Oleh : AHMAD BARJIE B
Fenomena surat kaleng memang bukan persoalan baru. Barangkali sama tuanya dengan saat manusia mengenal tulisan dan pandai menulis surat. Hanya saja ada saatnya surat kaleng menjadi marak, dan saat lain menjadi sepi. Tergantung situasi dan kondisi, barangkali.
Di Indonesia, sejak dulu sudah sering terdengan adanya surat-surat kaleng yang dialamatkan kepada seseorang, pengurus organisasi, pengurus masjid dan termasuk pejabat pemerintah. Ada yang bersedia menerimanya, berupa kotak saran, dan ada yang tidak memfasilitasinya. Dan agaknya, semakin banyak persoalan di masyarakat dan semakin sering terjadi praktik penyimpangan, katakanlah korupsi, kolusi dan nepotisme, surat kaleng pun semakin sering dibuat oleh penulisnya. Tidak peduli yang menerima mau membaca, menggubris dan menanggapi, agaknya penulisnya sudah merasa terlampiaskan “aspirasinya” jika sudah mengirimkannya.
Gambaran yang kita tangkap selama ini, ada berbagai reaksi orang, khususnya pejabat yang menerima surat kaleng. Ada yang dengan lapang hati menerimanya dan mau membacanya, atau mungkin ada pula memprosesnya lebih jauh. Tetapi kelihatannya lebih banyak yang bereaksi negatif. Karena namanya surat kaleng, maka tanpa dibaca langsung dimasukkan ke dalam kaleng. Penerima menganggap pengirimnya pengetcut, tanpa menyebut identitas. Jadi buat apa diperhatikan, begitu kira-kira.
Penerima surat kaleng model terakhir ini menghendaki, kalau memang masyarakat punya bukti adanya penyimpangan, silakan beri data yang lengkap dan akurat, dengan identitas yang jelas pula. Rahasia dan keamanan pengirim akan dijamin.
Adanya kecenderungan sebagian masyarakat untuk membuat dan mengirim surat kaleng kepada suatu pihak yang dianggapnya layak mengetahui dan menindaklanjuti lebih jauh disebabkan berbagai faktor:
Pertama, psikologi kultural masyarakat kita, umumnya suka sungkan dan ewuh pakewuh untuk menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya. Menurut Sosiolog dari Unair-Surabaya, Prof. Soetandiyo Wignyosubroto, pada masyarakat Jawa ada suatu kultur sungkan yang amat kental. Ada istilah “nggah nggih mboten kepanggih”, artinya menyatakan iya iya tanda setuju, tetapi sesungguhnya tidak setuju.
Kultur demikian tidak hanya ditemui pada sebagian masyarakat suku Jawa, tetapi juga di luar Jawa, termasuk urang Banjar. Sikap sungkan ada di mana-mana. Jarang ada seseorang yang dengan tegas menolak sesuatu yang bertentangan dengan isi hatinya. Misalnya rapat di rumah Kepala Desa, ketika diberi kesempatan berbicara banyak yang diam, dan ketika muncul satu dua pendapat yang lain manggut-manggut. Tetapi begitu rapat bubar banyak yang saling menggerutu. Sama halnya dengan rapat para orangtua murid dengan Kepala Sekolah atau guru-guru untuk mencari dana, protes hampir selalu terjadi di belakang, bukan pada forum resmi.
Rasa tidak puas ini pada gilirannya mengkristal dalam berbagai bentuk, seperti mengomel di pinggiran, mengajak sesama untuk memboikot hasil putusan, mengirim surat pembaca di koran, sampai pada mengirim surat kaleng itu sendiri.
Bisa pula terjadi orang seperti Kepala Desa, Kepala Sekolah dan lainnya kurang memperhatikan aspirasi warganya. Aspirasi yang dipakai hanya yang menguntungkan dirinya. Lalu muncul ketidakpuasan orang-orang yang merasa dibelakangi.
Kedua, masyarakat kita umumnya enggan berperkara dan mencari-cari masalah. Mereka enggan bersengketa dengan seseorang secara terbuka. Kalau bisa sabar, biasanya mereka akan berdiam diri. Kalau sampai mengirim surat kaleng, biasanya kesabarannya sudah di ambang batas.
Keengganan bersengketa secara terbuka inilah yang mendorong mereka mengirim dan mosi ketidakpercayaannya melalui surat kaleng saja. Sebab mereka yakin, kalau diungkap secara resmi, hampir pasti akan terjadi sengketa dan pertengkaran, yang biasanya sulit didamaikan. Lebih-lebih karena sebagian orang cenderung bersikap arogan, merasa benar dan ingin menang sendiri. Orang lain yang mencoba-coba mengangkat kesalahannya akan menghadapi risiko menyakitkan.
Kalau dalam surat dicantumkan identitas resmi pengirim, tidak mustahil aparat yang menyelidiki akan lebih dahulu menginterogasi pengirim. Dalam negara di mana kepastian hukum sulit didapat dan hukum mudah dipermainkan, bisa saja terjadi orang yang melapor justru jadi tersangka, sementara yang seharusnya jadi tersangka aman-aman saja. Dengan kepintaran merekayasa, orang sering berdalih ada fitnah, konspirasi, ada yang menunggangi dan sebagainya. Aspirasi yang murni pun bisa saja dibuat kabur, sehingga kasusnya dimasukkan ke dalam peti es, alias menjadi the dark number.
Ketiga, memang ada kemungkinan terjadi miskomunikasi dan mispersepsi antara pengirim surat kaleng dengan orang yang dihujat dalam surat kaleng tersebut. Maksudnya, tanpa meneliti lebih dahulu, seseorang langsung bikin surat kaleng, padahal prakiranya meleset. Itu biasanya terjadi karena kurangnya transparansi akan sesuatu masalah, sehingga pengirim surat kaleng punya kesimpulan sendiri.
Karena itu, tidaklah begitu tepat jika pengirim surat kaleng dicap pengecut. Sebab memang ada kondisi-kondisi tertentu yang melatarinya, sehingga seseorang tidak bisa menyampaikan aspirasi dan protesnya secara resmi dan terbuka.
Walau namanya surat kaleng, pihak penerima tetap perlu menanggapinya, untuk kemudian ditindaklanjuti secara nyata. Memang, nilai kebenaran data surat kaleng bisa saja diragukan. Surat kaleng hanya reaksi, karena ada aksi sebelumnya. Sebagai manusia kita bisa salah dan keliru, karenanya terbuka saja dikritik, baik secara terbuka maupun melalui surat kaleng.