Oleh : Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Lawatan Menteri Pertahanan, yang juga presiden terpilih, Prabowo Subianto ke tujuh negara anggota ASEAN beberapa waktu lain menjadi menarik. Sebab, Prabowo tidak hanya diterima sebagai Menteri Pertahanan, melainkan mendapat penyambutan layaknya presiden, padahal pelantikannya sebagai presiden masih 20 Oktober mendatang. Kedatangannya tidak hanya disambut oleh sesama menteri pertahanan, tetapi diterima langsung oleh kepala negara ataupun kepala pemerintahan. Tempatnya pun bukan di kantor menteri, melainkan di Istana Kepresidenan.
Lawatan pertama dilakukan ke Brunei Darussalam (5/9) dan diterima langsung oleh Sultan Haji Hassanal Bolkiah. Lalu ke Laos (6/9) bertemu dengan Presiden Thongloun Sisoulith dan Perdana Menteri Sonexay Siphandone. Pada hari yang sama, melanjutkan safari ke Kamboja dan bertemu Presiden Hun Sen serta Perdana Menteri Hun Manet. Lalu, masih di hari yang sama bertolak ke Thailand bertemu Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dan ayahnya mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Selanjutnya, ke Malaysia (7/9) disambut oleh Perdana Menteri Dato Seri Anwar Ibrahim. Beberapa hari kemudian, ke Vietnam (13/9) bertemu Presiden To Lam dan ke Filipina (20/9) disambut oleh Presiden Ferdinand Romualdez Marcos Jr. di Istana Malacanang.
Good Neighbor Policy
Safari Prabowo yang bertemu langsung dengan para kepala negara/kepala pemerintahan ini perlu dimaknai sebagai upayanya membangun hubungan atau kebijakan bertetangga yang baik (good neighbor policy) dan diplomasi personal di masa transisi pemerintahan. Secara konseptual, kebijakan good neighbor merujuk pada pendekatan luar negeri yang menekankan pentingnya hubungan damai dan produktif antara negara-negara yang bertetangga.
Konsep ini mencakup berbagai bentuk kerja sama di berbagai bidang yang bertujuan untuk menciptakan kondisi stabil dan hubungan harmonis. Dalam konteks Asia Tenggara, kebijakan ini relevan mengingat ASEAN adalah kawasan dengan kepentingan nasional masing-masing negara anggota yang sering kali saling bertentangan dan bergesekan.
Hal ini memberi isyarat bahwa ke depan, sebagai presiden, Prabowo memiliki komitmen kuat terhadap penguatan hubungan regional dan pelaksanaan hubungan bertetangga yang baik. Langkah ini paling tidak akan memperkuat posisi Indonesia di ASEAN dan juga mengukuhkan solidaritas kawasan dalam menghadapi tantangan global, mulai dari ketegangan Laut China Selatan hingga dinamika geopolitik global yang semakin kompleks. Gagasan ini telah disampaikan Prabowo jauh sejak awal ketika masih menjadi calon presiden. Padahal, good neighbor policy di masa pemerintahan Joko Widodo cenderung dinomorduakan.
Kepemimpinan Diplomatik
Langkah Prabowo yang memulai berusaha membangun hubungan baik dengan tetangga, bahkan sebelum dilantik menjadi presiden, perlu dilihat sebagai cerminan visi strategisnya terhadap ASEAN. Prabowo paham bahwa kekuatan ASEAN terletak pada kemampuannya untuk bersatu menghadapi tekanan eksternal, terutama dari pertarungan kepentingan China dan Amerika Serikat, maupun aktor global lainnya. Prabowo sadar bahwa sebagai blok politik, ASEAN harus lebih erat dan lebih kuat. Lebih jauh dari itu, safari Prabowo ke negara-negara ASEAN juga mengirim sinyal bahwa pemerintahan baru Indonesia siap memimpin ASEAN dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Namun, dalam upaya melaksanakan good neighbor policy bukan tanpa tantangan. Salah satu hal yang mendesak adalah bagaimana ASEAN akan menavigasi hubungan dengan kekuatan-kekuatan besar seperti China dan Amerika Serikat. Kedua negara ini memainkan peran penting dalam perekonomian ASEAN, sekaligus juga kerap menjadi sumber ketegangan, terutama dalam konteks persaingan strategis di kawasan Indo-Pasifik.
Sebagai contoh, ketegangan di Laut China Selatan terus menjadi ujian bagi kohesi ASEAN. Filipina dan Vietnam, secara langsung bersitegang dengan China terkait klaim teritorial, sementara Kamboja dan Laos cenderung lebih mendukung kebijakan luar negeri Beijing. Contoh lain, China sebagai mitra dagang terbesar ASEAN, memiliki ambisi maritim di Laut China Selatan yang telah memicu gesekan dan keresahan di antara beberapa negara anggota ASEAN.
Sementara itu, Amerika Serikat terus berupaya memperkuat kehadirannya di kawasan melalui aliansi-aliansi keamanan dan kerja sama pertahanan. Dalam konteks ini, ke depan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik negara-negara ASEAN dan tekanan eksternal yang datang dari rivalitas dua kekuatan global.
Di sisi lain, juga terdapat peluang besar di mana kawasan Asia Tenggara memiliki potensi untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan global yang paling dinamis. Dengan populasi yang didominasi usia produktif, Asia Tenggara memiliki daya tarik tersendiri bagi investasi asing. Ke depan, Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo perlu memanfaatkan kekuatan ini untuk mendorong integrasi ekonomi yang lebih dalam di kawasan. Termasuk mendorong kerja sama di bidang pertahanan, infrastruktur, teknologi, dan energi terbarukan, yang sangat penting dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan energi global.
Lebih dari itu, safari Prabowo ke negara-negara ASEAN mencerminkan upayanya untuk membina hubungan yang lebih personal dan berbasis kepercayaan dengan para pemimpin negara tetangga. Kepemimpinan diplomatik melalui diplomasi personal memainkan peran penting dalam membangun hubungan antarnegara. Melalui diplomasi personal itu, Indonesia punya peluang untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam memajukan visi ASEAN yang lebih kohesif. Sekaligus juga, Indonesia perlu mendorong ASEAN untuk lebih fleksibel dan adaptif dalam menghadapi dinamika geopolitik.
Tetapi pada saat yang sama, Prabowo dan pemerintahan Indonesia mendatang perlu menyadari bahwa hubungan bertetangga dalam konteks bernegara adalah sesuatu yang kompleks dan penuh pertarungan kepentingan. Prinsip trust no one harus tetap diingat. Bahwa, membangun relasi dan hubungan baik dengan tetangga adalah yang penting, tetapi kita tidak pernah tahu kapan salah satu tetangga sewaktu-waktu bisa “menikam” dari belakang. Seperti adagium, dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi, demikian pula dalam hubungan luar negeri.