Islam sangat mengutamakan kebersihan dan kesucian dalam hal makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dll. Sesuatu samar antara halal dan haram, apalagi yang jelas-jelas haram, dilarang dalam Islam dan harus dijauhi.
Salah satu perbuatan yang dilarang keras dalam Islam adalah ghulul, atau penggelapan, yakni mengambil harta kepunyaan negara, organisasi atau masyarakat dengan cara yang bathil untuk keuntungan pribadi. Allah melarng hal ini, diantaranya dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 188 dari An-Nisa: 29.
Hal yang sama juga dikatakan Nabi SAW. Dari Abdullah bin Amr ra, katanya, “Dalam tanggungan keluarga Nabi ada seorang laki-laki bernama Kirkirah. Ia mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah. Orang-orang datang padanya, dan berdecak kagum, karena percaya orang itu masuk surga, tapi Nabi menyatakan, orang itu dalam neraka. Setelah orang-orang memeriksa, ternyata jubah yang dipakainya didapat dari harta ghulul, maksudnya jubah itu dirampas dalam sebuah peperangan dan belum dibagi menjadi haknya”. (HR Bukhari). Riwayat lain menyatakan harta yang digelapkan orang itu sebuah cincin.
Ibnu Taimiyah menerangkan, dosa ghulul tidak bisa ditebus dengan ibadah atau sedekah. Ini bisa dipahami dari hadits di atas. Jangankan sekedar ibadah, shalat, puasa, zakat, haji, bahkan syahid di medan perang pun tidak bisa mengantar orang ke surga, apabila ada harta ghulul yang dipakai atau dimakannya.
Hal ini sesuai pula dengan bunyi hadits: Dari Ibnu Umar ra katanya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diterima shalat seseorang tanpa suci dan tidak diterima sedekah yang berasal dari kejahatan seperti mencuri dan korupsi, merampok, judi, riba dan sebagainya”.
Itu sebabnya Islam mensyaratkan penghapusan dosa ghulul dengan mengembalikan harta yang diambilnya secara utuh, tak kurang sedikit pun. Pemilik dimaksud adalah negara organisasi, masyarakat atau orang perorangan.
Di tengah maraknya korupsi dalam berbagai bentuknya dan masih lemahnya penegakan hukum, atau hukum masih tenang pilih, banyak orang menduga bahwa banyak kekayaan dan uang negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Akibatnya negara dan masyarakat menjadi rugi, rakyat tak kunjung sejahtera, padahal mereka menjadi rakyat dari negara yang sesungguhnya sangat kaya SDA. Jadi, selama korupsi merajalela, sulitlah tercipta kesejahteraan yang adil dan merata.