Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’/esais
Sebentar lagi transisi kepemimpinan nasional akan bergulir. Harapan rakyat kembali mencuat. Terutama agar segera ada perbaikan dan pembenahan di segala sektor kehidupan saat kemudi Republik Indonesia di tangan Prabowo-Gibran. Begitu juga dengan generasi muda saat ini yang tentunya menyimpan sejuta harapan untuk pemerintahan nanti. Pemuda hari ini memang perlu lebih optimistis untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi. Apalagi, kita adalah calon pemimpin, harapan segenap rakyat, dan sekaligus penegak cita bangsa. Pemuda dinantikan perannya untuk menjadi problem solver. Bukan hanya sekadar menjadi tukang mengeluh, selalu pesimis; apalagi menjadi biang keladi pesoalan di tengah masyarakat. Kepekaan dan kepedulian pemuda terhadap situasi dan kondisi masyarakat bisa membawa angin segar bagi pembanguna bangsa. Sebab itulah, pemuda wajib memiliki optimisme yang berkobar-kobar dalam batinnya.
Tahun lalu, Good News From Indonesia (GNFI) bekerja sama dengan Populix mengadakan survei untuk mengukur dan mengetahui sejaum mana tingkat optimisme generasi muda terhadpa masa depan Indonesia diuur dari beberapa aspek. Di antaranya yaitu dimensi pendidikan dan kebudayaan, kebutuhan dasar, ekonomi dan kesehatan, kehidupan sosial, dan politik dan hukum. Jumlah respondennya yaitu 1.289 WNI yang berusia 17-40 tahun. Dalam catatan ini penulis akan lebih fokus menganalisis indeks ekonomi, politik, dan hukum. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa mahasiswa dan responden yang belum bekerja, pesimis bisa terserap dalam dunia kerja. Artinya, dalam indeks ekonomi, tingkat optimisme pemuda bisa dikatakan cukup rendah.
Begitu juga indeks hukum dan politik yang justru menunjukkan hasil paling buncit alias terendah. Itu semua karena responden, secara umum pesimis akan adanya perbaikan dalam hal pemberantasan korupsi dan tegaknya supremasi hukum. Sebagian besar pemuda juga ragu dan pesimis terkait penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Hasil survei tersebut menjadi alarm peringat bagi kita semua agar kembali melakukan introspeksi dan evaluasi secara menyeluruh untuk perbaikan. Terutama, pejabat publik yang sedang atau akan menjabat nantinya. Sebab, jumlah pemuda di negeri ini sangat banyak. Bahkan mendominasi, baik itu dari Generazi X, Y, maupun Z. Kepercayaan pemuda terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dan jujur harus kembali dipulihkan.
Tidak hanya itu, pemuda sendiri tidak boleh terus-terusan berpikiran negatif dan selalu pesimis dalam melihat dan menyikapi realitas ekonomi, politik, dan hukum di negeri ini. Memang benar, lapangan pekerjaan saat ini tidak sebanding dengan pencari kerja. Memang benar angka pengangguran cukup membeludak. Memang benar masih banyak pejabat publik yang hanya mementingkan diri, keluarga, dan parpolnya. Tapi hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak berpikir positif dan bersikap optimis dalam menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik lagi. Kita adalah calon pemegang estafet kepemimpinan di kemudian hari. Sebab itu, mulai dari sekarang, mulai menempa diri agar selalu berpandangan positif, apapun yang terjadi. Berupaya untuk membangun mentalitas sebagai seorang pejuang atau patriot. Meskipun harus dipatahkan oleh keadaan yang tak mendukung, spirit perbaikan itu mesti menyala dalam jiwa.
Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki sikap optimis memiliki harapan kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan frustasi. Sejalan dengan itu, pribadi, merujuk pada pada pendapat Seligman (2006), yaitu menghentikan pemikiran yang negatif. Dia selalu berupaya menemukan makna yang positif dalam hidupnya. Tanpa dipaksakan dan dibiasakan, bersikap seperti itu adalah sebuah kesukaran. Lebih-lebih pemuda hari ini sebagian besar dijangkiti penyakit yang bernama pragmatisme. Ya, inginya serga cepat dan instan. Tak sudi menikmati prosesnya. Seolah-olah kesuksesan bisa diraih hanya dengan memejamkan mata. Bim salabim tiba-tiba menjadi sukses. Bukan seperrti itu yang kita inginkan.
Bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda dengan mentalitas yang tangguh. Tidak gampang menyerah dan putar haluan ketika menemukan rintangan. Selalu fokus terhadap apa yang hendak dicapai. Selain itu, pemuda yang optimistis biasanya tidak gampang mencari kambing hitam atas kondisinya sendiri. Tidak mudah menyalahkan keadaan ketika menemui kegagalan. Kemudian timbul pertanyaan dalam benak saya: bagaimana membangun optimisme kita dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum? Baiklah, pelan-pelan saya akan menjawabnya dari persepektif sebagai pemuda yang awam.
Terkait ekonomi, pemuda hari ini, bisa kembali meneropong ke depan segala peluang-peluang yang nantnya terbuka lebar. Semisal, jika memang belum bisa menjadi pegawai di perusahaan swasta atau pemerintah, kita bisa mencoba berwirausaha. Menggeluti dunia UMKM sesuai mnat kita. Atau bisa mencoba menjadi pekerja lepas sesuai passion kita. Bukankah itu juga menajdi sumber penghasilan yang bisa mendulang pundi-pundi uang? Masalahnya yaitu apakah kita mau atau tidak. Masalah lainnya yaitu apakah kita sudah memiliki kompetensi atau tidak? Itu hanya kita sendiri yang bisa menjawab. Jika belum, maka sudah saatnya berkemas-kemas untuk mempersiapkan sejak dini. Sekarang kita bisa meningkatkan skill di bidang terentu hanya lewat internet. Jadi, belajarlah hal-hal baru dan skill baru yang potensial bisa menadi ladang penghasilan. Semisal kemampuan menulis artikel, desain grafis, pembuat animasi, dan semacamnya. Jadi ketika satu pintu tertutup, masih ada ribuan pintu lainnya yang terbuka. Dengan begitu, kita bisa selalu ber
pikiran positif dan optimistis.
Selanjutnya, terkait bidang politik dan hukum, kita juga harus optimistis bahwa negeri ini akan menelurkan pemimpin-pemimpin baru yang berintegritas dan bertanggug jawab. Jika ada yang korupsi, percayalah itu hanyalah oknum yang rakus akan dunia. Masih banyak pejabar publik yang jujur dan amanah. Masih banyak penyelenggara negara yang bersedia 24 jam menjadi pelayan rakyat. Optimsime itu juga bisa dibangun dengan cara ikut berperan menjadi corong perubahan kea rah yang lebih baik lagi. Kita bisa menyuarakan kritik, pendapat, dan saran lewat medsos untuk menangkal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan pemuda bisa ambil bagian untuk masuk dan terjun ke dunia politik praktis dan pemerintahan nntuk membenahi dari dalam. Ini sangat mungkin untuk menciptakan akselerasi perubahan. Kita butuh pemuda-pemuda yang cerdas, berjiwa pemimpin, dan peduli untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah lagi. Sebab itulah, melalui catatan ini, saya mengajak seluruh pemuda Indonesia untuk bersatu-padu dan menguatkan barisan
untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.