Oleh : Khaerul Izan
Pemerhati Politik
Gegap gempita pencalonan kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024 terasa seantero Nusantara, terutama ketika hari-hari menjelang pendaftaran pada tanggal 27-29 Agustus 2024.
Cerita panasnya tensi politik tidak pernah surut, baik di media massa, media sosial, maupun dunia nyata yang saban hari menyuguhkan kiprah para elite berpolitik.
Kejutan demi kejutan keputusan politik mewarnai masa-masa menjelang pendaftaran. Mulai dari parpol yang pindah haluan dengan bergabung dan berpaling dari kawan lama, maupun yang berkawan dengan mantan lawannya.
Semua dinamika perpolitikan di negeri ini menjadi bumbu tersendiri pada menjelang pendaftaran hingga masa penutupan pendaftaran.
Pilkada Serentak 2024 digelar di 545 daerah di seluruh Indonesia yang terdiri atas 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada ini menjadi pesta akbar dalam kontestasi politik 5 tahunan.
Apalagi sesaat sebelum pendaftaran dibuka Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permasalahan persyaratan pencalonan pada pilkada. Peta politik kala itu mendadak berubah akibat putusan MK No 60/PUU-XXII/2024.
Putusan itu menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari yang sebelumnya 20 persen menjadi 6,5 sampai 10 persen dan penghitungan dukungan bagi pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah parpol atau gabungan parpol.
Putusan MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Putusan MK dirumorkan sempat akan diubah melalui pembahasan RUU Pilkada antara DPR dan Pemerintah melalui Badan Legislatif (Baleg) yang memutuskan beberapa pasal dan menganulir putusan MK. Upaya itu hanya sehari setelah putusan dibacakan.
Rencana DPR untuk melangsungkan pembahasan RUU ke Paripurna menimbulkan reaksi keras dari kalangan akademikus, politikus, pengamat, dan lainnya. Bahkan masyarakat sipil akhirnya turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan mereka.
Atas desakan yang bertubi-tubi dari seluruh elemen masyarakat, Rapat Paripurna DPR yang akan berlangsung pada Kamis (22/8) akhirnya ditunda karena tidak memenuhi kuorum.
Penundaan itu menjadi angin segar bagi demokrasi di Indonesia karena bakal diikuti dengan munculnya calon-calon pemimpin daerah yang bisa maju setelah harapan mereka sempat pupus.
Kaderisasi
Putusan MK memang tidak mengubah peta politik secara drastis, karena masih ada calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024 meskipun secara persentase jumlahnya tidak terlalu banyak.
KPU RI mendata, dari 545 daerah yang menggelar Pilkada 2024, jumlah calon tunggal ada di 38 daerah setelah masa perpanjangan pendaftaran kedua diberlakukan.
Pada pendaftaran tahap awal calon tunggal tersebar di 43 daerah, kemudian pada perpanjangan yang berakhir tanggal 4 September berkurang menjadi 41, dan setelah KPU dan DPR menggelar rapat kerja kembali dibuka masa pendaftaran perpanjangan yang berakhir tanggal 16 September.
Dari masa perpanjangan itu, pasangan calon tunggal kembali berkurang menjadi 38 daerah, dan bila dihitung persentase, maka peserta tunggal Pilkada 2024 “hanya” 6,9 persen.
Secara persentase, data tersebut lebih rendah dibandingkan pada Pilkada 2020, di mana dari 270 daerah terdapat 25 calon tunggal atau sekitar 9,2 persen.
Meskipun secara persentase jumlah calon tunggal pada Pilkada 2024 menurun, fenomena tersebut harus diperhatikan oleh partai politik, karena menyiapkan pemimpin, baik di pusat maupun daerah, merupakan salah satu tugas utama partai.
Untuk itu, kaderisasi merupakan keniscayaan agar kepercayaan publik terhadap parpol tidak menurun.
Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan bahwa fenomena calon tunggal bisa menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik.
Karena, partai semestinya mengajukan calon kepala daerah sebagai pertanggungjawaban kepada konstituen maupun rakyat bahwa mereka menjalankan kaderisasi.
Selain itu, calon tunggal melawan kotak kosong juga bisa menumbuhkan sikap apatis karena masyarakat tidak punya pilihan yang memfasilitasi praktik demokrasi secara optimal.
Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana menyatakan bahwa munculnya calon tunggal disebabkan beberapa faktor, antara lain, biaya politik mahal, campur tangan pimpinan parpol, kekuatan petahana, dan lainnya.
Calon tunggal pada setiap pilkada dapat diminimalkan ketika parpol menjalankan kaderisasi sehingga memiliki stok calon pemimpin.
Calon tunggal bisa diibaratkan dengan peperangan, perang tanpa lawan. Secara teori, ini tentu jauh lebih mudah untuk dimenangi karena kompetitornya hanya kotak kosong.
Secara peraturan, calon tunggal pada pesta demokrasi 5 tahunan itu sah sebagaimana tercantum pada Pasal 54 C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi, setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat”.
Undang-undang tersebut menjadi rujukan KPU untuk tetap menggelar proses pilkada meskipun hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar.
Pelaksanaan pilkada serentak dilakukan untuk keempat kalinya, yaitu dimulai tahun 2015, lalu 2017, 2018, 2020, dan tahun 2024.
Setiap pelaksanaannya, calon tunggal kerap muncul, mulai pada tahun 2015 dari 269 daerah yang menyelenggarakan 0ilkada serentak, terdapat tiga calon tunggal yang ikut dalam kontestasi tersebut.
Kemudian pada tahun 2017 jumlahnya meningkat, dari 101 daerah terdapat sembilan calon tunggal. Setahun kemudian pada Pilkada 2018, calon tunggal ada di 16 dari 170 daerah dan pada 2020 jumlah calon tunggal terdapat di 25 wilayah dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada.
“Fakta ini perlu dicermati karena dalam undang-undang, parpol memiliki kewajiban menyiapkan calon dan kaderisasi calon pemimpin. Ini merupakan kewajiban parpol,” kata Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik.
Munculnya calon tunggal seharusnya dapat diminimalkan oleh parpol yang telah diamanatkan undang-undang untuk mencetak pemimpin masa depan melalui kaderisasi.
Jangan sampai pada alam demokrasi ini, parpol tidak ada nyali untuk mengajukan kadernya untuk bersaing pada pilkada serentak, hanya karena takut kalah.
Jangan sampai persaingan menjadi hal yang menakutkan. Bila yang diusung parpol itu memang kader bermutu, maka kemenangan ada di depan mata.
Karena, rakyat juga kian pintar dalam memilih pemimpin yang diyakini bisa membawa kehidupan yang lebih sejahtera.