Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Akhir-akhir ini ramai pemberitaan di media massa mengenai potret citra buruk pendidikan nasional. Ya, semacam menjadi rapor merah bagi dunia pendidikan. Bagaimana tidak, kasus demi kasus, masalah demi masalah, seolah sambung menyambung tiada henti. Mulai dari perundungan, pelecehan, tawuran, perselingkuhan, penganiyaaan, pornografi, dan semacamnya. Ini mengejutkan banyak pihak. Generasi muda yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan, menjadi pelaku aksi kekerasan verbal dan bahkan seksual. Berulang dan terus berulang. Padahal, sebelumnya sudah tak terhitung kasus yang serupa. Tentu saja ini menjadi pertanyaan saya selaku penulis. Sejauh mana sebenarnya tindakan yang diambil sekolah dan pemerintah untuk mengantisipasi dan mengatasi agar tidak terjadi lagi kasus perundungan?
Jangan-jangan selama ini hanya mengatasi secara insidentil ketika terkuak ke publik. Menunggu viral dulu baru grusa-grusu untuk menangani. Tidak mencoba mencari akar persoalannya. Seolah tidak ada ikhtiar untuk mencegah agar tidak terulang lagi. Sebelum lebih jauh lagi, mari kita mengenali apa sebenarnya yang dimaksud dengan perundungan. Menurut American Psychological Association, perundungan atau bullying adalah suatu bentuk tindakan agresif yang dilakukan seseorang dengan sengaja dan berulang kali dengan tujuan untuk melukai dan mengakibatkan ketikdaknyamanan pada oranglain. Bisa secara fisik, lisan, maupun cara lain yang lebih halus seperti memaksa atau memanipulasi.
Aksi perundungan berdampak negatif bagi korban. Di antaranya bisa menimbulkan korban kesulitan untuk mempercayai orang, sukar bergaul, depresi, putus asa, kekecewaan yang berlarut-larut, luka fisik, luka batin, menyulutkan api permusuhan, rassa dendam, dan bahkan bisa menyebabkan korban berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Lantas, siapa yang paling bertangungjawab atas maraknya perundungan? Apakah ini murni berasal dari pelaku itu sendiri? Atau ada faktor-faktor lain yang barangkali menjadi pendorong yang memicu terjadinya perundungan?
Baiklah, dalam catatan ini, saya tidak ingin mencari-cari kambing hitam atas situasi problematika sosial yang terjadi. Mari urai terlebih dahulu satu per satu, sedikit demi sedikit, kenapa perundungan di kalangan remaja masih terus menerus terjadi. Ada beberapa hal yang membuat seseorang atau kelompok orang melakukan aksi perundungan. Diantaranya yaitu keinginan untuk menunjukkan kekuatan dan kekuaaan atas orang lain. Dalam hal ini, pelaku ingin menujukan superioritasnya di tengah-tengah lingkungannya. Aksi perundungan juga bisa bermula saat sang pelaku pernah menjadi korban di masa silam. Sehingga lambat laut dia ingin melakukan aksi yang sama sebagai upaya balas dendam. Bukan tidak mungkin, korban bisa menjadi pelaku. Dalam hal ini, biasanya ada tradisi turun menurun dari senior-seniornya. Sebagian juga menganggap perundungan sebagai aksi yang wajar untuk menjalin kerekatan dan loyalitas sesame anggota kelompok.
Padahal, perundungan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis, sangat merugikan dan menyakitkan tentunya. Bahkan, bisa memicu perengkaran dan perselisihan yang berkepanjangan. Tak jarang aksi tawuran dan aksi pengeroyokan berawal dari ucapan-ucapan yang menyakitkan. Bahkan, ada yang berani membunuh sebab tidak terima atas perkataan yang menyakitkan hatinya. Mulutmu adalah harimaumu. Lisan yang tak terkontrol bisa menjadi ancaman yang membahayakan bagi kita. Saya pun jadi penasaran dan bertanya-tanya, faktor apa lagi yang mendorong seseorang melakukan aksi perundungan? Ternyata, di era digital saat ini, remaja bisa dengan mudah mem-bully sebab pengaruh tontonan di media sosial (medsos). Sebagian anak remaja bisa menganggap kata-kata kasar dan seronok yang dilontarkan kepada orang lain sebagai hal yang biasa. Itu semua karena apa yang diamati di medsos. Selain itu, faktor pengaruh game. Saat ini, remaja-remaja kita dengan entengnya saling mengejek dan mengolok-ngolok saat bermain game online. Hal itu terbawa tidak hanya saat bermain game online, tapi juga saat berada di lingkungan sekolah, keluarga, dan bahkan di tengah-tengah masyarkat. Begitu besar pengaruh tontontan dan game online terhadap pengembangan karakter remaja kita.
Belum lagi ketika di lingkungan keluarga, anak-anak ketika tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Sering melihat kedua orangtuanya betengkar dan saling melontarkan kata-kata kasar juga menjadi pendorong sang anak untuk menirunya. Dalam hal ini, pendidikan dan keteladanan orangtua sangat berpengaruh dalam membina mentalitas dan karakter sang anak. Orangtua harus mengambil peran aktif dalam mendidik watak anaknya. Semisal bagaimana berkata dengan lemah lembut dan memiliki rasa empati dan simpati terhadap orang lain. Edukasi di lingkungan keluarga, saya rasa cukup berpengaruh dalam proses pembentukan karakter sang anak.
Begitu juga dengan guru-guru yang diharapkan dan bahkan diharuskan menjadi teladan bagi anak didiknya. Tutur kata, perilaku, dan gerak-gerik sang guru diamati betul oleh anak didiknya. Bukan sekadar mengisi akal pikiran mereka dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, bagaimana terus terusan membangun mentalitas dan karakter diri anak didiknya. Termasuk memberikan perhatian dan pembinaan khusus bagi anak-anak yang kedapatan melaukan aksi perundungan. Hukuman sang guru, khususnya guru BK dalam hal ini, harus bisa menimbulkan efek jera agar para siswa tidak mengulanginya lagi. Lingkuan sekolah, jangan sampai memberikan celah dan kesempatan sedikit pun bagi pelaku perundungan. Sekolah bisa berkolaborasi dan bersinergi dengan pemerintah untuk menggelar sosialisasi atau bahkan gerakan antiperundungan di sekolah. Hal itu tiada lain tiada bukan untuk menciptakan lingkugnan sekoilah yang nyaman, tenang dan bebas dari perundungan.
Terakhir, kita semua juga tidak boleh menutup mata atas aksi perundungan yang mungkin terpampang jelas di depan mata. Sebisa mungkin lakukan pendekatan humanis kepada anak-anak kita agar menjauhi aksi perunungan. Semisal dengan nasihat maupun teguran. Anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri tersebut perlu dirangkul, bukan dipukul. Kalau melewati batas, harus ditindak tegas. Kiranya, kita semua perlu turun tangan, bergerak serentak, untuk melawan segala jenis aksi perundungan. Tentu demi karakter generasi bangsa agar tidak keropos. Sebab, di tangan merekalah nasib bangsa ini di kemudian hari.