BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Di masa lalu para petinggi PW-NU Kalsel sering mengatakan, organisasi Jamiyah NU Kalsel selama ini berada dalam kondisi la yahya wala yamut, atau la yamut wala yahya (tidak hidup tidak mati, tidak mati tidak hidup). Istilah yang senada adalah: wujuduhu ka’adamihi (keberadaannya seperti tidak ada).
Termasuk saat silaturahim dengan para pejabat atau anggota legislatif, yang notabene kader NU, para petinggi NU Kalsel tidak segan menelanjangi dan menguliti organisasi ini apa adanya.
Menarik dipertanyakan, benarkan NU Kalsel berada dalam kondisi demikian. Kriteria apa yang digunakan sehingga berkesimpulan negatif pesimistik. Sekiranya benar, mengapa itu terjadi dan bagaimana solusi ke depan. Semua ini penting dikaji bersama khususnya oleh para pimpinan, kader, simpatisan dan warga Nahdliyyin umumnya.
Perspektif Historis
Mengukur maju mundurnya sebuah organisasi, diperlukan kriteria dan parameter tertentu, termasuk membanding ke belakang. Bila dilihat dari perspektif sejarah, jelas NU Kalsel pernah besar dan berjaya dibandingkan dengan ormas keagamaan lainnya. Bayangkan, di tahun 1935 silam, kurang dari 10 tahun sesudah berdirinya NU di Surabaya 1926, 8 tahun sesudah berdirinya NU di Kalsel, dan 10 tahun sebelum kemerdekaan, NU Kalsel sudah eksis dan sanggup menjadi tuan rumah Kongres Nasional NU XI di Banjarmasin, yang dihadiri oleh pendiri dan tokoh besar NU, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, ayah KH Wahid Hasyim (Menteri Agama dalam beberapa Kabinet Bung Kamo) dan kakek Gus Dur. Demikian ceramah mantan Ketua Umum PB- NU Prof. Dr. Said Aqie? Siraj MA di Banjarmasin beberapa waktu lalu. Versi lain, tokoh NU yang juga hadir ketika itu adalah KH Abdul Wahab Hasbullah.
Saat itu Hasyim Asy’ari sudah melemparkan ide-ide konstruktif dalam perspektif perjuangan nasional. Diserukannya antara lain perlunya mengenyampingkan pertikaian, membuang fanatisme kelompok, aliran agama atau mazhab, menjauhi dan melupakan saling cela sesama umat Islam dan perlunya menegakkan persatuan dan kesatuan guna mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan. Bagi beliau NU dan Muhammadiyah atau organisasi keislaman apa pun, hakikatnya sama dan bersaudara. KH.
Hasyim Asy’ari sendiri sebagai pendiri NU, satu guru dengan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Mereka berdua sama-sama murid KH Ahmad Khatib al-Minangkabaui, ulama kesohor asal Sumatra Barat yang mengajar di Makkah dan banyak punya murid, termasuk Syekh Abdurrahman Siddiq, Mufti Indragiri asal Dalam Pagar Martapura, pengarang kitab tasawuf Risalah Amal Ma’rifah.
Mengapa lebih dari 80 tahun lalu NU Kalsel sudah sanggup dan terpilih sebagai tuan rumah Kongres NU?. Tidak lain karena eksistensi NU di daerah ini tidak diragukan, ditopang religiusitas masyarakat pada umumnya. Suara umat Islam dari Banjarmasin cukup didengar sampai ke pentas nasional, walau saat itu langka media. Kongres NU Banjarmasin mendorong lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) 1937 yang belakangan menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia. (Masyumi). Organisasi ini berjasa besar dalam perjuangan masa-masa awal, termasuk menggoalkan pendirian Departemen Agama. Hingga kini bekas-bekas kejayaan NU Kalsel masih kelihatan, seperti pada sejumlah Gedung NU, pondok pesantren dan madrasah, masjid dan langgar. meski tidak lagi dominan.
Massa dan Kader
Di segi jumlah massa, warga Nahdliyin di Kalsel juga masih besar. Indikasinya, partai politik yang menjadi anak kandung NU, seperti Partai NU, PKB dan PPP cukup beroleh pendukung yang signifikan, sehingga banyak kader NU duduk di lembaga legislatif pusat, provinsi, kota dan kabupaten. Bahkan tidak sedikit yang duduk sebagai wakil rakyat nyaris seumur hidup. Warga Nahdiliyin memberi dukungan secara konsisten tanpa mencermati lagi apa kontribusi wakil itu dalam memperjuangkan aspirasi mereka.
Tidak itu saja, dengan diusung parpol bernuansa NU, sejumlah kader juga berhasil duduk sebagai pejabat publik strategis lewat pilkada langsung, termasuk yang tidak terpilih. Hampir sebagian besar orang nomor satu/dua di Provinsi dan Kabupaten Kota di Kalsel, notabene kader NU atau minimal ada darah NU yang mengalir dalam dirinya. Sekadar menyebut nama Gubernur Rudy Ariffin dan Wagub Rosehan NB, Bupati Banjar Gt. Khairul Saleh dan Wabup Hatim Salman, Bupati Kotabaru Sjahrani Mataja, dan masih banyak lagi, termasuk yang terpilih oleh DPRD sebelum pilkada langsung.
Fenomena ini minimal dapat dimaknai: Pertama, massa pendukung warga NU masih besar dan solid. Kedua, performa dan kapasitas kader NU dapat diandalkan sehingga mereka beroleh dukungan suara mayoritas pemilih. Namun posisi strategis mereka tentu tidak untuk digelantungi oleh NU atau partai pengusung saja. Tidak arif kalau NU bersama badan-badan otonom ramai- ramai mengajukan proposal minta dana. Yang bisa diharapkan, para pejabat publik itu dapat dimintai perannya sebagai motivator, fasilitator dan konsultan pemberi saran dan masukan untuk kemajuan organisasi NU. Warga NU boleh bangga, tetapi harus berusaha mengamankan posisi kader-kader NU sebagai pejabat publik. Partisipasi kritis dan korektif NU sebagai kekuatan agama, moral, sosial dan politik tetap harus dipelihara. Bila reputasi pejabat itu turun, otomatis NU juga ketiban malunya. Sebaliknya kader NU yang berhasil akan mengharumkan organisasi.
NU tidak perlu meniru organisasi atau parpol lain yang melupakan dan membuang kadernya, semata karena kader itu sudah jatuh, atau saat kader jadi pejabat publik dinilai pelit dan terlalu hati-hati mengelola uang negara/daerah, sehingga dianggap lupa kacang akan kulit. Padahal kehati-hatian dalam urusan keuangan sekarang sangat penting dan dituntut. Sudah hati-hati pun tidak sedikit pejabat publik yang kesandung perkara hukum. Jadi, ketika kader NU menjadi pejabat publik, mereka sudah menjadi milik publik, walaupun secara organisatoris dan massa, NU berperan besar mengorbitkan mereka.
Kelemahan sebagian besar pejabat publik negeri ini, di pusat maupun daerah, karena kepentingan organisasi dan partainya mengalahkan kepentingan rakyat. Interes dan konflik kepentingan itu bermuara pada tidak objektifnya dalam mengatasi masalah. Akibatnya mereka tidak kunjung berhasil memulihkan krisis multidimensi yang dipercayakan.
Perlu Penataan
Menengok ke belakang dan ke depan NU Kalsel sebenarnya punya prospek bagus. Di sisi sosial akarnya sudah cukup kuat, karena dilatari perjalanan sejarah yang panjang. Dan di sisi religiusitas masyarakat Kaisel juga cocok dengan NU yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah,
moderat, toleran, humanis, menghargai tradisi lokalitas kedaerahan, dan pluralitas agama, dengan komitmen kebangsaan yang tidak perlu diragukan. Ini sesuai dengan formasi keagamaan dan kebangsaan yang akan dibangun ke depan. Dan secara perorangan, banyak pula kader NU memiliki bobot keulamaan, intelektualitas, kecendekiaan dan kecakapan profesi yang dapat diandalkan. Jadi SDM organisasi cukup potensial.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, NU Kalsel sudah memiliki Universitas Nahdlatul Ulama (UNU). Berarti NU/ sekarang juga sudah bergerak dan mengelola pendidikan tinggi, yang semakin hari semakin menunjukkan kemajuan yang signifikan. Ini melengkapi keberadaan puluhan bahkan ratusan pondok pesantren NU yang sudah ada terdahulu. Diharapkan keberhadaan UNU ini semakin memerkuat SDM di banua, menunjukkan kemajuan organisasi, sekaligus semakin mempertajam visi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang selama ini menjadi ciri khas NU.
Kelemahan mendasar barangkali lebih pada manajemen organisasi, baik itu sumber dana, rekrutmen SDM, konsolidasi dan pengkaderan. Terutama keuangan sebagai faktor penting hidupnya organisasi, NU perlu memberdayakan sumber dana secara mandiri. Aset-aset pertokoan, perkantoran, tanah, bangunan, sekolah, madrasah, pesantren, tanah wakaf, dsb, perlu dikelola secara manajerial profesional dan transparan, sehingga dapat dijadikan mesin uang yang memadai bagi kehidupan organisasi. Bila memungkinkan, NL) punya usaha produksi barang dan jasa sesuai kondisi dan perkembangan ekonomi daerah.
Kontribusi warga Nahdliyin mendesak dihidupkan. Kalau dari empat jutaan penduduk Kalsel ada sejuta Nahdliyin yang berpenghasilan, tentu potensi akumulasi dana sangat besar, belum lagi kader NU yang berprofesi sebagai pedagang, pengusaha, pejabat eksekutif, legislatif, dll. Di Jawa Timur dan sejurulah daerah, kontribusi kader NU yang duduk sebagai anggota. legislatif dan eksekutif sangat besar dalam menghidupkan organisasi, sehingga keuangan tidak terlalu jadi masalah. Keberhasilan PW Muhammadiyah Kalsel menggali dana mencapai ratusan juta rupiah per bulan patut pula ditiru oleh PW NU Kalsel, padahal di segi organisasi dan massa, jelas NU lebih besar. Dalam urusan kebaikan, tidak salahnya NU banyak belajar dan membanding.
Kemandirian dana sangat penting, karena bantuan dana dari pusat tidak dapat diharapkan. Dana abadi milik NU hanya dapat diambil bunganya saja. Suntikan dana segar pemeritah juga seret. Dana dari tambang batubara, di mana NU dan Muhammadiyah diberi kesempatan mengelola, masih kontroversial dan belum kelihatan hasilnya. Jadi, proaktivitas daerah menggali dana sendiri sangat diharapkan. Untuk itu diperlukan kesungguhan, konsistensi dan kontribusi semua pihak. Bila dana tergali mermadai, tidak saja penting untuk mendenyutkan organisasi, tetapi juga memberdayakan ekonomi masyarakat yang saat ini sangat butuh uluran tangan.
Tidak terkecuali tanggung jawab warga NU sendiri. Sudah waktunya warga NU membesarkan sekolah-sekolah, madrasah, pondok pesantren, dan kini UNU milik organisasi. Tanggung jawab dan kepedulian begini sangat penting. Kalau bukan kita siapa yang diharapkan. Kalau NU sudah begitu maju, tentu tak ada lagi yang meragukan eksistensinya, sebagaimana disebutkan di atas, Wallahu A’lam. (KPO-1)
[] Penulis Drs. Birhasani, M.Ag.