Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi
DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (bbc.com). Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, UU Kementerian Negara dibentuk untuk memudahkan persiden menyusun kementerian demi tata kelola yang efektif. Salah satu poin perubahan yang paling disoroti adalah perubahan Pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Sebelumnya, Pasal 15 UU Kementerian Negara telah membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 institusi (cnnindonesia.com).
Bila jumlah kementerian bertambah banyak, pakar khawatir bisa terjadi tumpang-tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang-ruang baru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pakar mengatakan masyarakat bisa mengajukan gugatan atas revisi UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tak sesuai prosedur dan dalam perumusannya dinilai tiada partisipasi publik yang bermakna (bbc.com).
Kebijakan ini diduga kuat hanya memberi jalan bagi presiden terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Sebab, kebijakan ini diketahui tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 ataupun daftar 43 rancangan UU yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Oktober. Karena itu, pembahasan UU ini menunjukkan kesan pemaksaan dan sarat kepentingan pihak tertentu, bukan kepentingan rakyat.
Kebijakan bagi-bagi kue kekuasaan merupakan hal lumrah dalam sistem politik demokrasi. Pasalnya, kemenangan presiden terpilih dalam sistem ini ditopang saham-saham yang ditanamkan partai maupun non partai. Tidak dimungkiri biaya pemilu dalam sistem demokrasi sangat mahal, khususnya biaya kampanye untuk menyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan pemerintahan. Di sinilah dibutuhkan dana sangat besar sehingga partai yang mengusung calon presiden membuka ruang saham modal kampanye bagi siapa saja termasuk para korporat.
Ketika kekuasaan teraih, hal pertama yang dipikirkan adalah mengembalikan modal. Karena waktu berkuasa sangat minim yakni 5 tahun, penguasa terpilih harus mengembalikan modal, sekaligus mendapatkan keuntungan dari kekuasaannya untuk jadi modal pada pemilu berikutnya. Bagi-bagi kue kekuasaan pun tak terelakkan. Inilah yang disebut politik pragmatisme.
Kebijakan ini tidak akan mengubah apapun atas kondisi negeri. Sebab, perubahan UU ini masih didasarkan pada sistem politik demokrasi. Sedangkan pemilu dalam demokrasi hanya dijadikan alat bagi elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan.
Pada kondisi ini, mustahil penguasa memikirkan apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggungjawab urusan rakyat. Sebaliknya, penguasa hanya memikirkan para pendukungnya di masa-masa kampanye, salah satunya melalui bagi-bagi kue kekuasaan. Banyaknya praktik korupsi dalam tubuh pemerintah selama ini pun diduga kuat adalah bagian dari upaya mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan.
Akar persoalan ini adalah sistem Kapitalisme demokrasi. Sistem Kapitalisme demokrasi memberi wewenang kepada manusia membuat aturan. Padahal, manusia tamak dan egois, hanya berpikir kepentingan diri dan kelompoknya. Ketika membuat aturan akan diotak-atik sesuai kepentingan, uang dan kedudukan. Sehingga para kapitalis terus meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan akibatnya bagi masyarakat bawah.
Di sisi lainnya penguasa dalam Kapitalisme membiarkan penjajah merampok kekayaan alam yang melimpah atas nama liberalisasi ekonomi dan investasi asing. Para oligarki di sekitar penguasa guna mendapatkan kekayaan melimpah yang merupakan hak rakyat. Hal ini mencerminkan gagalnya Kapitalisme dan menunjukkan lemahnya negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kekuasaan yang bertujuan melayani rakyat hanya terealisasi dalam negara yang menerapkan Islam kaffah, Khilafah Islamiyah. Islam menetapkan pemimpin berkewajiban melakukan ri’ayah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Rasulullah Saw bersabda: “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpinan.” (HR. Al-Bukhari).
Makna ar-ri’ayah adalah menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas pemimpin terhadap rakyatnya, yakni menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia, dan negara. Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah Saw sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang diurus. Beliau Saw bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim).
Dalam Khilafah, kekuasaan ada di tangan umat. Sedangkan kedaulatan di tangan syariat. Metode baku menurut syariat dalam memilih Khalifah adalah bai’at, Imam an-Nawawi dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/390) berkata, “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang mudah untuk dikumpulkan.”
Ahlul Halli wal ‘Aqdi adalah orang yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, pandangan, dan pengaturan dalam sebuah negeri. Al-Mawardi memberikan tiga syarat Alhalli wal ‘Aqdi. Pertama, adil. Kedua, memiliki ilmu yang digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan Imamah (Khalifah) berdasarkan syarat yang diakui. Ketiga, memiliki pendapat dan kearifan yang bisa mengantarkan keterpilihan orang yang lebih layak menduduki jabatan Imamah (Khalifah) dan mampu mengurusi kemaslahatan umat lebih lurus dan bijak. Ahlul Halli wal ‘Aqdi bisa dianggap mewakili umat menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat. Khususnya dalam fardhu kifayah pengangkatan Khalifah yang tidak harus dilakukan semua orang.
Melalui ketentuan ini, wakil umat atau penguasa terpilih adalah orang yang layak. Apalagi Khalifah yang dipilih dalam Khilafah bukan menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi menjalankan hukum Allah. Hal ini akan menjauhkan dari kebijakan zalim dan menguntungkan segelintir orang. Demikianlah kekuasaan dalam Khilafah berjalan di atas koridor syariat yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Syariah Islam adalah aturan yang baik, datang dari Yang Maha Benar. Aturan-Nya tidak akan menjerumuskan kepada keburukan. Fakta menunjukkan, justru tanpa syariah kehidupan kian sempit, rusak, dan menuju jurang kehancuran di segala bidang.