduk yang terkena wajib pajak harus menyetorkan pajaknya kepada pembakal, atau pembakal yang memungutnya, ditambah 0,75 gulden sebagai penghasilan pembakal.
Kumpulan pajak diserahkan oleh pembakal kepada kiai, dan kemudian kiai menyerahkan lagi kepada atasannya untuk dimasukkan ke kas negara. Dari sinilah pembakal yang dibantu oleh para pangerak (semacam Ketua RT) akan melakukan tekanan keras kepada penduduk wajib pajak, adakalanya lebih keras daripada petugas Belanda sendiri, agar banyak pajak terkumpul sesuai jumlah penduduk wajib pajak dan nilainya. Semakin banyak terkumpul, semakin besar penghasilan pembakal dan para pembantunya (Syamsuddin, 1970).
Pembakal saat itu tidak disyaratkan pintar atau pandai berpidato misalnya, bahkan buta huruf Latin pun boleh. Yang penting mereka berani dan dikenal jagoan di kampungnya, sehingga disegani dan ditakuti rakyatnya. Syarat lainnya, mereka loyal kepada atasan. Pembakal atau pembantunya yang dikenal jagoan di kampung tersebut masih kita rasakan hingga era 1970-an. Rakyat yang takut sedapat mungkin berusaha agar bisa membayar pajak tepat waktu dan sesuai hitungan, sebab kalau tidak mereka akan terkena risiko yang lebih berat lagi. Beban pajak itu dirasakan berat, apalagi saat itu mencari uang susah dan tidak semua lahan sawah dan kebun menghasilkan.
Usaha Meringankan Pajak
Para tokoh dan organisasi pergerakan sangat prihatin dengan beratnya beban pajak tersebut. Usaha meringankan pajak yang membebani rakyat dilakukan melalui jalur politik. Kongres Serikat Islam di Banjarmasin tanggal 14-16 April 1923 mengeluarkan Mosi Kongres yang isinya antara lain meminta kepada pemerintah Belanda agar menghapuskan dan meringankan sejumlah pajak yang sangat memberatkan penduduk, sebagai berikut:
Menuntut pemerintah Hindia Belanda supaya membebaskan guru-guru agama, guru-guru sekolah-sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dari kewajiban menjalankan Ordonantie Heeren Diens menyangkut kerja paksa, rodi atau erakan, sebagaimana pemerintah Hindia Belanda membebaskan pajak untuk guru-guru sekolah Belanda; Menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda menghapuskan atau meringankan pungutan 30% pajak penghasilan (inkomstenbelasting), juga 10% opcenten gemeenteraad yang memberatkan bagi rakyat; Memperjuangkan adanya Lid Commissie Aanslag yang dipilih dari orang-orang kampung sendiri yang mengetahui perikehidupan di kampung sehingga besaran pajak tidak pukul rata, tetapi disesuaikan dengan kemampuan warga; Mengharapkan agar dihapuskannya bea invoerrecten (bea impor) 8% untuk tanaman rotan, sebab untuk tanaman ini sudah dikenakan pajak pendapatan, tuntutan ini terutama untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sebagai penghasil rotan terbesar di Kalimantan; Mengharapkan dihapuskannya slachtbelasting (pajak penjegalan atau penyembelihan hewan); Memperjuangkan dihapuskannya landrente (pajak tanah/kebun) yang rusak atau tidak produktif lagi, dan hanya tanah/kebun yang menghasilkan saja yang terkena pajak; Menuntut dihapuskannya pungutan 2% dari uang yang dibawa pergi haji, karena pungutan ini dianggap tidak sah dan tidak jelas penggolongan pajaknya (Wajidi, 2013).
Partai Ekonomi Kalimantan (PEK) yang dipimpin Anang Acil Kusuma Wiranegara tahun 1930-an meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghapuskan pajak, terutama bagi penduduk berusia 50 tahun ke atas yang tidak kuat lagi bekerja, serta yang berusia di bawah 18 tahun yang belum bisa bekerja. Usaha yang dilakukan oleh PEK ini cukup berhasil, Artum Artha dkk sebagai pengurus PEK ketika itu selalu berusaha membela rakyat kecil tanpa bayaran, sehingga organisasi ini cukup populer dan disukai rakyat, terutama di daerah-daerah Hulu Sungai.
Sebelum adanya PEK, rakyat cukup menderita karena: Tiap orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang kebun dipungut pajaknya masing-masing f 0,75 dan f 0,50 setiap tahun; Tiap orang tua berusia 50-55 tahun dikenakan pajak kepala f 0,50 setiap tahun, begitu juga orang dewasa berumur 18 tahun ke atas. Kalau usianya di bawah 18 tahun jika sudah kawin juga dikenakan pajak yang sama. Akibatnya dalam satu keluarga ada sejumlah orang yang terkena pajak yang sama, sehingga sangat memberatkan (Wajidi, 2013).
Optimalkan Hasil SDA
Sesudah merdeka seharusnya pajak tidak lagi membebani. Namun kenyataannya, sekarang pemerintah sangat kreatif untuk menarik berbagai macam pajak dari masyarakat. Boleh dikatakan masyarakat bawah sampai atas dikenai pajak yang memberatkan. Kepemilikan tanah/rumah, kendaraan bermotor, transaksi jual beli dan sebagainya, semua kena pajak. Jelasnya baik perorangan maupun badan usaha ada jenis-jenis pajaknya. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, lama-kelamaan rumah-rumah para pendiri negara akan terjual, karena ahli warisnya tidak sanggup lagi membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun.
Memang dimemaklumi, pajak merupakan penghasilan negara/daerah untuk membiayai pembangunan. Ada pajak daerah, pajak reklame, pajak sarang burung walet, PBBP2 (Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Perdesaan), BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan), PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) yang terdiri dari pajak hotel, rumah makan/restoran, tempat hiburan, penerangan jalan umum dan parkir.
Pengacara dan pengusaha hiburan, seperti Hotman Paris Hutapea dan Inul Daratista pernah menyebut pajak hiburan yang dikenakan di atas 50 persen sebagai gila-gilaan. Mereka yang bergerak di dunia penerbitan buku pun mengeluh. Tere Liye merasa aneh karena penghasilannya dari menulis buku dikenakan pajak hingga 15 persen. Begitu juga para narasumber terkena pajak antara 5-15 persen. Padahal di luar negeri hal-hal yang berkaitan dengan ilmu bebas ajak, no tax for knowledge.
Pajak yang beraneka ragam dan cenderung terus naik tentu akan menjadikan ekonomi biaya tinggi. Kehidupan masyarakat akan semakin berat, dan yang mengelola usaha juga semakin sulit mendapatkan margin keuntungan yang memadai.
Sebagai negara yang sangat banyak memiliki kekayaan SDA seperti migas, batubara, nikel, emas, tembaga, timah, dan segala macam, seharusnya negara kita bebas pajak atau hanya dikenai pajak yang ringan. Sebab kekayaan SDA itu sekiranya dikelola langsung oleh negara (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), dapat mendatangkan penghasilan yang luar biasa besar, dapat membiaya pembangunan tanpa perlu utang luar negeri, dan mencari-cari investor. Dari sektor batubara saja menurut Mahfud MD mampu menggaji seluruh rakyat tanpa kecuali Rp 20 juta perorang perbulan. Kalau ingin negara kita makmur, pengelolaan kekayaan negara ini harus ditata ulang. Tidak ada sejarahnya sebuah negara sejahtera dengan menyerahkan SDA kepada pihak swasta dan asing. Wallahu A’lam.