Kitab suci kitab Alquran
Bacaan utama orang bertaqwa
Selamat datang kami ucapkan
Untuk ulama se Indonesia
Anak santri pergi mengaji
Kepada guru kepada kyai
Ijtima ulama ditutup hari ini
Panduan yang suci sudah dikaji
Demikian kurang lebih petikan pantun yang disampaikan Gubernur Kalsel Paman Birin dalam acara pembukaan dan penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tingkat nasional ke-6 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren al-Falah Banjarbaru 7-9 Mei 2018 lalu. Juga menyampaikan sambutan dalam acara tersebut saat itu Ketua Umum MUI Prof Dr KH Ma’ruf Amin, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta diisi musyawarah ulama untuk merumuskan sejumlah fatwa terbaru yang menjadi persoalan umat dan bangsa
Cukup banyak fatwa penting yang dirumuskan dalam ijtima ulama kali ini. Komisi A membahas masalah strategis kebangsaan (masail asasiyah wathaniyah) seperti eksistensi negara dan kewajiban bela negara, salam lintas agama, prinsip-prinsip ukhuwah, hubungan agama dengan politik dan pemberdayaan ekonomi umat. Komisi B membahas masalah-masalah fikih kontemporer (masail fiqhiyyah mu’ashirah), seperti penggunaan alkohol dan plasma darah untuk bahan obat, zakat untuk bantuan hukum, wewenang pemerintah dalam pengelolaan zakat, zakat penghasilan dan status dana abadi umat. Sementara Komisi C membahas masalah peraturan perundang-undangan (masail qanuniyah), seperti pandangan tentang tembakau atau rokok, kekerasan seksual, LGBT, aliran kepercayaan masuk KTP dan sebagainya.
Mahar Politik
Diperlukan uraian panjang jika rumusan fatwa ulama ini dibahas keseluruhan. Di sini hanya dikupas sepintas fatwa MUI tentang haramnya mahar politik. MUI sebenarnya telah lama menyoroti masalah “mahar” dalam percaturan politik selama ini, di mana calon kepala daerah memberikan sesuatu kepada partai politik (parpol) yang mengusungnya, atau parpol pengusung minta mahar dalam jumlah tertentu. Termasuk juga ketika para calon yang ingin terpilih memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun barang kepada pemilih. Ulama menganggap semua itu tidak berbeda dengan sogok (risywah) dan hukumnya haram dan berdosa, baik bagi pemberi, penerima maupun perantara. Di antara ulama yang bersidang bahkan ada yang menolak istilah mahar, sebab menurutnya mahar itu bermakna sakral, sementara mahar politik mengandung risywah atau sogokan.
Pengharaman pemberian tersebut sebenarnya sudah jauh hari difatwakan oleh ulama internasional, alm. Syekh Yusuf Qardhawi asal Mesir yang bermukim di Qatar. Menurutnya, gara-gara mahar tersebut, banyak calon berkualitas tersingkir karena tidak sanggup memberikan sesuatu kepada parpol dan rakyat pemilih. Parpol yang seyogianya sebagai tempat persiapan calon pemimpin pun terdegradasi menjadi hanya perahu untuk lewat sang calon. Parpol lebih memilih calon yang kuat secara finansial dari luar partai supaya dapat mahar yang besar.
Parpol demikian juga bisa menjadi rebutan elitnya, karena bisa jadi sumber untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Lebih celaka lagi, banyaknya mahar yang dikeluarkan oleh sang calon, berakibat politik berbiaya sangat tinggi, yang tidak lagi terjangkau oleh orang kebanyakan. Orang-orang pintar dari perguruan tinggi, organisasi sosial kemasyarakatan tidak akan sanggup bersaing. Bisa saja ada pemodal yang menawarinya, tetapi jika terpilih tetap akan tersandera oleh pemodal. Belum lagi kalau tidak terpilih.
Dikhawatirkan keadaan ini mengakibatkan korupsi akan terus terjadi dalam berbagai bentuknya guna mengembalikan modal, sekaligus modal baru untuk mencalon lagi pada periode berikutnya. Banyaknya kepala daerah, para wakil rakyat dan sebagainya, yang terjerat kasus hukum selama ini, khususnya kasus korupsi, tidak terpisahkan dari politik berbiaya tinggi tersebut.
Sulit Terlaksana
Meskipun Komisi Fatwa MUI telah mengharamkan mahar politik, namun tidak mudah untuk melihat fatwa ini ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak terkait. Hal ini tergantung dengan sistem politik yang terlanjur berjalan. Pemilihan langsung yang terjadi sejak era reformasi, adalah salah satu penyebab tingginya biaya politik. Para calon seolah tidak bisa terhindar untuk memberi kepada partai yang mengusungnya. Kalau tidak memberi, atau pemberiannya kalah besar dibanding kompetitor lain, akan tersingkir. Belum lagi pemberian kepada tim sukses dan masyarakat pemilih.
Karena itu dalam sidang Ijtima Ulama 2018 tersebut tetap diusulkan agar sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada sistem lama ala Orde Baru, yaitu sistem perwakilan di DPRD, sesuai sila ke-4 Pancasila. Kalau pemilihan melalui DPRD maka politik uang bisa diminimalkan dan diawasi lebih ketat. Kalau perlu pemerintah menyediakan biaya pilkada di DPRD, sehingga peluang untuk bermain uang benar-benar tertutup. Seorang kepala daerah di era Orde Baru pernah menyatakan kepada penulis, dia terpilih dua kali sebagai bupati, sepeser pun tidak keluar uang. Karena tak keluar modal, ditambah integritas yang tinggi, ketika menjabat ia pun bersih dan tidak berurusan dengan masalah hukum.
Fatwa MUI juga sulit terealisasi karena mentalitas masyarakat kita terlanjur menjadikan uang sebagai pendorong untuk memilih. Sering kita dengar kata-kata “Kalau kadada duitnya parai”. Mereka tidak peduli dengan rekam jejak calon, visi dan misi calon, yang penting siapa memberi lebih besar, itulah yang dipilih. Bahkan ada yang enggan datang ke TPS kalau tidak mendapatkan sesuatu.
Banyak pakar mengatakan, pemberian untuk masyarakat begini baru bisa dikurangi, apabila tiba saatnya masyarakat sudah terdidik dan sejahtera. Terbukti, kawasan elit yang pemilihnya mapan dan terdidik, di situ permainan uang tidak laku. Pertanyaannya, sampai kapan semua masyarakat kita sejahtera dan berpendidikan sehingga terdidik secara politik.
Memang bisa saja di daerah yang belum terlalu sejahtera dan berpendidikan, tidak terjadi permainan uang. Kabarnya, terpilihnya Dr KH Zainul Majdi Lc MA alias Tuan Guru Bajang (TGB) sebagai Gubernur NTB dua periode, dulu tidak diwarnai permainan politik, khususnya politik uang. Masyarakat dengan sukarela memilih TGB dan memberinya kemenangan mutlak, karena melihat kealiman dan kapasitasnya. Tetapi kasus begini masih langka.
Karena itu, selama pilkada masih dengan sistem langsung, sulit untuk dihindari permainan uang. Kalau mahar politik mau dikurangi sistemnya harus dirubah dan masyarakat harus diberdayakan. Partai politik bersama pemerintah sebagai pembuat peraturan hendaknya serius memikirkan masalah ini. Fatwa MUI sudah bagus, tetapi untuk realisasinya tetap kembali kepada partai politik, pemerintah dan masyarakat pemilih.