Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
Khazanah Qalbu

BUKAN AGAMAKEKERASAN

×

BUKAN AGAMAKEKERASAN

Sebarkan artikel ini

oleh: AHMAD BARJIE B

BEBERAPA waktu lalu, dalam sebuah diskusi publik, seorang narasumber yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan melanjutkan studinya di Barat, juga mencoba membangun hipotesis bahwa Islam berkorelasi positif dengan kekerasan. Maksudnya Islam dalam beberapa hal identik dengan kekerasan. Asumsi yang digunakan adalah fakta empiris dan normatif.

Iklan

Secara empiris ia melihat banyak kasus kekerasan atas nama agama dilakukan oleh komponen masyarakat Islam, seperti penghancuran tempat-tempat ibadah milik aliran yang dikategorikan sesat, kekerasan terhadap golongan yang dianggap membela aliran sesat, juga penyerangan tempat-tempat maksiat. Sedangkan secara normatif ada hadis, setiap muslim yang melihat kemunkaran, hendaknya berusaha mengatasinya dengan tangannya, yaitu kekuatan dan kekuasaan, dan jika tidak sanggup baru dengan lisan, dan jika tidak sanggup juga baru dengan hatinya, yang demikian adalah iman paling rendah. Puncak jihad dalam Islam adalah jihad perang.

Sebenarnya Islam agama rahmatan lil alamin, tidak identik dengan kekerasan. Tujuan Islam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta, kehormatan dan keamanan. Dari sini diharapkan tercapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Islam mengedepankan cara-cara persuasif, dengan hikmah kebijaksanaan, nasihat dan bimbingan serta dialog yang konstruktif dan argumentatif. Jihad perang hanya dilakukan dalam rangka depensif (membela diri), bukan menyerang (opensif). Jihad perang berlaku seperti di Palestina dan Lebanon, anehnya justru banyak negara-negara Islam tidak melakukannya, padahal mereka memiliki kemampuan, tentara dan persenjataannya.

Islam sangat mengedepankan cinta kasih dan kedamaian. Identifikasi Islam dengan kekerasan bersifat kasuistik, di samping terlalu gegabah, dapat mengakibatkan misunderstanding terhadap Islam, baik bagi umat yang belum mengerti maupun pihak luar. Ini tentu merugikan agama dan umat Islam sendiri.

Baca Juga :  PENTINGNYA KESEHATAN

Umat Islam dalam kehidupan keseharian sebenarnya merupakan anak manis. Hampir selalu mereka menjauhi masalah, bukan mencarinya. Filosofi yang dipegang adalah seperti lebah, jika dia hinggap di dahan pohon, maka pohon tidak akan rusak atau patah, jika ia mengisap bunga maka yang lahir adalah madu, lebah baru bereaksi jika diganggu.

Di masa lalu saat tingkat pendidikan rendah dan ketokohan seseorang diukur dengan keberanian berkelahi, memang kekerasan sempat mendapat tempat. Dulu ada orang yang suka bilang pada keluarga atau kenalannya: “Kalau ada acara selamatan biar saya tidak diundang tak mengapa. Tetapi kalau berkelahi jangan lupa mengajak dan memberitahu saya agar bisa membantu dan ambil bagian”. Itu sebabnya di masa lalu latihan bela diri seperti pencak silat, belajar kesaktian atau memiliki ilmu kanuragan sangat penting. Tetapi hal itu umumnya dicontoh dari elit dan para raja. Bukankah dalam sejarah sangat banyak terjadi perang saudara antara kerajaan dan kelompok serta elitnya, yang semuanya menomorsatukan kekerasan dan kelicikan.

Sekarang hal-hal begitu sudah hampir tidak ada lagi. Terlebih di saat orang sibuk dengan urusan perut, kerja, keluarga, dan masalahnya masing-masing. Banyak orang berhitung, apa untungnya berkelahi dan bermain kekerasan. Bahkan ada orangtua tidak mengizinkan anaknya sekadar ikut demo, sekiranya demo itu mendatangkan risiko. Masyarakat takut terlibat suatu masalah pidana. Jangankan menjadi tersangka dan terdakwa, sekadar sebagai saksi saja banyak orang enggan meskipun penting.

Bila terjadi kekerasan atas nama agama, hampir pasti karena terpaksa, bukan sifat, hobi apalagi budaya. Pasti ada penyebab mereka melakukan hal demikian. Penyebabnya lebih karena kelambanan dan ketidakberdayaan hukum dan aparat pemerintah, atau karena ada provokasi dari pihak lain. Mengapa di beberapa kawasan sempat terjadi konflik sosial bernuansa SARA, itu karena hukum tidak ditegakkan segera dan adil, sehingga masyarakat terpaksa main hakim (eigenrighting) dengan caranya sendiri. Sekiranya aparat penegak hukum cepat dan segera bertindak menyikapi setiap pengaduan masyarakat, dan peraturan bisa ditegakkan, buat apa masyarakat ikut turun ke lapangan dengan risiko bentrok, luka-luka bahkan tertangkap dan dihukum bahkan kadang juga risiko nyawa.

Baca Juga :  MENYUMBANG NEGARA

Hal seperti ini pula yang terjadi saat masyarakat menghancurkan tempat ibadah atau sentra kegiatan suatu aliran yang dikategorikan sesat. Setelah MUI sebagai lembaga berwenang mengeluarkan fatwa, seyogianya pemerintah bertindak, baik secara represif maupun persuasif. Sikap plin plan pemerintah tentu kontraproduktif dan cenderung membuat kekerasan berlanjut dan eskalatif. Dalam kondisi demikian tidak terhindarkan adanya kekerasan, karena tidak semua masyarakat mampu bersabar. Kesesatan yang disebarluaskan tidak bedanya dengan kemaksiatan, karena ia bagaikan api yang akan membesar dan membakar segalanya.

Makna hadis mencegah kemaksiatan dengan tangan, tidak berarti setiap muslim terjun langsung mengatasi masalah. Imam al-Ghazali mengatakan, peran ini berada di tangan penguasa, pemerintah, yang memiliki kewenangan dan aparat. Maka setiap kali ada penyimpangan dan pelanggaran dari norma agama dan hukum yang berlaku, pemerintahlah yang lebih dulu bertindak. Termasuk seperti Israel menyerang Palestina secara brutal, dalam perspektif agama adalah kemunkaran tingkat tinggi karena membunuh puluhan ribu manusia, melukai dan menghancurkan harta benda. Pemerintah antarnegaralah yang seharusnya lebih dahulu turun tangan membendungnya melalui kekuatan negara.

Ulama, tokoh dan masyarakat umum cukup mendorong dan membantu secara moral dam material. Di sinilah memerlukan penguatan peran negara. Sebagai pelindung rakyat pemerintah yang harus proaktif, bukan mengembalikannya ke masyarakat, sebab akan terjadi benturan horisontal yang fatal. Di negeri ini ribuan orang pernah tewas mengenaskan justru ketika pemerintah membiarkan masyarakat menyelesaikan sendiri persoalan mereka. Di era kebebasan sekalipun, negara berwenang melakukan respresi, sebab HAM segelintir orang tidak boleh mengalahkan HAM banyak orang.

Memang pendekatan paling bijaksana tentu persuasif. Kekerasan selamanya tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan akan melahirkan masalah baru. Kekerasan dan peperangan sering mewariskan dendam. Aliran yang dianggap sesat, jika pemimpin dan pengikutnya tidak sadar, biar divonis hukum paling cuma tiarap sebentar.

Baca Juga :  Dosa Meningalkan Shalat

Lebih efektif jika dilakukan pendekatan dakwah dari hati ke hati. Terbukti pemimpin al-Qiyadah al-Islamiyah Ahmad Moshadeq kabarnya bertobat setelah berdialog dengan Said Aqiel Siradj. Pendekatan dakwah harus lebih ditingkatkan oleh umat Islam, termasuk ulamanya. Sayang sebagian komponen umat, dengan ilmu agama sekadarnya, menyukai cara-cara kekerasan. Sesama umat Islam diserang dengan batu dan teriakan Allahu Akbar. Ini kontraproduktif, mengakibatkan kaum muslimin makin terpecah-belah dan menjauhkan orang dari hidayah. Sekaligus mengundang labelisasi kekerasan pada Islam dan umatnya. Wallahu a’lam.

Iklan
Space Iklan
Iklan
Ucapan