Oleh: Ahmad Barjie B
Penulis beberapa buku sejarah dan budaya Banjar
Pemerintah Kabupaten Banjar di masa bupati sekaligus Sultan Banjar Pangeran Haji Khairul Saleh pernah menggelar pameran keris atau tosan aji karya agung Nusantara. Pameran di gedung Dekranasda Martapura tersebut cukup spektakuler dan diminati banyak kalangan, karena tergolong khas dan langka. Ia bagian dari khazanah budaya yang selama ini banyak terlupakan.
Keris selama ini lebih merupakan budaya Nusantara. Bagi urang Banjar sendiri, yang lebih dikenal sebagai senjata, terutama di masa lalu adalah mandau, pedang, tombak (serapang), badik dan sejenisnya. Beberapa daerah di Kalsel juga memiliki kebiasaan membawa lading jika berjalan-jalan. Lading itu kadang disebut dengan wasi (besi).
Saya pernah bermalan pada satu keluarga di hulu sungai. Begitu sang anak mau berjalan, ibunya bertanya, “Sudahkah mambawa wasi (lading)”. Sang anak menjawab, “Sudah”. Lading itu bukan digunakan untuk berkelahi, kecuali kalau terpaksa. Membawa lading bersama kumpang (sarungnya), lebih karena kebiasaan saja. Adanya aturan larangan membawa senjata tajam ke ruang publik, berakibat tradisi membawa lading dan sejenisnya semakin hilang, terutama di perkotaan.
Sekarang pembuatan keris masih tetap dilakukan secara tradisional di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu (Sulawesi Tenggara), Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Seri Begawan (Brunai Darussalam). Pembuatan keris masa kini masih tetap menggunakan kaidah-kaidah lama. Para empu dan pandai keris tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan puasa selama masa pembuatannya.
Karena budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, benda ini mempunyai banyak nama padanan. Di Bali keris disebut kedutan, di Sulawesi selain menyebut keris, orang juga menamakannya selle atau tappi. Di Filipina keris dinamakan sundang. Di beberapa daerah lainnya disebut kerih, karieh, atau kres.
Budaya Nusantara
Bila mempelajari khazanah budaya sekitar keris, hampir semua daerah memiliki keterkaitan dengan keris. Lebih dominan tentunya di Jawa. Anak-anak SD sudah mendengar cerita bagaimana misteri keris Empu Gandring yang banyak sekali memakan korban. Awalnya Ken Arok memesan keris kepada empu (pembuat keris) bernama Gandring. Keris yang dipesannya ternyata tak kunjung selesai, karena banyak ritual yang harus dilakoni sang empu agar keris itu siap pakai. Ken Arok sudah gatal ingin menggunakannya untuk membunuh Tunggul Ametung.
Kesal, akhirnya Empu Gandring dibunuh dengan keris buatannya sendiri. Sebelum mati Gandring sempat bersumpah, keris yang belum selesai diulesi mantra itu akan membunuh Ken Arok dan keturunannya. Kutukan Gandring terbukti. Meski berhasil membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes serta mengalihkan kesalahan pada Kebo Ijo yang pernah meminjam keris dan memamerkannya di muka umum, belakangan Ken Arok juga dibunuh oleh putra tirinya, Anusapati. Kemudian, Anusapati dibunuh oleh Toh Jaya, putra Ken Arok dari selirnya Ken Umang. Toh Jaya dibunuh lagi oleh Ranggawoni putra Anusapati, demikian di antara versi sejarah yang kita baca. Banyak raja Dinasti Singosari terbunuh oleh keris yang sama.
Bunuh membunuh dengan keris terus terjadi. Ketika Trunajaya memberontak kepada Kerajaan Mataram, dan berhasil ditangkap atas bantuan kompeni Belanda (VOC), Sunan Amangkurat II (cucu Sultan Agung) membunuh Trunajaya dengan keris.
Ketika pecah Perang Jawa (1825-30), para pejuang pimpinan Pangeran Diponegoro juga menjadikan keris sebagai senjata utama. Di antara kerisnya bernama Naga Siluman, yang baru saja diserahkan raja/ratu Belanda kepada keturunan Diponegoro melalui Presiden Joko Widodo. Kita lihat di pinggang Diponegoro, Kyai Mojo dan Alibasyah Sentot Prawirodirjo (ketiganya pimpinan utama Perang Jawa/Dipongoro), selalu terselip keris. Para jawara di dunia persilatan, baik aliran putih maupun hitam, umumnya juga menggunakan keris. Bahkan untuk keris tertentu yang dianggap digjaya cenderung jadi rebutan.
Lantas mengapa banua Banjar juga ikut menjadi bagian dari budaya keris. Benang merahnya adalah karena Banjar (era Kerajaan Banjar Hindu) pernah menjadi daerah pengaruh Kerajaan Majapahit. Maka di semua daerah pengaruh itu, budaya keris juga berkembang. Bahkan setelah era Banjar Islam pun budaya keris masih hidup hingga sekarang, karena Banjar juga berhubungan erat dengan Demak dan Mataram. Buktinya banyak sekali tokoh masyarakat yang memiliki keris pusaka. Beberapa tokoh masyarakat dan ulama seperti HM Said, Abah KH Anang Djazoely Seman, H Gt (P) Rusdi Effendi, dan para tokoh Banjar lainnya, memiliki sejumlah keris pusaka.
Saya masih ingat ketika masa kanak-kanak di Kelua-Tabalong. Kakek-datuk saya juga punya koleksi keris aneka macam, banyaknya hampir satu peti. Begitu mereka meninggal akhirnya satu persatu keris itu berpindah tangan, maksudnya dipelihara oleh orang lain yang lebih menjiwai. Waktu itu konon ada kepercayaan, kalau keris itu tidak dipelihara akan menyusahkan pemiliknya. Jadi daripada merepotkan lebih baik diberikan pada orang. Sekarang ketika saya memerlukan, terutama untuk acara-acara budaya, kerisnya tak ada lagi, karena terlanjur diserahkan kepada orang lain.
Kaya Dimensi
Bagi masyarakat Jawa sebagai pusat budaya keris Nusantara, pemaknaan terhadap keris masih dipengaruhi kepercayaan Kejawen dan sinkretisme. Keris dianggap memiliki kekuatan supernatural tertentu. Karena itu pembuatannya melalui prosesi yang khas. Kyai empu menyiapkan dan memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan semedi untuk mendapatkan inspirasi tentang bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi pemesannya. Tujuannya agar banyak rezekinya atau berfaedah untuk kharisma atau kepangkatan. Tahap ini merupakan penantian panjang karena kyai empu tidak akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan.
Setelah itu, kyai empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk melewati hari jelek. Kyai empu dalam hal ini menguasai ilmu candrasengkala (perhitungan hari). Sesudah menentukan hari baik, kyai empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon izin kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan Tuhan. Sesajinya seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja, jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam, sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji lainnya disebut sesaji barikan, merupakan sesaji tambahan misalnya telur mata sapi, ayam putih mulus atau yang lainnya, kemudian disantap bersama-sama. Dalam konteks ini kyai empu dianggap menguasai ilmu sarono (ilmu sesaji) yang tidak semua orang awam mengetahuinya.
Bagi masyarakat Banjar, yang menganut prinsip adat bersendi syara’ (syariat) dan syara’ bersendi kitabullah (Alquran dan sunnah), akan lebih tepat keris diberi makna budaya yang sejalan dengan agama. Kita bisa menyontoh masyarakat Jawa yang agamis, tetapi masih berpegang pada keris. Bagi mereka keris dimaknai sebagai simbol dan sifat pribadi. Keris itu berisi piwulang-wewarah, nasihat untuk hidup dengan baik dan benar. Tujuannya agar manusia menjadi arif dan bijaksana.
Ujung keris yang lancip, menunjukkan keinginan, arah dan tujuan hidup manusia yang pada dasarnya hanya satu yaitu menuju Sang Pencipta. Semua manusia, siapapun akan menuju satu titik, yaitu kematian, dan bertemu Allah, baik dalam keadaan bahagia (beroleh surga) maupun sengsara (ditimpa siksa neraka). Di dalam keris itulah diungkap filsafat sangkan paraning dumadi (asal manusia lahir dan ke mana tujuan hidupnya), sangkan paraning pambudi (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu). Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasihat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti digambarkan keris.
Fisik keris ada yang lurus dan ada yang lekuk. Hal ini menggambarkan suatu semangat hidup. Bentuk lurus simbol keteguhan dalam niat dan pendirian. Manusia harus istiqamah, jangan menyimpang dari rel kebenaran, tahan godaan, selalu jujur dalam segala keadaan. Bentuk lekuk, maknanya luwes dalam pelaksanaan, artinya manusia bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku. Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk melukai atau membunuh orang lain, tetapi tajam dalam melihat masa depan, tajam (awas dan waspada) dalam menjalani kehidupan), serta berani memerangi diri sendiri (mengendalikan hawa nafsu) yang juga diajarkan dalam agama.
Reaktualisasi budaya keris yang dihidupkan oleh Kesultanan Banjar perlu kita dukung dan apresiasi. Tentu dengan menggali makna keris sebagai salah satu aset budaya yang sejalan dengan ajaran agama. Peninggalan urang bahari perlu kita lestarikan, dengan pemaknaan yang lebih substansial.