Oleh : AHMAD BARJIE B
Dari Anas bin Malik ra. Katanya: Ada tiga orang laki-laki datang berkunjung ke rumah istri-istri Nabi SAW untuk bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkan, kelihatan mereka menganggap apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata, “Kita tidak bisa disamakan dengan Nabi, sebab semua dosa beliau yang lalu dari yang akan datang diampuni Allah”. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Untuk saya, saya akan selalu shalat sepanjang malam selama-lamanya. Orang kedua berkata, “Saya akan berpuasa setiap hari dan tidak akan pernah berbuka”. Orang ketiga berkata, “Saya tidak akan pernah mendekati wanita (kawin) selama-lamanya”.
Setelah itu Rasulullah datang dan bersabda, “Kamukah orang yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, saya lebih takut dan lebih takwa kepada Allah dibanding dengan kamu. Tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya shalat dan tidur, dan saya juga kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, maka tidak termasuk ke dalam golonganku”. (Shahih Bukhari, Jilid 3 Juz 6, 1401 H: 116).
Dalam kehidupan sehari-hari, sunnah Nabi sering diidentikkan dengan urusan kawin saja. Sehingga setiap orang yang kawin, katanya untuk mengikuti sunnah Nabi. Dan ketika akad nikah, khutbah nikah atau nasihat perkawinan, petugas KUA atau Penghulu pun biasanya juga menekankan bahwa nikah adalah menuruti sunnah Nabi.
Memang, nikah (kawin) adalah salah satu sunnah Nabi yang penting. Sebab Islam tidak mengajarkan pembujangan seumur hidup. Islam menyuruh kawin, karena melalui perkawinan suami istri dapat menyalurkan kebutuhan fisik dan psikisnya, hidup dalam keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. (QS Ar-Ruum: 21). Dengan kawin pula seseorang dapat menjaga nafsu dan kehormatannya agar tidak tergelincir kepada kemaksiatan. Dari perkawinan lahir anak-cucu yang akan menyambung keturunan.
Tetapi, selain urusan kawin, masih teramat banyak lagi sunnah Nabi yang patut kita teladani, karena beliau adalah figure teladan yang paling baik bagi manusia (QS. Al-Ahzab: 21).
Dalam soal makan, Nabi tidak akan makan sebelum lapar dan sudah berhenti sebelum kenyang. Proporsi perut yang diajarkan Nabi, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk bernafas. Berbeda dengan kita, seringkali belum lapar sudah makan, dan ketika makan cenderung lupa diri, sehingga kekenyangan sampai ke leher, akibatnya kita jadi malas, tidak lincah, suka tidur dan tidak kreatif. Terlalu banyak makan membuat telat mikir dan bodoh.
Sehari-hari yang dipikirkan hanya urusan perut saja. Sehingga benar sindiran Gunnar Myrdal, “The Asia problem is the problem of a rice bowl.” (problem orang Asia adalah problem sepiring nasi). Memang urusan makan penting, sebab dengan makan kita bisa bertahan hidup. Tetapi tentunya hidup ini bukan hanya untuk makan. Hidup untuk berpikir, mengabdi kepada Allah dan kepada sesama manusia, yang hakikatnya juga ibadah (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Rasulullah tidak pernah kenyang makan roti atau daging, kecuali dalam keadaan dlaffaf, maksudnya makan bersama orang banyak. Jadi makan yang baik adalah bersama orang banyak, dengan berusaha menjamu orang, meskipun sederhana. Alangkah baiknya, setiap hari ada orang lain ikut makan bersama kita.