Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Nestapa Palestina dan Rohingya: Kepalsuan Nilai-Nilai Sekuler

×

Nestapa Palestina dan Rohingya: Kepalsuan Nilai-Nilai Sekuler

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

7 Oktober lalu menandai satu tahun krisis Palestina yang menjadi sorotan dunia. Dunia menyaksikan kekejian genosida yang dilakukan entitas Zionis Israel sebagai balasan terhadap perlawanan kaum muslimin Palestina. Israel membabi buta mengarahkan kekuatan militer yang disokong oleh AS menyerang rakyat Palestina. 75 ribu ton bom sudah dijatuhkan. Dalam 365 hari korban terbunuh, terluka dan hilang mencapai 150 ribu jiwa.

Israel tidak segan dan tidak malu menyasar zona yang seharusnya bersih dari sasaran militer seperti tenda pengungsian, sekolah dan rumah sakit. Anak-anak Palestina hingga wartawan dan tenaga medis menjadi korban kekejaman Israel. Menyasar anak-anak adalah indikasi genosida, pembersihan etnis, karena anak-anak Palestina adalah generasi penerus etnis Arab muslim. Israel juga memblokade bantuan kemanusiaan yang masuk dan mengkondisikan rakyat Palestina kelaparan dan kekurangan air dan obat-obatan. Rakyat Palestina tidak hanya tewas karena bom dan tembakan tapi juga karena kelaparan dan sakit. Sungguh suatu tragedi kemanusiaan yang menyayat hati.

Baca Koran

Namun yang lebih menyedihkan adalah sikap diamnya dunia khususnya penguasa-penguasa negeri muslim. Mereka tidak mengerahkan kekuatan militer mereka sebagai mana Isreal dan AS mengerahkan kekuatan militer. Mereka hanya bisa mengecam, beretorika dan meminta solusi dengan kompromi dan perundingan. Bahkan mereka mengkhianati perjuangan rakyat Palestina dengan mengakui eksistensi Israel dan menormalisasi hubungan politik dan ekonomi secara diam-diam. Padahal Zionis Israel tidak mengenal bahasa kecuali bahasa perang. Hampir 40 perundingan dan kesepakatan yang dihasilkan mereka ingkari. Jadi tidak ada alasan untuk bersikap membiarkan kekejian entitas Zionis Israel dengan tidak mengerahkan tentara dan kekuatan militer muslim.

Nasib kaum muslimin Palestina juga dialami oleh pengungsi Rohingya. Mereka yang meninggalkan negeri mereka harus terombang ambing di lautan karena ditolak mendarat. Meskipun akhirnya diterima dengan keterpaksaan, namun pengungsi tersebut hanya ditampung sementara dan harus pergi lagi untuk mencari negara suaka yang bersedia menerima. Padahal perginya mereka meninggalkan negeri mereka bukan tanpa sebab dan tujuan. Palestina dan Rohingya menunjukkan betapa palsunya nilai-nilai yang diklaim peradaban sekuler kapitalisme.

Baca Juga :  Butuh Transformasi Total, Bukan Hanya Ekonomi Digital

Dusta Nilai-Nilai Sekuler

Krisis Palestina adalah perlawanan terhadap penjajahan. Perlawanan dan penderitaan rakyat Palestina bukan hanya satu tahun terakhir ini saja tapi sudah berlangsung 75 tahun. Dunia yang ditata dengan sistem sekuler kapitalisme dibawah kepemimpinan Amerika mengklaim diri sebagai pengusung Hak Asasi Manusia (HAM) dan anti kekerasan. Namun krisis Palestina dan Rohingya mempertontonkan bahwa prinsip kebebasan, kemerdekaan, kemanusiaan dan keadilan yang sekuler begitu palsu. Nilai-nilai ‘agung’ ini dijadikan indikator moderasi beragama yang diaruskan melalui pendidikan. Namun versi Rand Corporation, lembaga think tank AS penggagas awal agenda moderasi beragama memang menuntut muslim moderat untuk menerima eksistensi negara Israel. Bagaimana mungkin keberadaan penjajah atau negara yang berdiri illegal bisa dibenarkan? Terlebih Israel berdiri setelah mengusir, membumi hanguskan dan membunuh rakyat Palestina? Sangat jelas dunia Islam dan umat Islam hanya menjadi obyek politik yang ditundukkan dengan slogan palsu Barat dan nilai-nilai sekuler yang penuh standar ganda dan menipu.

Solusi dan Nilai Riil

Sangat berbeda dengan hukum-hukum syariat yang menjadi standar amal perbuatan manusia. Syariat Islam adalah solusi terhadap persoalan manusia. Tidak ada satu fakta dan persoalan yang luput dari ketentuan syariat. Tidak hanya sebagai solusi, namun syariat juga yang mampu merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan penjagaan harkat dan martabat manusia. Karenanya ulama, fuqaha, pakar hukum syariat menjelaskan tujuan-tujuan (maqasid) seluruh syariat Islam yang tidak lain adalah untuk menjaga akal, jiwa, harta, nasab, agama dan negara.

Penguasa sebagai penegak syariat berfungsi sebagai roin, pengurus umat dan menjadi perisai, junnah, yang melaksanakan fungsi melindungi.

Dalam masalah Palestina, syariat Islam mewajibkan pengerahan kekuatan militer dan pengiriman tentara untuk mengusir penjajah Israel.

Baca Juga :  Menyongsong Tantangan Mahasiswa Pendidikan di Zaman Sekarang

Untuk masalah Rohingya, kaum muslimin baik di Malaysia, Bangladesh dan Indonesia harus mengulurkan tangan membantu mereka dan mengurus urusan mereka. Pengungsi Rohingya tidak boleh dianggap beban. Tidak boleh pula mengurus pengungsi dengan pertimbangan untung rugi. Menolong kaum yang nyata-nyata meminta pertolongan karena didzolimi adalah kewajiban.

Dan yang utama, dunia Islam dan kaum muslimin juga harus menanggalkan racun nasionalisme. Nasionalisme hanyalah gagasan rendah, emosional nan hewani. Nasionalisme merusak kaum muslimin dengan menjadikan mereka individualis dan membenarkan kelemahan mereka dalam sekat-sekat negara bangsa. Kaum muslimin harus bersatu dalam ikatan aqidah Islam dan institusi politik, Khilafah Islam.

Sungguh umat Islam akan tampil sebagai khairu ummah, umat terbaik dengan berperang membebaskan Palestina dan menolong Rohingya. Kaum muslimin yang melaksanakan syariat kaffah akan menjadi penampil nilai-nilai moral yang nyata. Sebagaimana dahulu Khilafah Islam, melalui Khalifah Sulaiman Al Qanuni membebaskan raja Perancis yang disandera. Begitupula bantuan Khilafah pada rakyat Amerika dan Irlandia yang terdokumentasi dalam surat ucapan terimakasih kedua pemerintahan tersebut pada Khalifah. Wallahu alam bis Shawab

Iklan
Iklan