Oleh: Ahmad Barjie B
Penerima Baiman Award Harijadi Kota Banjarmasin 2024
Kategori Edukasi Sejarah dan Budaya Banjar
Bagi orang-orang yang melangsungkan perkawinan selama ini kita ucapkan selamat, semoga berbahagia dan tuntung pandang, semoga dapat membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sampai beranak cucu. Memperoleh keturunan yang saleh dan salehah. Dan bagi kedua belah pihak orangtuanya kita ucapkan selamat ngunduh mantu dan memperluas keluarganya.
Istilah sakinah, mawaddah wa rahmah (jangan diucapkan dan wa rahmah, atau war-rahmah) semakin sering kita dengar, baik sewaktu acara akad nikah maupun resepsi perkawinan. Dan sebaiknya jangan disingkat samawa, kurang berpahala, masa mendoakan saja disingkat. Kalua samawa berarti hanya sampai dan. Sakinah dalam bahasa Arab artinya tenang, tenteram, mawaddah artinya saling menyintai (secara fisik) dan rahmah (saling mengasihi atau menyayangi (secara nonfisik). Paduan ketiganya akan menghasilkan kebahagiaan.
Orang sekarang sering menyertakan bahagia dan sejahtera. Bahagia lebih bersifat batin, yaitu terpenuhinya nafkah batin seperti rasa cinta dan kasih sayang antarpasangan. Sedangkan sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan materi, yaitu pangan, sandang dan tempat tinggal. Kedua kebutuhan ini saling melengkapi, terpenuhinya kebutuhan materi akan melengkapi kebahagiaan. Tetapi semua ini relatif, tidak bersifat mutlak, dalam arti ada pasangan suami istri yang merasa cukup berbahagia walaupun materinya serba terbatas, sementara ada pasangan yang materinya berlebihan tapi tidak bahagia.
Tari Radap Rahayu
Terkait perkawinan, terutama di kalangan bangsawan, pengusaha dan pejabat, sering disertai adanya persembahan kesenian sinoman hadrah dan tari radap rahayu menyambut penganten. Berarti ada akulturasi seni budaya antara kesenian yang bernuansa Islam dengan kesenian yang tumbuh sebelumnya. Akulturasi demikian perlu dipertahankan dan dikembangkan ke depan, karena itu semua termasuk bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Jika mengamati sejumlah acara perkawinan di gedung bundar atau gedung lainnya, pagelaran tari radap atau aneka tari dan kesenian lainnya akhir-akhir ini cukup sering ditampilkan. Fenomena ini patut kita apresiasi dan cermati lebih jauh.
Tari radap rahayu termasuk salah satu tarian klasik Banjar. Menurut penyair- budayawan Arsyad Indradi, asal muasal tari Radap Rahayu adalah ketika Kapal Prabu Yaksa (Prabayaksa) yang ditumpangi Patih Lambung Mangkurat yang pulang lawatan dari Kerajaan Majapahit, ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai Barito, kapal kandas di tengah jalan. Perahu oleng dan nyaris terbalik. Patih Lambung Mangkurat (kala itu masih zaman Hindu) lalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kapal dapat diselamatkan. Tak lama kemudian dari angkasa turun tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-radap. Akhirnya kapal stabil dan tujuh bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Kapal melanjutkan pulang ke Kerajaan Negara Dwipa. Dari cerita ini lahirlah Tari Radap Rahayu.
Tarian ini terkenal di Kerajaan Banjar karena dipentaskan setiap acara penobatan raja serta pembesar kerajaan dan juga sebagai tarian penyambut tamu kehormatan yang datang ke Banua Banjar, upacara perkawinan, dll. Jumlah penari Radap Rahayu selalu menunjukkan bilangan ganjil: 1, 3, 5, 7 dst. Tata Busana baju layang, hiasan rambut untaian kembang bogam, selendang melukiskan seorang bidadari, disertai cupu sebagai tempat beras kuning dan bunga rampai.
Seiring lenyapnya Kerajaan Negara Dipa, lenyap juga Tari Radap Rahayu. Tarian tersebut kembali digubah oleh Kerajaan Banjar, namun terlupakan lagi ketika berkecamuknya Perang Banjar mengusir penjajah Belanda. Tahun 1955 oleh seorang sejarawan – budayawan Amir Hasan Bondan tari ini dibangkitkan kembali melalui Kelompok Tari Perpekindo (Perintis Peradaban dan Kebudayaan Indonesia) di Banjarmasin. Sampai saat ini tari Radap Rahayu masih lestari.
Tari radap memang perlu terus dikembangkan dan ditanggap untuk berbagai acara, seperti perkawinan atau menyambut tamu kenegaraan/kedaerahan. Meskipun munculnya sejak zaman praIslam, namun tari ini perlu dilestarikan, karena di segi gerakannya tidak erotis dan pakaian penarinya cukup sopan menutup aurat. Sebagai masyarakat Banjar yang muslim, kesenian yang tidak bertentangan dengan agama perlu diteruskan.
Puluhan tahun silam, masyarakat Banjar juga mengenal tari Gandut, atau Bagandut. Tarian ini menyajikan gerakan erotis penari wanita yang merangsang syahwat pria, mirip Tayub di Jawa. Pria yang datang dan ikut menari, boleh mencubit, memegang tubuh penari, seraya memberikan uang saweran. Tarian ini sudah hilang, karena tidak sejalan dengan Islam. Jadi, dalam proses perkembangan seni budaya Banjar sudah terjadi seleksi alam dan sosial agama, artinya ada kesenian yang punah. Bertahan dan berkembangnya tari radar rahayu, karena tergolong bagus, indah dan tidak melanggar kesopanan beragama.
Kita prihatin, karena sekarang ini sering resepsi perkawinan menyajikan pagelaran seni musik, khususnya dangdut, yang penyanyinya berpakaian minim, pendek, ketat atau tipis. Goyangannya juga cenderung liar, mungkin lebih hot ketimbang goyang ngebor, goyang gergaji atau goyang patah-patah sejumlah penyanyi, yang meskipun sering disemprit MUI dan pemerintah daerah, tetap saja bergeming.
Tak hanya itu, kita juga prihatin karena ada gadis-gadis model daerah yang ditampilkan dalam keadaan celana amat pendek dan kelihatan pusar. Mestinya panitia membatasi hal ini dan menghargai sensitivitas ulama dan warga Banjar yang masih tergolong agamis. Dibandingkan fenomena ini saya lebih setuju jika tari-tarian Banjar yang sejalan dengan budaya dan agama dihidupkan dan dikembangkan kembali sebagai hiburan alternatif.
Siklus Hidup
Pada masyarakat Banjar khususnya ada sejumlah upacara budaya yang menyertai siklus hidup, yaitu kelahiran, tasmiyah, sunatan/khitanan, perkawinan dan kematian. Di antara siklus itu, yang paling memungkinkan untuk menampilkan pagelaran seni budaya adalah perkawinan. Sebab dalam momentum ini mempelai dan keluarganya sedang berbahagia, dan keluarga kedua pihak bersama masyarakat banyak berkumpul.
Tari radap beserta aneka jenis tarian lain yang sesuai perlu lebih sering ditampilkan. Tidak saja oleh pemerintah daerah, dinas pariwisata dan budaya atau pun Kesultanan Banjar, tetapi juga oleh para tokoh masyarakat, pejabat, pengusaha, dll. Ketika mengadakan acara seperti resepsi perkawinan, alangkah baiknya dipentaskan tari-tarian itu.
Sejalan dengan itu tentu seni budaya yang bernuansa agama seperti hadrah, pembacaan syiir maulid al-Habsyi dan sejenisnya, wayang, madihin, lamut, dll, juga perlu ditampilkan. Dengan begitu terjadi perkawinan budaya, dan di sisi lain kekayaan seni budaya kita semakin tampak dan mendapat apresiasi dari masyarakat. Kalau kita ingin daerah Banjar dihargai di mata nasional dan dunia maka identitas budaya harus ditampakkan. Dan kalau ingin budaya hidup, maka ia harus dihidupkan oleh urang Banjar sendiri.
Para pihak yang ingin membangkitkan kembali budaya Banjar sudah selayaknya kita dukung dan apresiasi. Sebagus apapun budaya sulit sekali bertahan dan berkembang tanpa adanya lembaga yang mapan, bertanggung jawab dan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap kearifan budaya. Sesuai dengan kemampuan dan kapasitas, hendaknya semua warga Banjar memberi kontribusi optimal untuk kemajuan budaya Banjar.