Oleh : Edy M Yakub
Pemerhati Sosial Keagamaan
Hari Santri diperingati setiap 22 Oktober. Hari Santri mulai diperingati pada tahun 2015 seiring dengan terbitnya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober 2015.
Sejak Keppres 22/2015 itulah, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri dengan sejumlah pertimbangan, di antaranya ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI dan mempertahankan NKRI.
Apresiasi negara dengan penetapan Hari Santri itu bukan sekadar pengakuan yang bersifat politis, melainkan apresiasi yang berlandaskan fakta historis.
Bahkan, tanpa perjuangan para santri, Indonesia tak akan pernah berdiri seperti saat ini. Tanpa santri, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah ada.
Fakta historis yang mendukung apresiasi negara terhadap kalangan santri (pesantren/masjid) adalah pihak Sekutu tak mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Sekutu mau menguasai Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 akibat bom nuklir dijatuhkan Sekutu ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Para pemuda Indonesia akhirnya memanfaatkan momentum “vacum of power” itu dengan mendesak Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun, Sekutu tidak mau menerima hal itu dan bermaksud “menduduki” Indonesia. Kemudian tersiar kabar Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda) siap mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Rencana pendaratan Sekutu pun mendapat respons para ulama, termasuk KH Hasyim Asy’ari yang sempat mengeluarkan Fatwa Jihad (khusus umat Islam) pada 17 September 1945 (satu bulan setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta) dan 9 November 1945 (sehari menjelang Pertempuran 10 November 1945).
Ketua PWNU Jatim KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) menyebut Fatwa Jihad dikhususkan umat Islam, sedang Resolusi Jihad lebih ditujukan kepada pemerintah Indonesia pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itu pun merupakan hasil pertemuan PBNU/HBNO yang dihadiri ulama NU se-Jawa dan Madura di Kantor HBNO/PBNU di Bubutan, Surabaya.
Kedua fatwa itu disampaikan secara berbeda. Fatwa jihad disiarkan dari surau ke surau atau dari pesantren ke pesantren, sedangkan resolusi disiarkan lewat media yakni Kantor Berita ANTARA (25/10), Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (26/10), dan Berita Indonesia Jakarta (27/10).
Perlawanan pun terjadi hingga Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945 dan Sekutu pun marah. Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerah tanpa syarat pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB, namun 9 November 1945 justru terjadi gerakan massa santri ke Surabaya (pasca Fatwa Jihad).
Perang digital
Kini, kaum santri yang sudah diapresiasi negara sejak 2015 itu menghadapi “perang” yang jauh berbeda dari era 1945. Dunia pesantren/masjid saat ini justru bukan lagi menghadapi “perang fisik”, melainkan “perang non-fisik” alias “perang digital”.
Perang digital itu justru menyodorkan dua tantangan “bermata dua” yakni digitalisasi dan radikalisasi. Digitalisasi juga ibarat “dua pisau” yakni digitalisasi “teknis” dan digitalisasi “jebakan”.
Secara teknis, digitalisasi harus disikapi kaum santri dengan manajemen digital di pesantren/masjid, yakni pemanfaatan akun medsos untuk dakwah (YouTube, podcast, instagram, TikTok, AI, dan sebagainya) dan juga aksi sosial, seperti menggalang dana/zakat/sedekah dengan QRIS.
Namun, Guru Besar UINSA Surabaya Prof Nursyam menilai manfaat digitalisasi yang bisa dimaksimalkan untuk dakwah itu tetap harus diwaspadai dalam konteks ijtimaiyah/kemasyarakatan, karena pemanfaatan digitalisasi di tangan manusia yang kriminal/atheis juga bahaya.
“Digitalisasi untuk dakwah antara lain dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Raditya Dika, Ananda Omesh, Habib Husein Ja’far, UAS, UAH, Gus Baha’, Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan sebagainya,” katanya dalam dialog Kemenag Jatim di Surabaya (1/10/2024).
Dalam dialog bertema “Peran Strategi Aktor Moderasi Beragama” itu, Prof Nursyam menyatakan persoalannya bukan pada teknologi-nya, namun konten dari dakwah digital-nya itu yang harus disesuaikan dengan prinsip bangsa Indonesia yang plural dan cenderung mengambil “jalan tengah” (moderat), karena Pancasila-is, bukan kapitalis-sosialis.
Digitalisasi bisa dipakai untuk pengembangan moderasi beragama seperti dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Habib Husein Ja’far, Gus Baha’, Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan kaum santri milenial saat ini.
Apalagi, digitalisasi juga mengandung “jebakan” (jebakan digital), karena sistem digital bersifat anonim atau ghaib, sehingga Era Digital menjadi lebih gaduh akibat peningkatan “jebakan”, seperti persebaran hoaks, peluang persebaran fitnah, radikal digital, penipuan/hack/scam, ujaran kebencian/adu domba, dan pembocoran informasi secara framing.
“Kita menjaga ruang digital supaya sehat, yang salah satunya akan kita luncurkan adalah kanal untuk bisa menginformasikan dan juga melaporkan temuan hoaks seputar pilkada yang cepat,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Informasi Publik Kemenkominfo Prabu Revolusi di Jakarta (28/8).
Upaya mencegah persebaran hoaks itu sangat penting, mengingat hoaks dapat menyebar hingga 20 kali lebih cepat dari klarifikasinya.
Dunia digital kadang berbeda antara narasi dengan berita asal, kadang berbeda antara narasi dengan foto, kadang berbeda antara narasi dengan video, kadang potongan narasi/foto/video, dan seterusnya.
Jadi, pekerjaan rumah (PR) bagi kaum santri adalah melanjutkan “kiprah fisik” tahun 1945 menjadi “kiprah non-fisik” dalam dua pekerjaan penting yakni melakukan manajemen digital dalam dakwah pesantren dan sekaligus mencegah radikalisasi di dunia digital yang dapat merasuki masyarakat, terutama kaum milenial yang kurang mendalami ilmu agama secara komprehensif.